“Hei bro, lama gak ketemu makin ganteng aja lu,” sapa Johan teman baik Devan, yang datang bersama Anton.
“Ah elu bisa aja basa basinya.” Anton ikut menimpali.
“Tumben ngajak gue ketemuan disini, gak takut di marahin sama bini?” balas Devan setelah meneguk minuman beralkohol yang ada di dalam gelas miliknya.
Ya, mereka malam ini bertemu di sebuah club malam elit di pusat Ibukota.
Johan dan Anton adalah sahabat baik Devan, mereka bertiga berteman sejak sekolah menengah atas. Keduanya juga sudah menikah dan memiliki anak.
“Gue sih aman, asal gak ketahuan minum-minum aja.” Anton.
“Sama gue juga.” Johan memanggil pelayan yang kebetulan lewat di depan mereka.
Devan hanya mengangkat satu sudut bibirnya mendengar percakapan kedua sahabatnya.
“Ngeledek ni anak. Makanya nikah biar tau gimana rasanya punya satpam,” Johan meninju bahu kekar Devan. “Jangan kelamaan ngejomblo jadi odol baru tau rasa, lu,” lanjut Johan meledek Devan.
“Maka mungkin lah, dia tiap malem dapet service,” balas Anton yang melirik ke arah wanita-wanita berpakaian minim.
Entahlah bagaimana Johan dan Anton bisa bertahan berteman lama dengan Devan yang memiliki sifat dan sikap yang berbanding terbalik dengan keduanya.
“Jadi ada apa? “ tanya Devan to the point.
“Gak ada yang penting sih, pengen aja keluar. Elu cuman kita jadiin alesan buat bisa keluar aja,” jelas Johan dengan santainya sambil meneguk minuman soda yang baru saja diterimanya dari pelayan.
Mereka bertiga kini sudah menempati ruangan VVIP yang selalu di booking Devan.
“Bangke emang lu pada.” Devan.
“Ya kan kalo alesannya sama elu, bini bini kita gak bakalan curiga. Secara janjian sama billioner muda. Ya, ga? “ jawab Johan menepuk bahu Anton meminta dukungan.
“Betul itu bro,” Anton.
Devan tidak ingin menimpali ocehan kedua sahabatnya yang dia rasa tidak ada gunanya.
Selang satu jam berlalu.
“Gua cabut duluan, bini gue udah nelpon.” Anton menunjukan chat masuk di ponselnya.
“Bareng, kita duluan bro. Have a nice night.” Johan meneguk habis minumannya, kemudian berlalu meninggalkan Devan dengan kerlingan sebelah matanya.
Devan hanya menanggapi dengan tatapan tajam kepada keduanya dan kedua sahabatnya itu tidak peduli sama sekali.
“Siapkan pesanan saya," ucap Devan pada sambungan telepon, tanpa menunggu jawaban dari orang yang ada di seberang sana. Devan langsung menutup panggilannya.
Devan kembali meneguk sisa minumannya, Devan memang pecinta alkohol. Namun dia bukan seorang pecandu, Devan minum tidak pernah sampai mabuk parah.
“Selamat malam, Tuan," sapa seorang wanita yang datang dengan busana kurang bahan.
“Bersihkan mulutmu.” Devan melemparkan sesuatu yang diambil dari saku jas yang masih digunakannya.
Dengan sigap wanita itu menangkapnya, dengan satu sudut bibir terangkat ke atas dia pun berlalu menuju toilet yang ada di ruangan itu.
“Saya sudah selesai, Tuan.” Wanita itu menghampiri Devan dan langsung duduk di pinggiran sofa, dengan tangan yang mulai meraba ke segala tempat.
“Lakukan dengan benar, jangan sampai gigi kamu melukai saya. Saya bayar mahal kamu kalau kamu becus bekerja!” ucap Devan dengan mencengkram dagu wanita dengan polesan make up tebal itu.
“Tentu saja!” wanita yang tidak ingin Devan ketahui namanya itu tersenyum nakal ke arah Devan dan dengan cepat melaksanakan tugasnya.
Devan merasakan sensasi yang selalu dia rasakan, tidak ada yang berubah. Rasanya sama. Devan sesekali mengerang dengan mata yang terpejam, tangannya dia rentangkan di sandaran sofa.
Selang 45 menit berlalu wanita itu berhasil membuat Devan pelepasan. Dia bangga bisa membuat Devan terengah-engah di hadapannya.
