Pagi-pagi secerah ini, Arina terlambat terbangun sampai dia menubruk mesin cuci di kamar mandi akibatnya dia tidak melihat jika ada mesin cuci.
Arina membuka matanya dengan perlahan dan tersenyum tipis, "Padahal mau ke rumah Azizah buat nanyain besok gimana acaranya."
Iya, sebab itulah toko sedang tutup karena mereka ada acara di hari besok dan acaranya di mereka.
Sepertinya memang penting, Arina tidak ingin mengikuti apa perkembangan berita dari keluarga itu. Baginya sudah kembung dengan keluarga yang punya toko.
Saking melimpahnya uang di kasur terus katanya bapak, kalau mau ke rumah di closet banyak.
Numpuk.
Ketika dia mau mengangkat pakaian kotor yang ada di ranjang itu malah suaminya datang dengan wajah lesu dan capeknya.
Mudah-mudahan ia tidak dalam masalah.
"Tolong buatin saya mie instan!" ketusnya dengan mengambil minum dari galon dan di sana tertuang airnya yang panas menyebabkan tak sengaja telapak tangan Arshal, di saat itu pula gelas melayang sejauh satu meter dari tempat berdiri Arshal.
Arshal yang maish remang-remang, tenang tapi ada aja masalah yang menghampiri dirinya.
"Ini kenapa?" Tiba-tiba saja Arshal berteriak dengan begitu Arina tak berani mengangkat kepalanya sama saja menaruhkan nyawa anak keduannya untuk saat ini.
"Bila begitu kamu ber-es ini segera!" Dengan ucapan penuh penekanan sehingga Arina segera mengambil sapu serta cikrak untuk membersihkan pecahan beling gelas itu.
"Cepat!" ucapnya sembari menendang punggung istrinya ketika Arina menundukkan tubuhnya.
"Jangan njentit! Saya bisa! Nggak sopan sama sekali dengan suaminya! Ketika suaminya ada di depannya."
"Iya, saya akan bersihkan dulu." Ia mengubah posisi membersihkan kacanya itu dan Arina setelah selesai membersihkan, dia menyiapkan mie instan untuk suaminya.
"Ini mas." Seketika suaminya yang awalnya membelakangi dirinya menoleh dan membalikkan badannya.
"Ada ayam?"
"Nggak ada belum beli keperluan satu belanja ke depan." jawab jujur Arina supaya suaminya bisa sedikit peka terhadapnya.
Arina membuatkan itu dengan setulus hati, masa iya mau dibuang ujungnya tapi feeling Arina itu pasti akan terjadi. Benar saja suaminya itu mengendus aromanya terlebih dahulu.
"Baunya tidak enak begini mau makan selaranya langsung hilang." Kata yang menusuk bagi hati Arina, sudah untung mau dibuatkan tapi ini malah nggak diterima dengan berbagai alasan mana.
"Mau ngeracunin saya kamu!" Nadanya meninggi dan Arina hanya menatap kosong benda di hadapannya.
Suaminya itu meletakkan mangkuk itu di atas meja kaca dengan begitu menimbulkan suara begitu keras.
Arina tidak mengambil hatinya untuk memasukkan perkataan dan perbuatan suaminya itu.
Arshal lantas berdiri dan meninggalkan ruangan itu, Arina bersyukur masih saja diberi kehidupan sampai sekarang walau batin dan lahirnya tersiksa ketika menikah dengan Arshal.
Mau mengerjakan pekerjaannya saja sudah terganggu begini, Arina menghela napas pendek.
"Kenapa sih Tuhan nggak bisa memberikan kepercayaan buat jodoh saya, dia suami saya sepatutnya dia juga jodoh saya untuk selamanya." ujar Arina menatap langit-langit ruangan makan itu dan sampingan dengan dapur serta kamar mandi.
Fasilitas rumah memang menjamin kehidupan mereka tapi semuanya itu dari mertuanya, alangkah malunya Arina bisanya untuk menerima segala dari mertuanya.
Ia curhat tidak ada harapan lagi dan Tuhan telah memberikan berbagai ujian tetap saja Arina pantang menyerah sebelum semuanya terselesaikan.
Arina membereskan mangkuknya dan meletakkan di kitchen sink, ia pun membuangnya ke kotak sampah bagian makanan yang tersisa.
Kalau tidak sabar saja Arina bisa meninggalkan Arshal ketika dia dijamah ataupun ia dilakukan kekerasan dalam berumah tangga.
"Jika mas Arshal nggak bisa menghidupi aku, mending aku keluar dari rumah ini." Sempat terpikir dia ingin keluar dari rumah lantai satu ini yang bergaya minimalis dan sederhana.
