Satu minggu berlalu dan besok adalah hari kelulusan Amel di sekolah.
Tidak banyak yang berubah dari hidup Bia, dia akan banyak menghabiskan waktu di luar. Pulang ke rumah hanya numpang tidur dan makan saja.
Dan itu semakin membuat jengkel Lisa. Karena Amel yang selalu protes ingin keluar rumah dan selalu membandingkan kebebasan Bia.
"Mau kemana lagi kamu?" tanya Lisa yang melihat Bia menuruni tangga dengan membawa tas punggung kecil.
"Kerja, Ma," balas Bia sopan, menghargai dan menghormati Lisa sebagai ibunya.
"Kerja apa keluyuran, bohong deh, mah kayanya," timpal Amel yang sedang duduk di samping Lisa.
"Kamu jangan macam-macam ya, jangan buat malu keluarga!" ancam Lisa saat Bia sudah berada di ujung anak tangga.
'Sabar Bi sabar' Bia mencoba menahan emosinya agar tidak melawan Lisa yang percuma, karena ujung-ujungnya dia yang akan kena getahnya.
"Iya mah, aku berangkat dulu." Bia mulai melangkahkan kakinya lagi.
"Gitu tuh gak punya sopan santun banget, orang belum beres juga ngomong udah nyelonong pergi aja," Amel selalu saja menyiramkan bensin di tengah kobaran api. "Sekolah tinggi, Cum Laude. Tapi gak punya etika."
Bia mengepalkan kedua tangannya, dia begitu geram dengan perkataan adiknya yang selalu bertingkah benar dan seolah-olah dia lebih dewasa daripada Bia.
"Amel sudah, pusing mamah denger kalian ribut terus. Kamu juga Bi, selalu aja bikin ade kamu kesel. Heran." Lisa juga malah ikut memojokan Bia.
"Maaf mah, aku pergi." Bia tidak ingin mendengar lagi perkataan-perkataan ibu dan adiknya lagi. Tanpa menghiraukan teriakan Amel, Bia bergegas pergi menuju pangkalan ojek langganannya.
"Mamah ih kok biarin dia pergi gitu aja, aku kan belum puas." Sikap manja Amel datang tanpa diundang.
"Udah, udah! Sakit kepala mamah denger rengekan kamu. Biarin aja dia pergi." Lisa memegangi kepalanya yang memang berdenyut nyeri.
"Mamah ih kok malah belain dia, sih?" Amel semakin di buat kesal.
"Amellll! Udah yah kepala mamah sakit." Lisa pergi meninggalkan Amel yang sedang cemberut.
"Awas aja Bia, kamu udah bikin mamah marah sama aku." Amel menghentak-hentakan kakinya.
Amel memang seperti itu, tidak suka disalahkan apalagi di pojokkan. Menjadi putri bungsu keluarga Subagja dan begitu dimanjakan oleh Lisa membuat sifat dan sikap Amel begitu manja dan selalu ingin bersaing dengan Bia. Namun sayang Amel tertinggal begitu jauh apalagi di bidang akademik dan itu membuat Amel semakin membenci Bia.
Sementara itu di perjalanan menuju tempat kerjanya Bia terlihat melamun. Pikirannya berterbangan seiring dengan semilir angin yang menerpa tubuhnya.
'Sehina itukah aku, sehingga keluarga ku sendiri tidak menyukaiku. Apa salahku sebenarnya pada kalian? Mengapa kalian selalu seperti ini terhadapku?' tak terasa air mata Bia menetes melewati pipi mulusnya yang hanya di poles dengan bedak tabur saja.
Sekuat apapun Bia tetap saja dia hanya perempuan biasa yang memiliki hati dan perasaan juga emosi.
Bukannya dia lemah tidak mampu melawan, tapi pepatah mengatakan yang kuat yang berkuasa. Dan itu benar dirasakan Bia, sekuat apapun dia mencoba melawan tetap saja akhirnya dia kalah karena tidak ada yang berpihak kepadanya.
'Aku hanya ingin hidup tenang, itu saja tidak lebih.' Bia menyeka air matanya yang mengalir semakin deras. Untung saja kang ojek nya enggak kepo apalagi curi-curi pandang lewat spion.
***
PT. Bagja Perkasa Indah Pangan,
Perusahaan yang bergerak di bidang industri pangan itu, kini sedang dalam kondisi tidak baik.