“Saya bisa melakukannya lebih dari ini, Tuan.” Dengan tangan nakal wanita itu berbisik di samping telinga Devan yang masih mengatur pernafasannya.
Merupakan sesuatu yang patut di banggakan bagi seorang wanita panggilan, jika berhasil menemani malam orang seperti Devan Manuello Addion. Pewaris Addions Grup.
Salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang bisnis properti dan penyedia jasa manajemen perusahaan. Perusahaan warisan dari mendiang kakeknya, suami dari Oma Gendis. Yang berhasil Devan kembangkan ke kancah Internasional, berkat kerjasama dengan perusahaan milik keluarga ayahnya yang berada di Amerika, yang saat ini dikelola oleh adik dari ayahnya. Enrico Manuello.
Devan membuka matanya, mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja.
“Tulis nomor rekening kamu.” Tanpa ingin membalas ucapan wanita yang berhasil membuat dirinya terbang melayang.
Devan menunjukan bukti transaksi di ponselnya, “Keluarlah!”
Dengan perasaan senang wanita itu pergi meninggalkan Devan, tidak masalah pikirnya hasratnya tertahan yang penting malam ini dia menghasilkan uang banyak dia bisa menuntaskan hasratnya setelah dari sini.
Devan mengenakan kembali celana miliknya yang melorot sebatas paha. Devan menjatuhkan tubuhnya kembali ke sofa.
Kesenangan dunia, keberhasilannya di dunia bisnis, harta yang bergelimang tidak dapat membuat dirinya lupa akan satu tujuan hidupnya.
Devan mengepalkan kedua belah tanganya, amarahnya memuncak. Dengan kasar Devan meraih jas dan kunci mobil miliknya. Devan pergi meninggalkan tempat itu dengan amarah.
Devan melajukan mobil mewahnya menuju kediaman miliknya, tak butuh waktu lama, karena jalanan malam hari begitu lenggang.
Devan memarkirkan mobilnya sembarangan, tujuannya sekarang Devan ingin segera tiba di ruang kerjanya.
Mengabaikan kepala pelayan yang menyambut kedatangannya, Devan dengan langkah cepat menaiki satu persatu anak tangga, dengan sesekali melewati dua undakan tangga sekaligus.
Brakkk!
Dengan kasar Devan membuka pintu ruang kerjanya, membantingnya ketika menutupnya. Menciptakan bunyi menggema di lorong lantai atas rumahnya.
Satu buah anak panah kembali melesat mengenai sebuah foto yang menempel di dinding. Foto yang sama.
Devan menunjuk satu persatu foto yang ada di sana, "Kalian akan membayar mahal semuanya."
Devan mengelus salah satu diantara banyak foto yang menempel disana, "Dan kamu orang yang akan saya jadikan ujung tombak, bersiaplah sayang. Permainan sesungguhnya akan segera dimulai."
Tatapan Devan begitu mengerikan dengan wajah yang menggelap.
***
"Bi ice espresso, caffè latte sama cappuccino nya satu satu, ya," ucap salah satu rekan kerja Bia.
"Oke." Bia menjawab dengan tangan yang sedang menggambar pola daun di pesanan kopi sebelumnya.
Setelah lulus kuliah, sekarang Bia bekerja full time. Bia bukan tidak ingin mencari pekerjaan yang lebih baik, dengan ijazah yang baru saja dia dapatkan tentunya akan dengan mudah Bia mendapatkan pekerjaan yang layak. Apalagi didukung latar belakang keluarganya.
Namun sayang selama ini Bia jarang menggunakan nama keluarganya. Bia lebih nyaman hidup tanpa menyandang nama besar keluarga ayahnya.
Kehadirannya yang selalu tidak dianggap membuat Bia semakin enggan memakai nama belakangnya keluarganya.
Selama ini Bia hanya dikenal sebagai gadis biasa yang kuliah dengan beasiswa dari pemerintah dan bekerja paruh waktu di sebuah coffee shop.
Bia jarang mengikuti acara-acara besar keluarganya, bahkan relasi bisnis ayahnya hanya mengetahui Amel saja sebagai putri Doni Subagja.
Miris memang, tapi Bia menganggap itu lebih baik daripada hidupnya tidak tenang karena sikap iri Amel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Cucu Suliani
Semangat berkarya
2022-10-25
6