Ya, itu pemberian dari mertuanya untuk ditinggali.
Mereka memang cukup dengan kekayaannya dan semua dihidupi oleh mertuanya.
Dari segi hal rumah tangga dan kehidupan mereka.
Gaji?
Arina memang mempunyai gaji, namun itu semua ia simpan di dalam tabungan untuk masa depannya.
Gaji sedikit tidak ada apa-apanya, untuk kehidupan keluarganya. Dia hanya bisa membantu sedikit untuk uang belanja tiap harinya.
...***...
Arina bersiap-siap untuk pergi ke fakultas anak pertamanya, dia membawakan bekal untuk anaknya di tas kecil dan ia akan menghampiri anaknya.
Ia akan membicarakan tentang permasalahan anaknya dan Arina melangkah untuk keluar dari rumah, namun di sana di mana anak pertamanya memunculkan batang hidungnya keluar dari taksi.
Arina terkejut, dia diam tanpa bisa bergerak dari tempatnya.
Pandangannya mengarah dengan anak pertamanya yang tampan dengan rambut yang acak-acakan tapi tetap saja ganteng dan manis.
Hitam, manis memang idaman sekali.
Arina menunggu di depan, anak pertamanya dengan santai melangkah maju ke depan.
Pandangannya kepada ibunya yang sedang mengandung itu, ia benci terhadap adek keduanya yang akan enam bulan lagi lahir ke dunia.
Bukan ibunya, dia membenci calon adeknya. Buah hati ibunya yang membagi jarak antara mereka.
Ia tidak mau kehilangan ibunya.
Ia tidak mau melihat ibunya menangis tiap hari, tersiksa di dalam rumah untuk membahagiakan gimana rumah itu tercipta rasa nyaman dan aman.
Tapi, tetap saja ibunya bisa menerima ikhlas segalanya.
Ia kesal.
Gibran Al-farizky, anak pertama dari pasangan Arina dengan Arshal. Sekarang Gibran menjadi anak yang ingin bertanggung jawab dengan apapun itu. Dia juga sudah mendirikan usahanya kecil-kecilan, siapa tahu jadi pengusaha.
Soalnya dulu pernah bercita-cita dengan dia menghalusinasi sebagai pengusaha.
Emang Gibran sudah bercita-cita seperti itu, ia sudah masuk di Fakultas Ekonomi yang pasti mengambil tentang ekonomi.
Gibran setelah wisuda nantinya, dia akan melanjutkan s-2nya di Amerika Serikat apalagi dengan beasiswanya yang melambai-lambai seolah ia harus memilih dengan tepat.
"Assalamu'alaikum...," salam Gibran mengecup tangan ibunya, Arina sempat terbengong dengan perlakuan anak pertamanya.
Walau, ia membenci anak itu gimana pun ia harus menerima tapi mau gimana lagi Gibran sudah membekas soalnya.
"Wa'alaikumsalam nak, apa kabar dengan kamu?" Arina memeluk anak pertamanya ini, yang jatuhnya Arina lebih pendek dari Gibran.
Memang tinggi Gibran saja melebihi ayah serta ibunya.
Gibran tersenyum tipis dari balik tubuh ibunya, ibunya meneteskan air matanya lantas Arina terisak dalam pelukan Gibran.
Gibran, sebagai anak pasti merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya.
"Gara-gara anak ini, ibu jadi menangis. Saya nggak terima," Batinnya dengan mengepalkan tangannya yang ada di bawah itu.
Urat-urat tampak terlihat dari tangannya, namanya juga dia suka olahraga apalagi kost-anya ada dekat dengan tempat gym apa nggak lapangan yang luas.
Gibran memiringkan senyumannya dibalik itu semua ia kesal, ia mengelus punggung ibunya.
"Ma-af nak,"
Di saat itu pula, Gibran tidak bisa mengatakan apa-apa.
Gibran, lelaki itu yang mulai beranjak dewasa seakan ingin membunuh dengan kenyataannya ia tidak bisa melihat ibunya menangis setiap harinya.
Gibran menggeleng, ia tidak terima dengan permintaan maaf ibunya.
Ini akan menjadi pernyataan bagi Gibran, akan selalu diingat.
"Bu, Gibran yang harusnya minta maaf nggak pulang beberapa hari."
"Nggak ada yang salah, anak ibu ganteng ini gimana dengan makannya? Apa terganggu?" Sebenarnya Gibran sudah tahu pertanyaan ibunya, tentang makanan dan tidurnya.
Selalu khawatir dari hal kecil Gibran.
---
**Baca lagi ya?
hehehe 😰 maaf nggak bisa pindah ke g oo d n ov el 🗿...
Woy iya gue nggak ngerti jalannya 👍😎**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments