Sasaran Balas Dendam
Seorang gadis cantik tengah berdiri diantara kerumunan orang yang sedang mengantri untuk di foto, berdiri dengan pakaian toga dan juga topi wisuda yang melengkapi tampilannya saat ini yang cantik dengan make up flawless.
Dia melakukan sesi foto dengan begitu cepat, karena memang dia seorang diri.
“Pak kita berdua temenin Bia foto.” Satu orang gadis cantik tiba-tiba muncul dengan tangan yang menarik paksa tangan rekannya lagi.
“Satu ... Dua ... Tig … a," Sang fotografer mengarahkan. “Gaya bebas Satu ... Dua ... Tig … a Oke!” selesailah sesi foto mereka.
Biandra Amalia Subagja gadis cantik yang baru saja melaksanakan wisudanya, setelah kurang lebih empat tahun menimba ilmu di jurusan manajemen bisnis.
Ada yang aneh dengannya, biasanya mahasiswa lain wisuda akan ditemani orang tua dan diantar beberapa anggota keluarga. Tapi tidak dengannya, dia datang dengan taksi online dan juga sendirian.
Bia, sapaan akrab gadis cantik yang kini belum genap berusia 22 tahun itu tampak memandang beberapa temannya yang sedang berfoto bersama orang tuanya di depan spanduk besar yang bertemakan perpustakaan.
Bia begitu iri dengan nasib baik teman-temannya itu. Bahkan ada temannya yang orang tuanya jauh tapi masih menyempatkan hadir menemani momen bahagianya.
Sedangkan dia, kemana kedua orang tuanya?
Ke mana saudara-saudaranya?
Adiknya?
Jawabannya hanya satu mereka semua tidak peduli dengan Bia.
Bia meringis merasakan hatinya berdenyut ngilu.
Sering kali beberapa pertanyaan selalu memenuhi pikirannya.
Apakah aku bagian dari keluarga Subagja?
Mengapa aku berbeda?
Mengapa hidupku selalu sulit?
Mengapa aku selalu sendirian?
Sampai di titik ini Bia tidak mengerti dengan semua ini, ibunya yang kejam, adiknya yang selalu mengambil semua miliknya dan juga ayahnya yang tidak peduli dengan dirinya.
Seakan dirinya hanya bayangan semu yang tak perlu dihiraukan keberadaannya.
Andai saja Bia tidak memiliki otak yang cerdas mana mungkin dia akan bisa berkuliah di Universitas Negeri seperti ini. Karena kedua orang tuanya sudah lepas tangan membiayai pendidikan Bia sejak dirinya lulus sekolah menengah atas.
Untuk biaya sehari-hari saja Bia harus bekerja paruh waktu di sebuah coffee shop.
Miris memang, keadaannya berbanding terbalik dengan adiknya Amel. Amel begitu dimanja, semua keinginannya selalu dituruti. Fasilitas pun lengkap, mulai dari ponsel, mobil, uang jajan, uang sekolah bahkan uang untuk sekedar berfoya-foya pun ada jatahnya.
Namun Bia tidak ingin ambil pusing masalah itu, selama ini dia bertahan di rumah hanya karena tidak mampu untuk menyewa sebuah tempat tinggal.
Upah dia bekerja di Coffee Shop hanya cukup untuk kebutuhan sehari-harinya saja. Setidaknya dia memiliki tempat untuk berteduh dan juga bisa makan gratis walaupun terkadang hanya makanan sisa.
Miris memang, tapi begitulah Bia menjalani hidupnya.
Acara sudah berakhir sejak satu jam lalu, setelah selesai di foto Bia beserta kedua temannya Rinjani dan Devia pergi bersama dengan menggunakan mobil milik Devia.
“Bi rencananya elu mau ngelamar kerja dimana? “ tanya Rinjani yang kini duduk di kursi belakang.
“Ah elah lu, jangan ngomongin kerjaan dulu lah,” balas Devia yang duduk di samping bangku kemudi. Ya, Bia lah yang mengemudikan mobil milik Devia.
“Elu enak Vi, mau apa-apa tinggal minta ama bokap elu,” balas Rinjani lagi, “Gimana Bi?”
“Liat nanti aja. Aku masih betah di coffee shop," balas Bia yang fokus dengan jalanan di depannya.
“Bareng gue ya Bi kalau mau cari kerja.” Rinjani.
