Chapter 4

Pagi-pagi sekali, Taka sudah berdiri di depan apartemenku lengkap dengan topi, masker dan hoodie hitam. Tokyo Camii menjadi tujuan kami. Tokyo Camii, adalah sebuah masjid dengan sebuah pusat budaya Turki yang berada di dekatnya yang terletak di distrik Ōyama-chō, kawasan Shibuya, Tokyo, Jepang. Mesjid yang lokasinya ada di dekat distrik bisnis dan wisata Shinjuku dan Shibuya ini adalah mesjid terbesar yang ada di Jepang.

Selain untuk beribadah, Tokyo Camii difungsikan sebagai tempat menyelenggarakan pernikahan, peragaan busana, pertunjukan, pameran dan konferensi. Masjid Camii juga memiliki anggota remaja masjid yang aktif. Yuai Internasional School menyelenggarakan kelas spirit membaca Al-Qur'an, mengenal Islam, karate, dan kaligrafi. Sekolah tersebut dijalankan oleh Islamic Center of Japan (IJC), sebuah lembaga muslim yang telah didirikan sejak 1966.

Dengan bergandengan tangan, kami berjalan pelan menuju Stasiun Tokyo sembari menghirup udara pagi. Dari Stasiun Tokyo, kami naik kereta Tokyo Metro Marunouchi Line sampai Stasiun Kasumigaseki atau Kokkai-gijidomae lalu berpindah ke kereta Tokyo Metro Chiyoda Line sampai Stasiun Yoyogi-uehara dengan lama perjalanan sekitar 24 menit. Setibanya di Stasiun Yoyogi-uehara, kami berjalan kaki ke arah timur sekitar 5-10 menit. Tidak sulit menemukan masjid tersebut karena dari kejauhan kami sudah bisa melihat menara masjidnya.

***

Aku membawa scarf yang kugunakan sebagai pengganti hijab. Menutup aurat adalah satu syarat untuk memasuki masjid. Di dalam masjid, kami bertemu dengan salah seorang pengurus yang merupakan orang Turki. Saat Taka berdiskusi untuk beberapa saat, aku menuju ke toko souvenir yang terletak di sebelah kanan pintu masuk.

Selain sebagai tempat ibadah, Tokyo Camii menjadi salah satu tempat wisata religi. Terdapat toko oleh-oleh khas Turki dan juga halal market. Para umat muslim yang singgah untuk beribadah di sini bisa sekalian membeli berbagai kebutuhan makanan halal.

Setelah cukup lama melihat-lihat dan melaksanakan sholat dhuhur, aku terkejut ketika Taka menepuk bahuku pelan. Ada yang ia sembunyikan di balik punggungnya dan ada yang berbeda dengan raut wajah pria itu. Dengan pelan, ia menunjukkan sesuatu yang tadinya disembunyikan. Aku menutup wajahku dan menangis tersedu-sedu setelah melihat selembar kertas yang merupakan sertifikat sebagai tanda jika Taka sudah menjadi seorang mualaf.

***

"Kenapa bisa secepat itu?" tanyaku penasaran.

Kami baru saja duduk di sebuah restoran untuk makan siang yang sudah sangat terlambat.

"Kenapa tidak? Tidak sulit untuk menjadi seorang muslim. Aku hanya perlu mengikuti kalimat yang disebutkan oleh imam masjid," jawab Taka.

Aku mengerutkan kening. "Itu saja? Kamu bisa dengan semudah itu menjadi muslim sebelum tau apa itu islam sebenarnya?"

Taka menatapku dengan wajah yang sangat serius. "Rinai, di saat aku berkata jika aku akan menjadi seorang muslim, di saat itu juga aku langsung mencari tau apa itu islam. Aku banyak bertanya dan mencari tau semua tentang islam. Baik ritual doanya, sampai ke larangan-larangannya. Kamu meremehkanku!" ucapnya cemberut.

Aku tertawa kecil melihat ekspresinya, "Maaf Taka, aku bukannya meremehkanmu. Hanya saja aku baru tau jika kamu sudah mencari tau tentang semua itu. Aku hanya kaget, dan jujur saja memiliki ketakutan tersendiri. Aku takut kamu hanya mempermainkan agama hanya untuk pernikahan."

Taka menghembuskan nafas panjang. "Rinai, dengar. Untuk orang Jepang pada umumnya, agama tidak ada pengaruhnya sama sekali. Apalagi tadinya, aku adalah seorang Agnostik yang mengakui adanya Tuhan jika bisa dibuktikan dengan ilmiah. Ini adalah diskusiku dengan para pengurus masjid, tadi. Setiap aku bertanya tentang keberadaan Tuhan secara ilmiah, mereka bisa mematahkanku dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Quran. Mereka berkata jika Al-Quran diciptakan sudah lama sekali. Tetapi yang mengherankan, isinya terdengar nyata untuk di jaman ini.

Saat aku berkata bahwa mungkin saja ada seorang muslim melakukan perjalanan lintas waktu untuk menuliskan kitab itu, beberapa pengurus di sana hanya tertawa. Mereka bilang, bukan manusia yang menciptakan Al-Quran, tapi Tuhanlah yang menciptkannya sebagai pedoman para manusia yang hidup sampai dengan hari ini. Itu kenapa Al-Quran disebut sebagai mukjizat, karena keberadaannya yang bisa menjadi pedoman sepanjang masa. Aku terkejut mendengar penjelasan itu dan hatiku mengatakan bahwa itu adalah penjelasan yang masuk akal. Karena hal itu juga aku mantap untuk menjadi seorang muslim," jelas Taka panjang lebar.

Aku menangis kembali mendengar penjelasan Taka. Betapa benar jika hidayah bisa datang kapan saja, di mana saja dan melalui siapa saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!