Masa lalu

"kenapa sih dek, tak lihat-lihat kamu kok kayaknya mrenggut wae (cemberut terus). Kamu sakit po?" Ujar Ikhwan tatkala melihat istrinya kali ini lebih banyak berdiam diri.

"Nggak apa-apa mas. Cup..cup..cup.." jawab putri sembari menggendong Nisa yang mulai merengek akibat beberapa gigitan nyamuk yang lolos dari pengawasan ibunya.

"Kamu ada masalah dek?" Tanya Ikhwan kembali. Dia nampak begitu cekatan tatkala mencoba mencabut pohon singkong yang tertanam cukup dalam.

"Nggak ada mas. Cuma..." Ucap putri pias.

"Cuma apa dek?" Ucap Ikhwan kembali penuh tanda tanya.

"Aku kok akhir-akhir ini merasa ada yang aneh ya di rumah peninggalan simbah. Kaya ada yang janggal gitu mas." Ujar putri masih menimang-nimang buah hati kecilnya.

"Seminggu ini hampir 4 kali lho mas aku merasa di ganggu. Entah itu suara, atau kadang bayangan-bayangan gitu. Walaupun nggak berbahaya tapi aku takut mas. Aku jadi paranoid kalau kamu pergi kerja. Aku takut mas saat di rumah itu sendirian." Ujar putri menggandeng lengket lengan Ikhwan.

"Jujur aku juga belakangan ini kurang nyaman dek. Sekarang ayo kita duduk dulu di gubuk. Baru cerita-cerita. Neng kene uakih nyamuke dek, (disini banyak nyamuknya dek,) kasihan si Nisa." Ajak Ikhwan menunjuk sebuah gubuk di pinggir kebun.

Akhirnya mereka berjalan beriringan membelah rimbunnya rerumputan yang memang sengaja di biarkan tumbuh liar dan di manfaatkan sebagai pakan ternak. Dengan menenteng dua pohon singkong yang masih lekat dengan tanah merah yang menempel. Mereka terlihat begitu mesra meski hidup mereka serba susah.

"Ah..boyokku rasane koyo pindah ngarep. (Ah.. punggungku rasanya kaya pindah ke depan.)" Keluh Ikhwan merebahkan punggungnya di dinding gubuk.

"Sebenarnya apa salah simbah ya mas, dari simbah masih hidup sampai simbah sudah meninggal pun anak-anaknya selalu membuat simbah kecewa. Yang aku tahu padahal simbah itu orangnya penyayang. Sifat yang sama sekali nggak menurun ke anak-anaknya. Cuma bapakku saja anak dari simbah yang paling nrimo ing pandum. (menerima dengan ikhlas)." Ujar putri seketika.

"Kamu benar dek, memang nggak bisa di pungkiri. Bapakmu orangnya walaupun galak tapi beliau terlihat begitu sayang denganmu dan pak sudi setahuku bukan tipe orang yang munafik." Imbuh Ikhwan sambil membersihkan singkong yang baru saja ia panen. Dengan terampil ia memilih mana singkong yang akan di jual ke pasar dan mana yang akan di jadikan konsumsi sendiri.

"Berbeda dengan keluarga besarmu yang lain. Seakan-akan hampir semuanya hanya memakai topeng kepalsuan." Batin Ikhwan dalam hati. Ia masih belum tega jika mengatakan langsung kepada putri.

"Dulu, mbah Yani itu orang yang sangat kaya raya mas. Suaminya mbah Rasyid, seorang kolonel ABRI, meninggal dunia saat berjuang demi mempertahankan kemerdekaan di tahun 1960. Meninggalkan ke enam anak beserta semua hartanya kepada mbah yani yang berupa sawah berhektar-hektar beserta tanah kebun yang tersebar hampir di setiap daerah di provinsi ini. Menjadikan mbah Yani yang saat itu sudah berumur 40 tahun lebih sedikit, menjadi salah satu orang terkaya di seluruh provinsi ini.

"Bahkan dulu simbah hampir nggak pernah kekurangan mas, berasnya itu sekali panen bisa untuk satu tahun hidup mas. Ngeri pokoknya. Dulu aku kalau lihat orang-orang yang mau setor panenan dari sawah, itu sampai rumah itu penuh sesak mas. Puluhan karung beras di tumpuk-tumpuk kaya gunung gitu. Dulu waktu kecil aku suka banget manjat-manjat gitu mas." Sambung putri antusias.

"Lalu, sekarang kemana semua itu dek?" Tanya Ikhwan sambil sesekali menyortir dan membersihkan singkong-singkongnya.

"Semua sudah habis mas. Kata simbah waktu masih hidup. Beliau cerita kalau dulu pakdhe ngatno dan pakdhe iman itu nakalnya nggak ketulungan mas. Mereka berdua itu tergila-gila dengan judi. Entah sabung ayam atau judi bola." Tukas putri.

"Lalu apa hubungannya dengan harta simbah dek?" Tanya ikhwan menghentikan sejenak aktivitasnya.

"Lha yo..ada toh mas. Uang yang mereka pakai judi itu iya uang dari hasil panen simbah Yani. Mereka diam-diam kerja sama buat ngambil sekarung demi sekarung, dan kemudian menjualnya ke tengkulak. Bahkan katanya mereka juga pernah menggadai salah satu kebun simbah buat main sabung ayam. Semua itu di lakukan bertahun-tahun mas. Pokoknya apapun akan mereka lakukan demi bisa pasang taruhan judi mas! Begitu kata simbah dulu."

