NovelToon NovelToon

Sasaran Balas Dendam

Wisuda

Seorang gadis cantik tengah berdiri diantara kerumunan orang yang sedang mengantri untuk di foto, berdiri dengan pakaian toga dan juga topi wisuda yang melengkapi tampilannya saat ini yang cantik dengan make up flawless. 

Dia melakukan sesi foto dengan begitu cepat, karena memang dia seorang diri.

“Pak kita berdua temenin Bia foto.” Satu orang gadis cantik tiba-tiba muncul dengan tangan yang menarik paksa tangan rekannya lagi.

“Satu ... Dua ... Tig … a," Sang fotografer mengarahkan. “Gaya bebas Satu ... Dua ... Tig … a Oke!” selesailah sesi foto mereka.

Biandra Amalia Subagja gadis cantik yang baru saja melaksanakan wisudanya, setelah kurang lebih empat tahun menimba ilmu di jurusan manajemen bisnis. 

Ada yang aneh dengannya, biasanya mahasiswa lain wisuda akan ditemani orang tua dan diantar beberapa anggota keluarga. Tapi tidak dengannya, dia datang dengan taksi online dan juga sendirian. 

Bia, sapaan akrab gadis cantik yang kini belum genap berusia 22 tahun itu tampak memandang beberapa temannya yang sedang berfoto bersama orang tuanya di depan spanduk besar yang bertemakan perpustakaan.

Bia begitu iri dengan nasib baik teman-temannya itu. Bahkan ada temannya yang orang tuanya jauh tapi masih menyempatkan hadir menemani momen bahagianya. 

Sedangkan dia, kemana kedua orang tuanya?

Ke mana saudara-saudaranya?

Adiknya?

Jawabannya hanya satu mereka semua tidak peduli dengan Bia. 

Bia meringis merasakan hatinya berdenyut ngilu. 

Sering kali beberapa pertanyaan selalu memenuhi pikirannya. 

Apakah aku bagian dari keluarga Subagja? 

Mengapa aku berbeda? 

Mengapa hidupku selalu sulit?

Mengapa aku selalu sendirian?

Sampai di titik ini Bia tidak mengerti dengan semua ini, ibunya yang kejam,  adiknya yang selalu mengambil semua miliknya dan juga ayahnya yang tidak peduli dengan dirinya.

Seakan dirinya hanya bayangan semu yang tak perlu dihiraukan keberadaannya.

Andai saja Bia tidak memiliki otak yang cerdas mana mungkin dia akan bisa berkuliah di Universitas Negeri seperti ini. Karena kedua orang tuanya sudah lepas tangan membiayai pendidikan Bia sejak dirinya lulus sekolah menengah atas. 

Untuk biaya sehari-hari saja Bia harus bekerja paruh waktu di sebuah coffee shop. 

Miris memang, keadaannya berbanding terbalik dengan adiknya Amel. Amel begitu dimanja, semua keinginannya selalu dituruti. Fasilitas pun lengkap, mulai dari ponsel, mobil, uang jajan, uang sekolah bahkan uang untuk sekedar berfoya-foya pun ada jatahnya. 

Namun Bia tidak ingin ambil pusing masalah itu, selama ini dia bertahan di rumah hanya karena tidak mampu untuk menyewa sebuah tempat tinggal. 

Upah dia bekerja di Coffee Shop hanya cukup untuk kebutuhan sehari-harinya saja. Setidaknya dia memiliki tempat untuk berteduh dan juga bisa makan gratis walaupun terkadang hanya makanan sisa. 

Miris memang, tapi begitulah Bia menjalani hidupnya.

Acara sudah berakhir sejak satu jam lalu, setelah selesai di foto Bia beserta kedua temannya Rinjani dan Devia pergi bersama dengan menggunakan mobil milik Devia. 

“Bi rencananya elu mau ngelamar kerja dimana? “ tanya Rinjani yang kini duduk di kursi  belakang. 

“Ah elah lu, jangan ngomongin kerjaan dulu lah,” balas Devia yang duduk di samping bangku kemudi. Ya, Bia lah yang mengemudikan mobil milik Devia.

“Elu enak Vi, mau apa-apa tinggal minta ama bokap elu,” balas Rinjani lagi, “Gimana Bi?”

“Liat nanti aja. Aku masih betah di coffee shop," balas Bia yang fokus dengan jalanan di depannya.

“Bareng gue ya Bi kalau mau cari kerja.”  Rinjani.

“Ya nanti aku kabari, gak enak si kalo aku langsung keluar gitu aja. Kalian kan tau mbak Wulan udah banyak bantuin selama ini," tutur Bia.

“Ehhh tadi bokap sama nyokap lu ga pada datang Bi?” tanya Devia yang memang tidak melihat kehadiran orang tua Bia.

“Kamu kan tau sendiri gimana orang tua aku, mana peduli mereka.” Bia tersenyum kecut.

“Ya kali aja mereka datang, secara kan elu hari ini wisuda. Cum Laude lagi." Walaupun Devia dan Rinjani tau bagaimana hubungan antara Bia dan orang tuanya tetap saja mereka penasaran.

“Mana peduli lah mereka." Bia selama ini selalu tersenyum mana kala membicarakan masalah pribadinya, padahal itu hanya menutupi kegetiran yang dia rasakan saja. "Mau gue seberhasil apapun juga tetep aja gak kelihatan."

Bia tidak ingin di kasihani, Bia tidak ingin hidup dengan belas kasih orang lain.

“Saran gue ya, mending elu keluar aja dari rumah. Percuma disana juga.” Devia.

“Gue setuju sama Via.” Rinjani.

Entah sudah berapa ratus kali saran itu Bia dengar dari kedua sahabatnya itu, namun Bia hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman.

"Lu tinggal sama gue aja dulu, nanti gue bilangin sama orang tua gue." Devia memang anak tunggal, dan sering ditinggal kedua orang tuanya untuk perjalanan bisnis.

Mungkin sebentar lagi. Batin Bia.

***

Di waktu yang sama di tempat yang berbeda

Beberapa orang dengan pakaian serba hitam tengah menunggu di depan terminal kedatangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. 

Kacamata hitam menghiasi wajah datar mereka semua.

Lima belas menit berlalu, munculah sesosok pria berbadan tinggi dengan menyeret sebuah koper kecil di tangannya.

“Selamat datang kembali, Tuan,” sapa pria yang berdiri paling depan diantara yang lainnya. Yang hanya di balas anggukan kepala oleh laki-laki tadi.

Dengan menumpangi mobil mewah keluaran terbaru, Laki-laki itu duduk dengan gaya angkuhnya di bangku belakang.

“Bagaimana?” tanyanya dingin.

“Acaranya sudah selesai tadi, sekitar pukul satu siang tuan,” balas laki-laki yang kini duduk di bangku depan di samping sopir. Sepertinya dia orang kepercayaan tuannya.

“Bagaimana yang saya minta?” tanyanya lagi dengan pandangan yang mengarah ke luar jendela.

“Sesuai keinginan, Tuan.”

“Bagus!” sebentar lagi lanjutnya dalam hati.

Tidak ada percakapan lainnya, mobil yang dia tumpangi begitu hening. Bahkan deru mesin pun nyaris tidak terdengar.

Selang satu setengah jam perjalanan, dua mobil mewah tadi tibalah di sebuah rumah mewah yang bergaya klasik.

“Apa kabar Oma?” sapanya kepada wanita tua yang menyambut kedatangannya, wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah lebih dari 70 tahun itu.

“Oma baik, kamu pasti baik-baik saja, kan?” wanita yang dipanggil oma itu memeluk tubuh tinggi di hadapannya dengan tangan membelai penuh kasih sayang punggung kekar itu.

“Istirahatlah, kamu pasti lelah," lanjutnya sesudah mengurai pelukannya itu.

“Ya, Oma istirahatlah juga,” balasnya yang hanya dibalas dengan anggukan kepala saja.

Dia pergi meninggalkan wanita tua yang masih menatapnya itu. Perlahan namun pasti langkah kakinya yang lebar melewati undakan demi undakan tangga yang akan membawanya menuju lantai dua di mana kamar miliknya berada.

Namun sekarang tujuannya bukan kamarnya, melainkan ruang kerjanya yang ada di ujung lorong.

Dia berjalan menuju dinding ruang kerjanya, menatap satu persatu foto yang menempel di sana. Satu anak panah melesat dan mengenai salah satu foto yang menempel.

“Sudah lama saya menantikan ini semua, dan kini waktunya sudah tiba. Bersiaplah, semuanya akan segera dimulai.”

Bersambung .....

Sebentar Lagi

Pagi hari di kediaman Addison

Devan keluar dari kamarnya dengan penampilan yang sudah rapi, kemeja putih dengan balutan vest hitam yang pas body dipadukan dengan celana bahan warna hitam. Tangan kirinya menenteng tas kerja yang berisi beberapa dokumen dan juga laptop. Sedangkan tangan kanannya di simpan di depan dada, membawa jas hitam hasil rancangan desainer terkenal di dunia.

Pria yang memiliki perawakan kekar berisi dengan tinggi sekitar 187 cm, memiliki darah campuran Amerika dari ayahnya, Australia dari kakek pihak ibunya, serta mengalir juga darah Jawa dari Gendis, Oma nya.

"Saya bawakan, Tuan." pinta salah satu pekerja yang saat itu hendak membereskan kamar Devan.

Seperti biasa pekerja dengan setelan kemeja putih dan celana hitam meletakan barang bawaan Devan di sofa yang berada di ruang tamu, tempat Keanu selalu menunggu Devan.

Aroma maskulin dari salah satu parfum mahal koleksinya menguar seakan memenuhi ruangan yang sudah dia lewati. 

"Morning, Oma." Devan mengecup kening tua wanita yang selama ini selalu bersamanya.

"Dev kamu mau ke kantor?" tanya Oma Gendis yang kini tengah menatap ke arah cucunya itu.

"Iya Oma, sudah lama aku meninggalkan pekerjaan di kantor." Devan meneguk susu yang baru saja di tuangkan pelayan.

"Istirahatlah sehari saja Dev, apa kamu tidak lelah? Baru juga kemarin sore kamu tiba di rumah." 

Devan hanya tersenyum menanggapi perkataan Oma nya, lelah tentu saja. Devan bukan robot.

Seminggu kemarin Devan memang berada di Amerika, untuk menghadiri pemakaman salah satu kerabat dari ayahnya.

"Bagaimana kabar adikmu?" Oma kembali bertanya.

"Baik, bulan depan sepertinya anak itu akan pulang. Minta restu Oma." Devan melahap sisa roti ditangannya.

"Maksud kamu Davin akan segera menikahi Jazlyn?" tanya Oma dengan penasaran, Oma terlihat bahagia mendengar kabar ini.

Dan Devan hanya mengangkat kedua alisnya, kebahagiaan Oma adalah kebahagiaan Devan juga.

"Kamu kapan Dev? Masa adik kamu duluan yang nikah?" goda Oma dan itu bagaikan kalimat keramat yang tidak pernah ingin Devan dengar.

Menikah? Entahlah Devan tidak, mungkin juga belum memikirkan ke arah itu. Jangankan memiliki calon istri, kekasih bahkan calon kekasih saja Devan tidak punya.

Devan selama ini tidak ingin membelenggu dirinya dalam sebuah ikatan pernikahan yang dianggapnya tidak penting. Untuk apa menikah jika di luar sana banyak perempuan yang mengantri untuk menghangatkan ranjangnya.

Tinggal tunjuk salah satu dari mereka maka urusan akan selesai.

"Aku berangkat, Oma." Devan melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dengan gerakan cepat Devan kembali mengecup Oma nya, kali ini di pipi.

"Dev, Devan!" teriak Oma, namun Devan sudah menghilang dari ruang makan, "Anak itu, mau sampai kapan dia begini? 34 tahun Dev." Oma menggelengkan kepalanya.

Devan berlalu meninggalkan Oma nya menuju ke ruang tamu dimana disana Keanu sudah menunggunya dengan secangkir kopi hitam favoritnya.

"Tuan." Kean bangkit dari duduknya. Devan hanya mengangguk sekilas dan mengambil jas miliknya.

Devan berjalan mendahului Kean, dengan Kean yang setia mengekor di belakang Devan.

Saat Devan berada beberapa langkah dari mobil mewahnya, Kean mendahului Devan dengan sigap Kean membukakan pintu belakang untuk Devan.

Devan duduk di bangku belakang dengan angkuh, kacamata hitam sudah menghiasi hidung bangir pria berdarah campuran itu.

Kean mulai melajukan mobil yang mereka tumpangi menuju ke perusahaan yang sudah 14 tahun dikelola Devan, yang membutuhkan waktu tempuh dari rumah ke perusahaan sekitar 45 menit perjalanan.

"Bagaimana?" tanya Devan dengan pandangan mengarah ke luar jendela.

"Sesuai rencana, Tuan."

"Gadis itu?"

"Aman."

"Beri mereka waktu satu minggu lagi." Devan mengetatkan rahangnya, gemeletuk suara gigi yang saling beradu terasa begitu mengerikan di tengah keheningan yang tercipta. Namun tidak bagi Kean, dirinya sudah terbiasa dengan hal itu.

"Baik, Tuan."

'Sebentar lagi, sebentar lagi semuanya akan segera terbalaskan. Permainan akan segera dimulai'

***

Kediaman keluarga Subagja

"Yah jangan lupa loh minggu depan acara kelulusan aku, ayah sama mamah harus hadir. Aku gak mau tau pokoknya." Amel putri bungsu dari keluarga Subagja angkat suara di tengah keheningan karena kehadiran Bia di tengah-tengah mereka.

'Sengaja banget sepertinya, kemarin aja aku wisuda enggak pada hadir' Bia membatin sekuat tenaga dia tidak ingin emosinya terpancing.

"Pasti dong mamah sama ayah pasti datang, kamu tenang saja," balas Lisa dengan mengelus tangan putri bungsunya itu, "Iya kan yah?" lanjut Lisa bertanya kepada suaminya, Doni Subagja.

Lisa tidak memperdulikan kehadiran Bia diantara mereka.

"Ya," jawab singkat Doni,"Ayah berangkat kerja dulu."

"Mamah anterin ke depan, yah." kegiatan rutin Lisa setiap pagi dan hanya di balas anggukan kepala oleh Doni.

Tinggalah Bia dan Amel di meja makan, Amel menunjukan senyuman menyebalkan untuk mengejek Bia.

"Tumben elu ikut sarapan pagi? Biasa nya juga pagi-pagi udah keluyuran. Mau cari muka sama ayah sama mamah?" pertanyaan sinis keluar dari gadis yang memiliki selisih usia empat tahun dengan Bia.

"Gak punya mulut ya? Atau elu tuli?" kesal Amel dengan tangan yang sudah menggebrak meja.

Bia tetap bungkam. 

Bia berusaha menghabiskan nasi goreng miliknya yang tinggal sebagian.

"Bisa gak sih lu gak bikin gue kesel? Kalo orang nanya itu, ya, di jawab dong!" Amel semakin dibuat kesal oleh Bia.

Bukannya tidak ingin menjawab hanya saja Bia tidak ingin menambah masalah dirumah, sudah cukup selama ini kehadirannya yang tidak di anggap. Setidaknya selama Bia belum mampu untuk hidup sendiri, dia akan bertahan dengan segala tingkah keluarganya.

Bia bangkit dari duduknya tanpa menghabiskan sisa sarapannya, meninggalkan Amel yang sudah tersulut emosi. Selera makan Bia menghilang.

"Heh elu, gak punya etika banget sih. Main pergi-pergi aja." Amel mengejar Bia yang sudah berada di tengah tangga, dengan kasar Amel menarik rambut panjang Bia yang tergerai.

"Awww, sakit Mel!"

"Makannya jadi orang jangan belagu, diajak ngomong itu, ya, jawab." Amel beralih mencengkram lengan Bia. 

Bia meringis seketika.

Lisa kembali dari mengantar Doni dari depan, "Mel siap-siap gih, kita kebutik cari baju buat acara kamu minggu depan." tanpa ingin melerai pertikaian kedua putrinya, Lisa melenggang menuju kamarnya yang ada di lantai bawah.

Amel melepaskan cengkraman di lengan Bia, dengan wajah penuh ejekan, Amel meninggalkan Bia yang sedang mengelus lengannya.

Bia menyusul langkah Amel. Bia berjalan menuju kamar miliknya.

Kamar bercat putih dengan ukuran yang begitu luas. Mungkin karena tidak ada barang-barang di dalamnya. Hanya ada ranjang, meja rias, satu buah lemari dan rak sepatu yang berisikan beberapa pasang sepatu yang sudah sedikit usang.

Bukannya Bia tidak ingin menambah barang-barang di kamarnya, hanya saja Bia tidak memiliki cukup uang dan juga tidak ingin barang miliknya terus di rampas oleh Amel. Seperti yang sudah-sudah, termasuk pakaian sekalipun.

Bia duduk di depan meja rias yang hanya terpajang bedak tabur, lip balm, body lotion dan parfum. Bia menatap sebuah foto yang baru saja dia ambil dari laci meja riasnya.

Mengelus dengan penuh kasih sayang wajah orang yang tengah tersenyum di foto itu, Bia membalas senyuman itu. Seakan-akan foto itu memang tengah tersenyum kepadanya.

Dering ponsel miliknya membuyarkan lamunan Bia, dengan segera Bia menggeser icon hijau yang ada di layar ponselnya.

"Iya, mbak?" ternyata yang menghubungi Bia adalah Wulan, pemilik Coffee Shop tempatnya bekerja.

"Iya, mbak. Aku otw sekarang." Bia bergegas mengambil jaket dan juga tas punggung kecil miliknya.

Dengan langkah gergesa Bia berangkat menuju pangkalan ojek yang berada tidak jauh dari rumahnya.

Bersambung …

Bersiaplah Sayang

“Hei bro, lama gak ketemu makin ganteng aja lu,” sapa Johan teman baik Devan, yang datang bersama Anton. 

“Ah elu bisa aja basa basinya.” Anton ikut menimpali. 

“Tumben ngajak gue ketemuan disini, gak takut di marahin sama bini?” balas Devan setelah meneguk minuman beralkohol yang ada di dalam gelas miliknya. 

Ya, mereka malam ini bertemu di sebuah club malam elit di pusat Ibukota. 

Johan dan Anton adalah sahabat baik Devan, mereka bertiga berteman sejak sekolah menengah atas. Keduanya juga sudah menikah dan memiliki anak. 

“Gue sih aman, asal gak ketahuan minum-minum aja.” Anton. 

“Sama gue juga.” Johan memanggil pelayan yang kebetulan lewat di depan mereka. 

Devan hanya mengangkat satu sudut bibirnya mendengar percakapan kedua sahabatnya. 

“Ngeledek ni anak. Makanya nikah biar tau gimana rasanya punya satpam,” Johan meninju bahu kekar Devan. “Jangan kelamaan ngejomblo jadi odol baru tau rasa, lu,” lanjut Johan meledek Devan. 

“Maka mungkin lah, dia tiap malem dapet service,” balas Anton yang melirik ke arah wanita-wanita berpakaian minim. 

Entahlah bagaimana Johan dan Anton bisa bertahan berteman lama dengan Devan yang memiliki sifat dan sikap yang berbanding terbalik dengan keduanya. 

“Jadi ada apa? “ tanya Devan to the point. 

“Gak ada yang penting sih, pengen aja keluar. Elu cuman kita jadiin alesan buat bisa keluar aja,” jelas Johan dengan santainya sambil meneguk minuman soda yang baru saja diterimanya dari pelayan. 

Mereka bertiga kini sudah menempati ruangan VVIP yang selalu di booking Devan. 

“Bangke emang lu pada.” Devan. 

“Ya kan kalo alesannya sama elu, bini bini kita gak bakalan curiga. Secara janjian sama billioner muda. Ya, ga? “ jawab Johan menepuk bahu Anton meminta dukungan. 

“Betul itu bro,” Anton. 

Devan tidak ingin menimpali ocehan kedua sahabatnya yang dia rasa tidak ada gunanya. 

Selang satu jam berlalu. 

“Gua cabut duluan, bini gue udah nelpon.” Anton menunjukan chat masuk di ponselnya. 

“Bareng, kita duluan bro. Have a nice night.” Johan meneguk habis minumannya, kemudian berlalu meninggalkan Devan dengan kerlingan sebelah matanya. 

Devan hanya menanggapi dengan tatapan tajam kepada keduanya dan kedua sahabatnya itu tidak peduli sama sekali. 

“Siapkan pesanan saya," ucap Devan pada sambungan telepon, tanpa menunggu jawaban dari orang yang ada di seberang sana. Devan langsung menutup panggilannya. 

Devan kembali meneguk sisa minumannya, Devan memang pecinta alkohol. Namun dia bukan seorang pecandu, Devan minum tidak pernah sampai mabuk parah. 

“Selamat malam, Tuan," sapa seorang wanita yang datang dengan busana kurang bahan. 

“Bersihkan mulutmu.” Devan melemparkan sesuatu yang diambil dari saku jas yang masih digunakannya. 

Dengan sigap wanita itu menangkapnya, dengan satu sudut bibir terangkat ke atas dia pun berlalu menuju toilet yang ada di ruangan itu. 

“Saya sudah selesai, Tuan.” Wanita itu menghampiri Devan dan langsung duduk di pinggiran sofa, dengan tangan yang mulai meraba ke segala tempat. 

“Lakukan dengan benar, jangan sampai gigi kamu melukai saya. Saya bayar mahal kamu kalau kamu becus bekerja!” ucap Devan dengan mencengkram dagu wanita dengan polesan make up tebal itu. 

“Tentu saja!” wanita yang tidak ingin Devan ketahui namanya itu tersenyum nakal ke arah Devan dan dengan cepat melaksanakan tugasnya. 

Devan merasakan sensasi yang selalu dia rasakan, tidak ada yang berubah. Rasanya sama. Devan sesekali mengerang dengan mata yang terpejam, tangannya dia rentangkan di sandaran sofa. 

Selang 45 menit berlalu wanita itu berhasil membuat Devan pelepasan. Dia bangga bisa membuat Devan terengah-engah di hadapannya. 

“Saya bisa melakukannya lebih dari ini, Tuan.” Dengan tangan nakal wanita itu berbisik di samping telinga Devan yang masih mengatur pernafasannya. 

Merupakan sesuatu yang patut di banggakan bagi seorang wanita panggilan, jika berhasil menemani malam orang seperti Devan Manuello Addion. Pewaris Addions Grup.

Salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang bisnis properti dan penyedia jasa manajemen perusahaan. Perusahaan warisan dari mendiang kakeknya, suami dari Oma Gendis. Yang berhasil Devan kembangkan ke kancah Internasional, berkat kerjasama dengan perusahaan milik keluarga ayahnya yang berada di Amerika, yang saat ini dikelola oleh adik dari ayahnya. Enrico Manuello.

Devan membuka matanya, mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja. 

“Tulis nomor rekening kamu.” Tanpa ingin membalas ucapan wanita yang berhasil membuat dirinya terbang melayang. 

Devan menunjukan bukti transaksi di ponselnya, “Keluarlah!”

Dengan perasaan senang wanita itu pergi meninggalkan Devan, tidak masalah pikirnya hasratnya tertahan yang penting malam ini dia menghasilkan uang banyak dia bisa menuntaskan hasratnya setelah dari sini. 

Devan mengenakan kembali celana miliknya yang melorot sebatas paha. Devan menjatuhkan tubuhnya kembali ke sofa. 

Kesenangan dunia, keberhasilannya di dunia bisnis, harta yang bergelimang tidak dapat membuat dirinya lupa akan satu tujuan hidupnya. 

Devan mengepalkan kedua belah tanganya, amarahnya memuncak. Dengan kasar Devan meraih jas dan kunci mobil miliknya. Devan pergi meninggalkan tempat itu dengan amarah. 

Devan melajukan mobil mewahnya menuju kediaman miliknya, tak butuh waktu lama, karena jalanan malam hari begitu lenggang.

Devan memarkirkan mobilnya sembarangan, tujuannya sekarang Devan ingin segera tiba di ruang kerjanya.

Mengabaikan kepala pelayan yang menyambut kedatangannya, Devan dengan langkah cepat menaiki satu persatu anak tangga, dengan sesekali melewati dua undakan tangga sekaligus.

Brakkk!

Dengan kasar Devan membuka pintu ruang kerjanya, membantingnya ketika menutupnya. Menciptakan bunyi menggema di lorong lantai atas rumahnya.

Satu buah anak panah kembali melesat mengenai sebuah foto yang menempel di dinding. Foto yang sama.

Devan menunjuk satu persatu foto yang ada di sana, "Kalian akan membayar mahal semuanya."

Devan mengelus salah satu diantara banyak foto yang menempel disana, "Dan kamu orang yang akan saya jadikan ujung tombak, bersiaplah sayang. Permainan sesungguhnya akan segera dimulai."

Tatapan Devan begitu mengerikan dengan wajah yang menggelap.

***

"Bi ice espresso, caffè latte sama cappuccino nya satu satu, ya," ucap salah satu rekan kerja Bia.

"Oke." Bia menjawab dengan tangan yang sedang menggambar pola daun di pesanan kopi sebelumnya.

Setelah lulus kuliah, sekarang Bia bekerja full time. Bia bukan tidak ingin mencari pekerjaan yang lebih baik, dengan ijazah yang baru saja dia dapatkan tentunya akan dengan mudah Bia mendapatkan pekerjaan yang layak. Apalagi didukung latar belakang keluarganya.

Namun sayang selama ini Bia jarang menggunakan nama keluarganya. Bia lebih nyaman hidup tanpa menyandang nama besar keluarga ayahnya.

Kehadirannya yang selalu tidak dianggap membuat Bia semakin enggan memakai nama belakangnya keluarganya.

Selama ini Bia hanya dikenal sebagai gadis biasa yang kuliah dengan beasiswa dari pemerintah dan bekerja paruh waktu di sebuah coffee shop.

Bia jarang mengikuti acara-acara besar keluarganya, bahkan relasi bisnis ayahnya hanya mengetahui Amel saja sebagai putri Doni Subagja.

Miris memang, tapi Bia menganggap itu lebih baik daripada hidupnya tidak tenang karena sikap iri Amel.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!