Kau...! Lebih baik kau juga pergi sebelum saya benar-benar berubah pikiran dan marah pada Anda."
"Maaf, jangan marah Nona. Saya akan pergi."
"Dasar pria. Baru pertama bertemu sudah aneh-aneh." Syafa ngedumel.
"Tidak ada pria sebaik kak Fahri." Kejadian intim tadi masih saja berkelebat di otaknya. tanpa sadar dia meraba bibirnya sendiri. Rasa nikmat dan manis masih terasa.
"Kakak memang spesial."
"Aduh, Syafa! Dia kakakmu. Berhentilah berpikir aneh dan segera lupakan kejadian tadi." Memukul kepala sendiri.
"Tapi memang Kakak terbaik."
Syafa menimbang kata-katanya sendiri dengan mengingat setiap perbuatan baik sang kakak yang kelewat baiknya. Fahri seringkali membantu. Jika di jalan, Fahri akan selalu melindungi dirinya. Dan ketika bersedih, Fahri adalah orang pertama yang datang menghibur. Fahri adalah paket komplit cinta yang diinginkan semua orang. Fahri memberikan cinta sebagai sosok ayah, sebagai sosok seorang kakak dan kadang berubah menjadi sosok seorang sahabat.
"Duh, pohon kenapa kau harus disini sih." Kesal karena lamunannya buyar akibat menabrak pohon jambu. Syafa menatap sekeliling "Untung nggak ada yang lihat."
Syafa mengelus pelan pohon jambu yang besarnya setara paha orang dewasa. Jambu milik Haji Ali yang diiklaskan untuk siapa saja yang mau.
Dia ingat saat kecil dulu ketika Fahri menenangkan dirinya yang menangis sebab minta juz jambu. Tidak semua orang memiliki nasib baik. Dulu, Fahri kecil tidak memiliki uang untuk hanya membelikan Syafa es plastik. Ketika semua anak minum es jambu, maka Fahri menggendong adiknya ke pinggiran desa tepatnya ke bawah pohon jambu ini.
Fahri akan memanjat dan mengambil jambu yang paling masak. Beberapa akan di bawa pulang dengan disimpan di dalam kaos. Satu tangannya memegang posesif lengan Syafa ketika pulang. Sampainya di rumah, Fahri menumbuk jambu biji di cobek, lalu dituangkan ke plastik dan di kasih sedotan bekas yang dipungutnya ketika pulang.
Syafa hanya merasakan bahagia saat itu. Keinginannya memiliki jajanan yang sama dengan kawan lainnya terlaksana.
Tapi satu yang berbeda. Rasa jus jambu buatan Fahri rasanya sangatlah unik. Ada rasa pedas dan asin bercampur manis original jambu itu sendiri. Sebab Fahri menghaluskan jambu dengan menumbuk di cobek. Syafa tersenyum geli dengan kenangan yang seumur hidup tidak akan pernah terlupakan. Membuat otaknya mendapatkan ide luar biasa.
"Oke! Saatnya membuat jus jambu." Syafa mengambil galah bambu seukuran lengan balita. Galah yang sengaja disiapkan oleh pemiliknya jika ada yang ingin mengambil jambu.
"Hemmh, rasanya manis sekali. Pasti akan lebih lezat jika sudah dicampur es serut dan susu kental manis." Syafa menggigit satu buah jambu yang dia kumpulkan dengan susah payah. Masih dalam keadaan jongkok.
"Nona, bolehkah Kau bagi sedikit saja denganku?" Syafa menghentikan aksinya.
Perlahan tapi pasti, Syafa memutar kepala. Terlihat olehnya tubuh kokoh berbalut kemeja basah. Pandangan matanya beralih ke atas. Jambu yang tinggal separuh itu menggantung di udara. Tenggorokan Syafa tercekat oleh pesona tampan pria di hadapannya. Tetesan sisa air di rambut pemuda itu bagaikan kilau embun basah yang suci. Tetesannya membuat hati resah.
'Siapa Dia?'
'Siapa Dia? Seperti pria yang tadi. Tapi kenapa yang ini tampan sekali?'
"Nona!" Sapa pria itu lagi.
Namanya adalah Dunka. Anak angkat dan juga ponakan dari orang terpandang di desa Syafa. Dunka hidupnya dulu tidak juga lebih baik dari Syafa. Ayahnya telah meninggal dan menyisakan sosok ibu yang kurang terampil dalam mengolah tanah. Ibu Dunka adalah kakak perempuan dari Haji Ali.
"Yah!" Syafa tersentak dari lamunan. "A-apa?" Setengah berjengit kaget. Dia bangun dalam kondisi salah tingkah.
"Boleh minta jambunya?" tanya Dunka sekali lagi. Sebab kurang fokus, Syafa menyodorkan jambu sisa di tangan.