"Dan simbah bukannya tidak tahu soal kelakuan anak-anaknya yang menjual hartanya satu persatu mas. Begitu besar rasa sayang mbah yani ke semua anak-anaknya mas, tanpa terkecuali. Walaupun, hingga saat meninggal dunia, semua harta dari simbah sudah ludes akibat perangai buruk anak yang sudah tulus ia sayangi. Aku masih inget betul mas, saat meninggal, mbah yani itu sampai bingung soal biaya lho mas. Karena hartanya sudah benar-benar ludes habis dan hanya rumah itu yang tersisa." Jawab putri.

"Bahkan dulu rumah itu suratnya saja sudah di gadai lho mas. Hingga budhe miyati menebus semua tanggungan biaya gadainya. Dan budhe juga yang menyuruh kita untuk menempati rumah itu daripada di biarkan kosong tak terawat." Sambungnya.

"Kembali ke simbah Yani. Sayang, sekian lama setelah suaminya meninggal waktu itu. Saat rasa sedihnya kehilangan suami sudah perlahan mulai terobati, Kurang lebih berselang dua puluh tahun kemudian ia mendapatkan musibah kembali yang membuatnya trauma berat sepanjang hidupnya. Anak laki-lakinya yang pertama ikut menyusul mbah kakung rasyid ke alam lain. Anak yang bisa di bilang kesayangannya simbah. Namanya pakde Rukino. Dan saat itu, pakde rukino meninggal dunia dengan kondisi yang cukup misterius." Imbuh putri.

"Misterius?" Ujar Ikhwan heran.

"Iya pokoknya gitu lah mas kondisinya. Kata bapak ngeri pokoknya. Lain kali tak ajak dolan (main) ke rumahnya mas sekalian mau kondangan ke daerah sana juga. Nah, praktis kini hanya tinggal tersisa pakde ngatno, pakdhe iman, budhe miyati yang kini bekerja di luar negeri. Serta pakdhe murshid dan bapak. Tapi yang aku heran mas, walaupun bapak dan sedulurnya (saudaranya) itu satu kampung tapi aku dengar hubungan mereka sedikit renggang. Apalagi setelah mbah yani meninggal dunia. Pakdhe ngatno dan pakdhe iman seakan-akan memutus tali silaturahmi secara sepihak." Sambung putri dengan mimik muka yang serius.

"Hushhh...Sudah lah dek, nggak baik su'udzon sama saudara bapakmu sendiri. Jangan berpikiran yang tidak-tidak ah. Nggak baik." Ucap Ikhwan sembari mencuci tangannya yang kotor penuh tanah merah yang masih basah.

"Iya mas. Tapi orang-orang desa itu juga bilang lho mas, kalau.." tukas putri.

"Ssssstttttsstttt..ayo kita pulang dek langite mulai surup (langitnya sudah mulai gelap). Sesok wae tak juale di pasar. (Besok saja tak jual ke pasar)." Ujar Ikhwan mengangkat karung yang cukup besar itu.

"Iya mas." Putri segera bergegas menuruti suaminya itu. Akhirnya keduanya memutuskan untuk kembali pulang dengan berboncengan menggunakan motor butut milik ikhwan.

"Mas, mbok kamu kalau bisa pinjem siapa dulu gitu mas. Kita sudah nggak punya uang sama sekali lho. Aku juga masih punya hutang sama sebelah mas. Nggak enak kalau mau hutang lagi." Ujar putri yang masih setia membonceng motor suaminya. Wajahnya begitu terlihat kuyu.

"Bismillah dek, nanti tak coba pinjem ke temenku. Moga-moga aja dia punya dek." Jawab Ikhwan mencoba menenangkan hati istrinya meski hatinya sendiri sedang terasa getir. Perasaannya bagai di sambar petir ribuan kali. Ingin rasanya ia menangis namun malu dengan beban tanggung jawab yang tengah mengganduli kedua pundaknya.

"Iya mas. Besok uangnya di kembalikan kalau singkongmu sudah laris di pasar." Ujar putri menyenderkan kepalanya ke punggung kekar suaminya. Nampak Nisa mulai mengerjapkan matanya karena mungkin sedikit terganggu dengan percakapan kedua orang tuanya.

Mereka berdua dengan perlahan namun pasti menyusuri jalan yang aspal yang cukup kecil. Pohon-pohon dan tumbuhan liar di sisi kanan jalan sudah mulai menggelap sebab mentari sudah benar-benar tenggelam. Suasana asri seketika berubah menjadi penuh adrenalin. Kicauan burung yang menyejukkan berganti menjadi lolongan burung hantu yang saling sahut menyahut. Juga di temani sayup-sayup lirih kumandang adzan yang menggema di sudut telinganya.

Surup...

.

.

Bersambung..

Terpopuler

Comments

Randy_Chavaladruva

Randy_Chavaladruva

hsjsk

2022-10-23

1

Randy_Chavaladruva

Randy_Chavaladruva

sdfghu

2022-10-23

1

Randy_Chavaladruva

Randy_Chavaladruva

ffhhjii

2022-10-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!