Bab 2 Jalan pulang

"Kaaaakkkk!"

"Astaga?" Fahri terkesiap melihat Syafa yang telah basah oleh air bercampur tanah. Hampir seluruh tubuh gadis itu berlumuran lumpur. Jembatan kecil dari bambu itupun telah terbalik.

"Bagaimana bisa kau...?" Cecar Fahri. Rasa khawatir yang menyergap hatinya semakin bertambah kala melihat kondisi Syafa yang memprihatinkan.

Kanal sudah mulai mengering meninggalkan lumpur dengan bau yang khas. Tanah itu menggembur.

"Aku jatuh, terpeleset." Syafa membalikkan badan dengan wajah melas.

Fahri awalnya sangatlah khawatir, tapi setelah melihat bentuk wajah lucu Syafa yang seperti bertopeng lumpur itupun tak kuasa menahan tawa.

"Puffttt."

"Kenapa? Mukaku kotor kah?" Syafa tahu apa alasan Fahri merapatkan bibirnya. Gadis itu bersungut dan  berusaha bangkit sendiri.

"Kemarikan tanganmu!" Pinta Fahri. Syafa terus terpeleset ketika berusaha naik. Lumpur di kakinya terlalu lengket dan licin.

Fahri mengulurkan tangannya. Ditepis oleh Syafa. "Aku tak butuh."

"Jangan keras kepala, nanti cepat tua." Fahri menggoyangkan tangannya. Masih sabar menunggu Syafa agar meraih tangan itu.

Beberapa saat Syafa masih enggan. Tapi Fahri segera menariknya hingga bisa naik pematang kanal.

"Adikku semakin cantik jika marah begini." Menyentuh pipi Syafa dengan telunjuk. Dengan kesal Syafa menepis lagi.

"Ih, makin cantik deh." Menoel lagi

"Iyalah! Cantik! Gantengnya dibawa sama kakak semua." Gadis itu semakin lesu ketika melihat kondisi tubuhnya yang sangat kotor.

"Kaaaan, kotor semuaa. Genit banget sih jadi lumpur nempel-nempel gini."

Fahri menutup mulutnya. Bagaimanapun bukan hal yang baik tertawa di hadapan Syafa ketika marah.

"Aku gimana ini, Kak?"

"Kita basuh saja di sungai." Menuntun Syafa dengan hati-hati.

"Lain kali hati-hati?" Fahri sibuk membilas kaki Syafa. Awalnya Fahri membersihkan rok namun setelah itu, Menyibak rok itu hingga terlihat paha bersih Syafa.

"Syafa akan hati-hati jika kakak tidak bicara begitu." Sindir Syafa masih membahas tentang hal yang membuatnya marah.

"Apaaa?" Merasa tidak bicara yang salah. Pikir Fahri.

"Syafa tidak akan menikah!"

Owalah, tentang itu? Batin Fahri.

"Jika kamu nggak mau menikah, Kakak yang repot," ketus Fahri sambil terus membersihkan sisa lumpur di kaki Syafa.

"Biarin. Itukan tugas Kakak. Kakak nggak mau aku repotin?"

"Bukan seperti itu, tapi kakak juga akan berkeluarga juga suatu hari nanti. Dan tentunya bakalan terjadi jika kamu sudah menikah."

Syafa tiba-tiba merasa kesal. Dalam hatinya Fahri akan selalu menjadi miliknya. Dia tidak rela jika nanti dia harus membagi kakaknya dengan orang lain meskipun itu Kakak ipar. Apalagi jika nanti ketemu sama kakak ipar yang tabiatnya buruk. Syafa sangat menolak itu.

"Tetap saja Syafa tidak akan menikah. Biar kakak juga tidak menikah. Kalau kakak keras kepala, kakak saja yang aku nikahi." Ucap Syafa tanpa sadar.

"Syafa...jangan bicara yang tidak-tidak."

"Aku serius."

"Tapi kita...!"

Syafa bangkit tanpa permisi. Batu licin yang dia pijaki membuatnya oleng dan hampir terjatuh.

Untung saja dengan sigap Fahri meraih lengan Syafa dengan cekatan. Tanpa mereka sadari, malah tercipta hal tak terduga diantara keduanya. Tubuh Syafa reflek tertarik ke arah Fahri sehingga tubuh serta wajah mereka bersatu. Naasnya lagi bibir mereka saling menempel.

Desiran luar biasa menjalar ke seluruh pembuluh nadi. Menggetarkan jantung yang semula terasa biasa saja.

"Fahriiiii...!Fahriii...kau dimana?" Ini adalah suara Bejo. Orang yang baru saja tiba dengan mobil pick upnya. Karena tidak melihat Fahri di tempat panenan, diapun berinisiatif berteriak memanggil.

Beberapa detik kemudian keduanya tersadar. Segera berdiri tegak dengan keadaan canggung. Beberapa kali Syafa menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Sedangkan Fahri menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

'perasaan apakah itu?'

'Dia adikku. Dia adikku.'

"Eummfff. Syafa...Syafa pu...maksudnya pulang saja sana." Kikuk dan mulai menepi. Fahri mulai bisa menguasai diri meski pikirannya tak karuan. Nafas panjang dia ambil beberapa kali. Menoleh pada Syafa kemudian kembali ke tempat semula.

'Fahri, sadarlah! Siapa dia bagimu.'

'Dia kakakku, tapi mengapa aku menikmati ciumannya?'

"Tidak! Bersikaplah wajar saja, Syafa. Kita sedarah." Gumam Syafa.