Pria itu mengulum senyum yang memabukkan. Garis bibirnya lebih indah dari guratan mega di kala senja, bening matanya bagaikan air gunung yang menyejukkan hati Syafa.
"Manisnya ori," ucap Syafa yang sesungguhnya diperuntukkan pada Dunka karena terkekang oleh senyum menawan pria itu. Matanya terkesima hingga tidak menyadari apa yang telah dia lakukan terkesan konyol untuk sebagian orang. Tapi bagi Dunka, adalah hal unik yang menunjukkan kepolosan hakiki seorang gadis desa.
'Tipe gadis lugu. Polosnya alami.'
Dengan senyum tipis, Dunka meraih jambu pemberian Syafa menggigitnya pelan sambil berkata "Hemmh, seperti ada madunya." kelakarnya lagi
Syafa tersadar dan melihat tangan yang masih menggantung. Menarik tangannya dengan segera kemudian membalikkan badan. Berbalik lagi menunjuk pada jambu sisa di tangan Dunka.
"Maaf! Itu bekas saya," lirihnya dengan malu-malu. Dia menyodorkan tangan guna mengambil jambu miliknya kembali.
"Jangan mengambil apa yang sudah kau berikan pada orang lain." Dunka menjauhkan jambu di genggaman tangannya.
"Tapi...!" Syafa tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Dia buru-buru pergi dengan setengah berlari.
"Hai...!" teriak Dunka namun tidak didengar oleh Syafa. Tangan yang terulur seakan ingin menarik Syafa, dia genggam kemudian dimekarkan lagi untuk mengacak rambutnya yang basah. Beralih ke dadanya yang berdegup tidak karuan.
"Beraninya dia," ucap Dunka mengelus dadanya. Jambu di tangan kiri digigit lagi "Sangat manis. Bahkan lebih manis dari yang kukira."
Syafa telah menyiapkan segala sesuatunya untuk Sang Kakak dan Bejo. Nasi disertai lauk pauk sederhana telah tersaji di atas papan dipan samping rumah. Tepat dibawah pohon mangga. Aroma harum masakan menguar sempurna membuat Ibu yang tadinya asyik menyiram sayuran menghentikan aktivitasnya.
"Wahhhh...Enak betul baunya. Pasti rasanya jauh lebih nikmat ini." Kelakar ibunya sambil mencuci tangan.
"Tidak lebih enak dari masakan Sibu." Jawab Syafa. Kebiasaan mereka berdua jika memanggil Ibu mereka dengan sebutan 'Sibu'.
"Tapi kali ini lebih manis dari yang Sibu ajarkan lho." Menjawil dagu Syafa dengan gemas.
"Nanti makin panjang lho ini, jadinya kayak musang." Ibu mengernyit heran
"Mana ada musang berjanggut?"
"Itu ada, film kesukaan Sibu." Ibu terkekeh geli.
"Sibu kok ndak memperhatikan judulnya. Sibu hanya suka pemainnya saja. Ganteng." Ibu menuang air putih dari ceret, meminumnya hingga tersisa setengah. Syafa masih sibuk riwa riwi ke dapur mengambil keperluan makan siang untuk mereka.
"Semoga saja nanti pas kamu nikah. Suamimu gantengnya kayak pemain film itu."
"Syafa ndak mau." ucapnya sembari mengulum senyum. Ibu menghentikan aktivitasnya menggeser piring ke bagian samping.
"Lha kenapa?"
"Kalau kayak pemain film kesukaan Sibu, pastinya sekarang tuh orang sudah expired alias kadaluwarsa," ucap Syafa dengan lincah menghindari serangan Ibu yang hendak memukulnya dengan centong.
"Kamu, itu ya!Bukan itu maksudnya."
Syafa terkikik sambil menutup mulutnya.
"Sibu selalu berdoa agar hidupmu sejahtera, dilimpahi keberkahan dan kecukupan. Dapat suami yang sayang dan perhatian padamu." Syafa mendekati Ibu dan memeluknya erat.
"Amiin!" Tiba-tiba terlintas wajah tampan pria yang ditemuinya tadi. Secepatnya Syafa membuang khayalan bodoh itu. Mana mungkin dia seberuntung itu. Berharap mendapatkan pasangan yang sempurna. Pria itu pembawaaannya juga terkesan berpendidikan tinggi.
Lalu teringat pada sosok Kakanya dengan peluh membasahi tubuh. Terlihat eksotis dan ... "Begitu mempesona."
Degup jantungnya semakin meningkat
"Syafa!"
Kluntinggg....
Sendok yang dipegangnya jatuh.
To be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Authophille09
Semangat akak🤗 kita mulai baca tapi pelan2 ya🙏🏻
2022-12-18
1