“Ya nanti aku kabari, gak enak si kalo aku langsung keluar gitu aja. Kalian kan tau mbak Wulan udah banyak bantuin selama ini," tutur Bia.
“Ehhh tadi bokap sama nyokap lu ga pada datang Bi?” tanya Devia yang memang tidak melihat kehadiran orang tua Bia.
“Kamu kan tau sendiri gimana orang tua aku, mana peduli mereka.” Bia tersenyum kecut.
“Ya kali aja mereka datang, secara kan elu hari ini wisuda. Cum Laude lagi." Walaupun Devia dan Rinjani tau bagaimana hubungan antara Bia dan orang tuanya tetap saja mereka penasaran.
“Mana peduli lah mereka." Bia selama ini selalu tersenyum mana kala membicarakan masalah pribadinya, padahal itu hanya menutupi kegetiran yang dia rasakan saja. "Mau gue seberhasil apapun juga tetep aja gak kelihatan."
Bia tidak ingin di kasihani, Bia tidak ingin hidup dengan belas kasih orang lain.
“Saran gue ya, mending elu keluar aja dari rumah. Percuma disana juga.” Devia.
“Gue setuju sama Via.” Rinjani.
Entah sudah berapa ratus kali saran itu Bia dengar dari kedua sahabatnya itu, namun Bia hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman.
"Lu tinggal sama gue aja dulu, nanti gue bilangin sama orang tua gue." Devia memang anak tunggal, dan sering ditinggal kedua orang tuanya untuk perjalanan bisnis.
Mungkin sebentar lagi. Batin Bia.
***
Di waktu yang sama di tempat yang berbeda
Beberapa orang dengan pakaian serba hitam tengah menunggu di depan terminal kedatangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Kacamata hitam menghiasi wajah datar mereka semua.
Lima belas menit berlalu, munculah sesosok pria berbadan tinggi dengan menyeret sebuah koper kecil di tangannya.
“Selamat datang kembali, Tuan,” sapa pria yang berdiri paling depan diantara yang lainnya. Yang hanya di balas anggukan kepala oleh laki-laki tadi.
Dengan menumpangi mobil mewah keluaran terbaru, Laki-laki itu duduk dengan gaya angkuhnya di bangku belakang.
“Bagaimana?” tanyanya dingin.
“Acaranya sudah selesai tadi, sekitar pukul satu siang tuan,” balas laki-laki yang kini duduk di bangku depan di samping sopir. Sepertinya dia orang kepercayaan tuannya.
“Bagaimana yang saya minta?” tanyanya lagi dengan pandangan yang mengarah ke luar jendela.
“Sesuai keinginan, Tuan.”
“Bagus!” sebentar lagi lanjutnya dalam hati.
Tidak ada percakapan lainnya, mobil yang dia tumpangi begitu hening. Bahkan deru mesin pun nyaris tidak terdengar.
Selang satu setengah jam perjalanan, dua mobil mewah tadi tibalah di sebuah rumah mewah yang bergaya klasik.
“Apa kabar Oma?” sapanya kepada wanita tua yang menyambut kedatangannya, wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah lebih dari 70 tahun itu.
“Oma baik, kamu pasti baik-baik saja, kan?” wanita yang dipanggil oma itu memeluk tubuh tinggi di hadapannya dengan tangan membelai penuh kasih sayang punggung kekar itu.
“Istirahatlah, kamu pasti lelah," lanjutnya sesudah mengurai pelukannya itu.
“Ya, Oma istirahatlah juga,” balasnya yang hanya dibalas dengan anggukan kepala saja.
Dia pergi meninggalkan wanita tua yang masih menatapnya itu. Perlahan namun pasti langkah kakinya yang lebar melewati undakan demi undakan tangga yang akan membawanya menuju lantai dua di mana kamar miliknya berada.
Namun sekarang tujuannya bukan kamarnya, melainkan ruang kerjanya yang ada di ujung lorong.
Dia berjalan menuju dinding ruang kerjanya, menatap satu persatu foto yang menempel di sana. Satu anak panah melesat dan mengenai salah satu foto yang menempel.
“Sudah lama saya menantikan ini semua, dan kini waktunya sudah tiba. Bersiaplah, semuanya akan segera dimulai.”
Bersambung .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Cucu Suliani
Emak Menghadir
2022-10-25
5