"Bantu masukin karung, nggak?" Tawar Syafa sambil mengikuti langkah kaki Fahri.

"Pulang saja sana. Bantu ibu bersih-bersih." titah Fahri. Dia tidak ingin adiknya mengalami insiden seperti tadi lagi.

"Kau bisa masuk angin jika tidak segera pulang Syafa!" Dipandanginya tubuh basah kuyup Syafa. Fahri membuka hoodie miliknya menyisakan kaus tipis yang membentuk otot kekar Fahri. Lalu dia pakaikan untuk Syafa. Rasanya tidak rela jika tubuh indah adiknya terlihat di depan pria lain. Pasalnya ada Bejo di sana.

"Sebentar lagi ah."

"Dasar ngenyel." Syafa cuek saja seraya mendekati tumpukan jagung.

Tidak semua jagung di kupas ditempat. Sebab akan menghabiskan waktu yang lama. Terlebih teriknya matahari membuat Fahri enggan berlama-lama di ladang. Dengan cekatan Fahri memenuhi semua karung dengan jagung-jagung yang telah dilepaskan dari kulitnya.

"Wah, akeh tenan ki! Bagus-bagus yo hasilnya." Bejo telah datang. Dia memarkirkan mobilnya tepat di samping ladang. Hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari rundukan dimana jagung terkumpul.

Bejo umurnya sedikit lebih tua dari Fahri. Kulitnya sawo matang dengan tato berbentuk bintang dan pohon beringin di bagian kiri. Tubuh Bejo lebih kekar dari pada Fahri. Tapi dari segi wajah, Bejo memiliki sedikit kelainan pada bola mata. Jika menatap akan terkesan lagaknya orang jahat. Tapi sebenarnya, dia memiliki hati yang lembut.

Fahri dan Bejo saling bahu membahu melemparkan jagung-jagung itu langsung ke bak dengan diangkut oleh karung yang direntangkan setelah dibelah.

"Syafa, hari makin terik. Sebaiknya kau pulang saja."

"Ya sudah! Aku pulang. Disini tidak ada yang membutuhkan ku."

"Bagus itu. Gadis memang pekerjaannya di rumah. Biar tidak gosong karena dipanggang sinar matahari," ucap Bejo dengan lembut.

"Nggak dibalik sih, makannya gosong!" Sambar Syafa.

"Pisang goreng kali, Fa." jawab Bejo. "Kakakmu ini luar biasa sayangnya padamu. Jadi menurut sajalah." Syafa dan Fahri saling melempar tatapan. Kemudian Fahri memilih melengos.

"Pulang sana!" Tegas Fahri. Sebab Syafa tak kunjung beranjak dari tempatnya berdiri. Bejo tersenyum geli melihat raut wajah Syafa. Betenya telah mencapai level sepuluh.

"Sudah, pulang saja. Biar kita yang bereskan semuanya. Dek Syafa pulang saja untuk buatkan kami minuman," bujuk Bejo dengan senyum terbaiknya.

"Iya! Iya! Aku pulang!" Syafa mengangkat tangan tanda menyerah.

Dia kembali menyusuri pinggiran sungai dan menyebrang jembatan kecil. Fahri menatap adiknya hingga hilang di pandangan. Seperti tenggelam ke sungai yang memang lebih rendah dari tanah sekitarnya.

Syafa tertegun kala melewati aliran sungai dimana adegan mesra antara dirinya dan Fahri terjadi.

"Tolong! Lupakan itu Syafa, dan pulanglah." Gumamnya sambil berlalu. Syafa kemudian melewati pematang sawah.

"Hai, Nona!" Syafa hampir saja kehilangan separuh nyawa karena terkejut. Seorang pria muncul tiba-tiba dengan sekujur tubuh dipenuhi oleh lumpur. Ataukah dia yang sibuk melamun tak menyadari kedatangan pria tersebut.

Beberapa detik yang lalu, nasibnya juga sama seperti pria di depannya.

"Bisakah kau tunjukkan padaku dimana jalan agar aku bisa turun ke sungai? Aku melihat jalannya amat terjal dibagian sana. Mungkin..."

Syafa menahan tawa sambil menunjuk jalan setapak menurun ke arah dasar sungai.

"Di sana?" ucap pria itu memastikan.Syafa mengangguk satu kali guna menyakinkan pria yang ada di hadapannya.

"Bisakah kau ikut serta denganku, Nona?" pinta pria itu yang tentu saja mendapat tatapan tajam dari Syafa.

"Tidak!" Syafa kembali teringat kisah romantis tanpa sengaja antara dirinya dan Fahri. Jangan sampai itu terulang kembali dengan pemuda yang baru saja dia jumpai ini.

"Baiklah, jika tidak berkenan. Sebenarnya saya ingin mengucapkan terima kasih dengan memberikan Anda sesuatu yang saya miliki." Pemuda itu melirik ke bawah. Syafa berpikir negatif.

'Apakah yang dimaksud adalah barang dibalik resleting itu?'

Pikiran Syafa yang kacau semakin eror dengan pernyataan pemuda itu. Syafa mengira jika kata miliki bermakna tabu. Syafa segera menggeleng. "Tidak perlu." Ketusnya.

"Baiklah. Saya mengerti! maka saya tidak bisa memaksa. Tapi jika Anda berubah pikiran. Silahkan susul saya. Akan saya berikan dengan cuma-cuma."

"Kau...! Lebih baik kau juga pergi sebelum saya benar-benar berubah pikiran dan marah pada Anda."

To be continued

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!