Saham perusahaan anjlok, karena ada kasus penemuan cacing parasit di dalam salah satu produk kemasan yang diproduksi PT. Bagja Pangan.
Kasus itu baru saja kemarin siang, dan malam harinya langsung diadakan sidak di beberapa pusat perbelanjaan yang menjual produk tersebut oleh lembaga pemerintah yang mengawasinya.
Tentu saja pemerintah meragukan proses produksi yang dilakukan oleh PT. Bagja Pangan dan hari ini dilakukan sidak kelayakan di bagian produksi secara dadakan, sudah sesuai Standar Operasional Perusahaan (SOP) atau belum.
Tentu saja itu membuat panik semua karyawan terutama yang berada di bagian produksi.
Dan pagi ini Doni mengadakan rapat dadakan saat sidak sedang berlangsung.
"Bagaimana bisa kejadian seperti ini bisa terjadi? Selama saya menjabat sebagai direktur utama baru kali ini ada kasus seperti ini." Doni masih bisa bersikap tenang di tengah ketegangan yang sedang berlangsung.
"Maaf, Pak, tapi semua produk yang diproduksi sudah sesuai dengan SOP perusahaan, jadi bisa dikatakan ini di luar prediksi dan bukan karena human error." Manajer produksi angkat suara.
"Ya, tapi dampak dari cacing parasit ini sangat berbahaya bagi tubuh. Belum lagi saham perusahaan yang anjlok parah akibat kejadian ini." Direktur keuangan juga ikut angkat suara.
Doni terlihat memijat pangkal hidungnya, masalah kali ini tidak main-main dan tidak bisa dianggap remeh.
"Secepatnya kalian siapkan solusi untuk masalah ini, siapkan juga perusahaan mana yang bersedia membantu kita. Kalian boleh kembali." Doni membubarkan rapat dadakan pagi ini.
Pemeriksaan selesai tepat sebelum jam makan siang, tinggal menunggu keputusan bagaimana kedepannya.
Doni dan semua jajaran direksi belum bisa bernafas dengan benar, mereka semua harap-harap cemas dengan keputusan Lembaga Pemerintah nantinya.
Belum lagi saham perusahaan yang anjlok total, perusahaan Doni di berada di ujung tanduk untuk saat ini.
Kabar tentang penemuan cacing parasit, jenis Anisakis Sp. sudah beredar di media. Lisa yang sedang menonton berita terlihat begitu syok.
"Ada apa ini, astaga Ayah." tangan Lisa meraih ponsel miliknya dengan tangan gemetar.
"Ayah angkat telpon mamah." Lisa begitu khawatir dengan keadaan suaminya.
***
Devan terlihat fokus dengan layar laptop, ipad miliknya dan juga berkas-berkas di meja kerjanya. Sesekali matanya juga menatap ke arah layar ponselnya.
Untuk orang yang baru melihatnya mereka akan bergidik ngeri dengan cara kerja Devan yang terbilang extreme. Untuk orang normal saja mereka hanya akan fokus pada layar komputer dan juga satu berkas saja.
"Masuk!" tanpa mengalihkan pandangannya, Devan menyuruh masuk kepada orang yang mengetuk pintu ruang kerjanya.
"Tuan." Ternyata Kean yang datang.
Devan menatap tajam ke arah Kean. Kean menyodorkan ipad miliknya dan diterima Devan.
Tidak ada ekspresi apapun dari Devan, Devan kembali menyodorkan Ipad milik Kean.
"Lanjutkan rencana berikutnya," ucap Devan dengan pandangan yang sudah kembali fokus dengan pekerjaannya.
"Baik, Tuan." Kean pamit undur diri dari hadapan Devan.
Setelah Kean keluar Devan menatap foto keluarga yang ada di meja kerjanya.
"Sebentar lagi Pa, Ma. Aku gak sabar menanti hari itu tiba." Devan menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Sejenak Devan memejamkan matanya dengan mendekap pigura foto keluarganya.
Sakit hati, kekecewaan, kehilangan merubah sosok Devan yang dulu penuh kasih sayang menjadi pria yang sosok begitu dingin dan angkuh.
Garis wajah yang tegas menambah kesan arogan di wajah Devan.
Tutur bahasa yang dingin dan tajam, sikap tegas dan tidak suka dibantah menjadikan Devan sosok yang sangat ditakuti di perusahaan dan dunia bisnis.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments