Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan, dan hari dimana akan menjadi penentu bagi bayi kecil Alina pun tiba. Hari dimana bayi itu memiliki gigi pertamanya, menjadi hari yang menyakitkan bagi Alice.
Seperti dugaan Mirelda, gigi pertama Alina yang tumbuh adalah gigi taringnya. Berbeda dengan milik Alana yang tumbuh sesuai dengan pertumbuhan bayi manusia pada umumnya.
Sejak hari itu, Alice tak pernah mau keluar dari dalam kamar Alina, ia bahkan dengan teganya mengabaikan Alana yang juga masih membutuhkan asupan asi darinya.
Itu semua dilakukan Alice untuk memastikan tidak ada seorang pun yang bisa masuk dan melakukan hal buruk pada Alina. Bahkan untuk keluar makan saja, Alice enggan pergi.
Karna hal itu, tubuh Alice yang awalnya sangat bagus dan mempesona, perlahan mulai terlihat semakin dan tak terawat. Tak hanya itu, wajahnya yang dulunya cantik dan putih bersih, kini semakin tirus dengan warna kulit yang pucat.
Tok...Tok... Tok..
Terdengar ketukan di pintu kamar Alina, membuat Alice yang sedang dalam posisi berbaring disamping bayinya, segera duduk tegap dengan posisi siaga memeluk Alina.
"Siapa?!" tanya Alice dengan suaranya yang terdengar sangat parau.
"Ini aku suamimu, Alice. Apa tidak bisa kamu membiarkan aku masuk ke dalam, atau kamu saja yang keluar dari sana"
"Harus berapa kali aku katakan padamu Wim, aku tidak akan pernah meninggalkan kamar putriku dan membiarkan kalian membawanya pergi dari pelukanku!"
"Lalu sampai kapan kamu akan terus seperti ini, melindungi anak yang kamu tahu pasti keberadaannya berbahaya untuk dirimu dan juga orang sekitar?"
"Aku akan terus melindunginya hingga aku mati, jadi jika kalian berniat mengambilnya dariku, maka lakukan saat aku sudah menjadi mayat!" tegas Alice bersikeras.
Wim yang mendengar jawaban Alice, hanya bisa menghela nafas frustrasi. Pria itu tak bisa lagi memikirkan cara untuk membujuk istrinya supaya mau menyerahkan Alina.
Alice yang lemah lembut dan selalu patuh kepada Wim, kini telah berubah menjadi pribadi yang keras dan tak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Wim.
"Baiklah jika kamu tidak ingin memberikan Alina kepadaku dan Mirelda, tapi setidaknya kamu harus keluar dan memberikan asimu kepada Alana, dia juga membutuhkannya"
"Meskipun aku tidak mengurus dan merawat Alana, kamu dan para pelayanmu pasti akan dengan senang hati melakukannya. Sedang Alina, kalau bukan aku maka tidak akan ada yang mau melakukan semua itu untuknya. Itulah mengapa aku memilih mengabaikan Alana dan berada di dalam sini bersama Alina!" jelas Alice panjang lebar.
"Kami memang mengurusnya, tapi semua itu tidak sama dengan kamu yanv mengurusnya sendiri. Berat badannya semakin turun, dan di menjadi semakin rewel sepanjang hari. Apa kamu tidak merasa kasihan padanya? Dia juga anakmu, Alice!"
"Pergilah Wim. Apa pun yang kamu katakan, dan mau seberapa lama kamu membujuk diriku untik keluar dari sini, jawabanku akan tetap sama"
"Baiklah jika itu maumu. Tapi jika sampai ada sesuatu yang buruk menimpa Alana, maka semua itu adalah salahmu!" marah Wim, kemudian berlalu pergi dari sana.
Setelah kepergian Wim, suasana kembali menjadi tenang dan sangat sunyi. Di dalam kamar, Alice terlihat sedang memikirkan apa yang dikatakan oleh suaminya barusan.
Ada perasaan takut jika semua itu menjadi kenyataan, dan Alana harus mengalami hal buruk karna dirinya dan juga Alina. Sama seperti Alina, Alice juga tidak bisa kehilangan Alana begitu saja setelah penantian lamanya, dan juga perjuangannya untuk melahirkan mereka.
Dengan perlahan, Alice membaringkan Alina kembali ke atas tempat tidur, kemudian ia memutuskan untuk turun dan berjalan ke arah pintu. Setelah membukanya dan yakin bahwa tidak ada seorang pun disana, ia berjalan menuju ke kamar Alana.
"Alana, anak ibu yang cantik, ibu sangat rindu padamu nak. Maafkan ibu karna tidak pernah datang melihatmu, tapi itu karna adikmu lebih membutuhkan ibu dari pada dirimu" ucap Alice sedih, ketika dirinya telah berada dekat dengan tempat tidur bayi Alana.
Dengan penuh kasih sayang, Alice meraih tubuh Alana ke dalam pelukannya dan mulai memberikannya Asi.
Bayi malang itu yang telah lama tak lagi merasakan nikmatnya asi sang ibu, menjadi sangat gembira saat kembali merasakannya lagi. Dengan semangat mulut kecil itu mulai meminum asi tersebut hingga kenyang.
Setelah Alana kembali tertidur, Alice kembali membaringkannya di tempat tidur dan segera menyelimuti tubuh mungil itu.
"Selamat tidur sayang, ibu janji akan datamg mengunjungimu lagi besok. Sekarang ibu harus kambali ke kamar adikmu"
Dengan perasaan bahagian dan hati penuh kehangatan, Alice berjalan kembali ke kamar Alina. Tapi betapa terkejut dirinya saat mendapati pintu kamar bayinya telah terbuka lebar, seperti ada seseorang di dalam sana.
Tak lagi berjalan, Alice memilih untuk berlari untuk segera masuk kesana. Di dalam kamar, Alice menemukan pemandangan yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak.
Alina kini berada diantara kedua lutut Mirelda, dan di genggaman tangan wanita tua itu terdapat sebuah pedang panjang yang sangat berkilau. Pedang itu sedang diangkat dan diarahkan untuk jatuh tepat diatas jantung Alina berada.
"Hentikan! Apa yang sedang kamu lakukan pada Alina, Mirelda? Aku bilang hentikan sekarang juga!" teriak Alice menggila.
"Alice, ini lah satu-satunya jalan terbaik untuk hidup semua orang. Aku mohon padamu untuk tidak lagi melindungi Alina, dan kamu merelakannya pergi dari dunia ini"
"Tidak! Tidak Wim, aku tidak akan pernah merelakan hidup Alina harus berakhir seperti ini. Kalau kalian berani melukainya sedikit saja, maka aku juga akan mati bersamanya!" ancam Alice.
"Aku yakim Alice tidak akan berani melakukan apa yang baru saja dikatakannya tuan, jadi anda tidak perlu khawatir dan membiarkanku untuk melanjutkan rencana kita" bujuk Mirelda, yang masih menanti keputusan dari tuannya.
"Lanjutkan Mirelda"
"Tidak, aku mohon jangan Wim! Aku akan melakukan apa saja, asal kamu membiarkan Alina tetap hidup"
Meskipun Alice telah berulang kali memohon hingga harus berlutut memeluk kedua kaki Wim, namun pria itu tak bergeming sedikit pun dan tetap pada keputusannya.
Alice yang putus asa, tanpa sengaja melihat sebuah belati yang berada diujung ruangan. Dengan cepat ia bangkit meraih belati itu, lalu mengarahkannya ke lehernya sendiri.
"Hentikan! Atau aku akan bunuh diri dengan belati ini sekarang juga!" ancam Alice kembali bertepatan dengan pedang ditangan Mirelda hampir mengenai dada Alina.
"A_Alice, kamu tidak serius akan melakukan hal berbahaya seperti itu kan? Aku mohon tolong letakkan kembali belati itu"
"Tidak akan aku letakkan sampai kamu menyuruh wanita tua itu turun dari tempat tidur Alina, dan pergi dari rumah ini!"
"Coba saja kamu melakukannya kalau berani, karna aku yakin itu semua hanyalah ancaman belaka saja"
Merasa tertantang dan diremehkan dengan perkataan Mirelda, Alice yang telah menjadi gelap mata pun menusukkan belati itu ke lehernya hingga darah berwarna merah segar mulai mengalir keluar.
Sontak saja tindakan berani Alice tersebut langsung membuat Wim dan juga Mirelda menatapnya dengan pandangat terkejut. Bahkan Mirelda merasa bersalah atas semua yang baru saja ia ucapkan.
"Alice hentikan! Lehermu terluka dan keluar banyak darah dari sana, apa kamu benaran ingin mengakhiri hidupmu?"
"Iya, aku ingin mengakhirinya kalau kamu tetap ingin mengakhiri hidup anak kita. Jadi sekarang kamu tinggal pilih, kehilangan aku atau tetap pada keputusanmu!"
"Tuan, aku rasa____"
"Diamlah Mirelda!" perintah Wim, membuat ucapan Mirelda terhenti.
Mirelda terlihat terkejut mendengar ucapan Wim, wanita tua itu pun tak berani untuk berkata apa-apa lagi. Dalam hati Alice mulai berani berharap Wim membatalkan rencana mereka.
"Bawa pedang itu bersamamu dan keluar daei kamar ini sekarang juga. Dan seterusnya, kamu tidak perlu menginjakkan kakimu di rumah ini lagi" putus Wim pada akhirnya.
"Apa tuan sudah yakin dengan keputusan yang baru saja tuan ucapkan? Tuan tentunya menyadari resiko apa yang akan tuan dapat setelaj membiarkanku keluar dari rumah ini, tanpa membunuh bayi itu terlebih dulu"
"Aku sangat tahu, Mirelda. Tapi ini adalah keputusanku, dan aku harap kamu berbesar hati untuk menerimanya"
"Aku akan menuruti keinginan tuan dan keluar dari kamar ini. Tapi untuk yang terakhir, aku tidak yakin akan bisa melakukannya. Bahkan mungkin nanti aku akan datang bersama dengan para warga lain, ke rumah ini"
"Aku mengerti Mirelda. Aku juga minta maaf karna telah berani membuat dirimu kecewa dan juga marah"
"Baiklah tuan, kalau begitu aku permisi" pamit Mirelda, segera berlalu pergi dari sana.
Setelah memastikan Mirelda telah pergi jauh, Wim baru berani mendekati Alice dan juga membantu wanita itu mengobati lukanya.
"Terima kasih Wim. Terima kasih banyak karna sudah mau mendengarkan apa yang menjadi keinginanku"
"Sama-sama. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu Alice, kita tidak bisa lagi tinggal di rumah ini dan di kota ini"
"Kenapa?"
"Apa kamu pikir Mirelda dan para warga lain akan membiarkan Alina tetap hidup sesuai dengan keinginanmu? Mereka pasti akan segera datang untuk memusnahkan Alina, dan bahkan bersama dengan kita semua"
"La_lalu apa yang harus kita lakukan sekarang Wim? Kamu tidak akan membiarkan hal itu terjadi bukan?" tanya Alice cemas.
"Tentu saja tidak. Jalan satu-satunya adalah pergi dan bersembunyi sejauh mungkin dari tempat ini, selama yang bisa kita lakukan. Apa kamu tidak masalah?"
"Maksudmu kita juga akan meninggalkan semua harta yang telah kamu kumpulkan selama ini?"
"Apa kamu khawatir jika aku akan menyesal karna kehilangan semua ini?" tanya Wim, seolah bisa membaca isi pikiran Alice.
"Biar bagaimana pun juga, ini adalah hasil kerja kerasmu selama bertahun-tahun, aku tidak mungkin tega melihatmu kehilangan semuanya. Bagaimana kalau kamu tetap di rumah ini bersama dengan Alana, biar aku dan Alina yang pergi sendiri?"
"Tidak Alice, tidak. Apa pun yang terjadi, kita harus selalu bersama. Aku, kamu, Alana, dan juga Alina. Aku juga ingin minta maaf karna sudah berniat melakukan hal buruk pada anak kita, kamu mau kan memaafkanku?"
"Iya, aku mau Wim. Jadi kapan kita akan pergi dari sini, aku takut mereka akan segera datang"
Tiba-tiba diluar kamar terdengar langkah kaki beberapa orang yang sedang menuju ke arah kamar Alina, membuat tubuh Alice seketika menjadi tegang, karna mengira itu adalah Mirelda dan para warga.
Namun betapa terkejut dirinya, saat melihat sosok sang kakak prianya lah yang muncul di depan pintu. Pria itu datang bersama dengan para bawahannya dan juga beberapa orang kepercayaan Wim.
"Ka_kakak Ziel? Apa yang sedang kakak lakukan di rumah kami, dan kenapa datang bersama bawaan kakak segala?" tanya Alice bingung.
"Itu karna suamimu meminta bantuan dariku, untuk datang membantunya membawa kabur dirimu dan juga kedua keponakanku"
"Bantuan? Tapi, bukannya kakak sudah tahu kalau anak keduaku adalah seorang vampire? Kenapa kakak tetap membantu kami untuk kabur dari sini?"
"Aku memang percaya dan juga sangat membenci keberadaan vampire sama seperti suamimu Alice. Tapi biar bagaimana pun juga Alina tetaplah keponakanku, sudah pasti aku harus melindunginya" jawab Ziel tulus.
Mendengar jawaban tersebut, Alice segera berhambur ke dalam pelukan Ziel dan menangis terharu disana. Ia tida menyangka sang kakaknya lah yang akan menjadi penolong dalam keadaan genting di hidupnya.
"Terima kasih kak, terima kasih"
"Tidak perlu berterima kasih. Sebaiknya kita cepat bersiap dan segera pergi dari tempat ini, sebelum Mirelda dan warga lain datang"
"Baik kak" jawab Alice dan Wim bersamaan.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Addyu
sebagai seorang ibu, merasa sedih degdegan juga kasian, ngeliat Alice yang mencoba melindungi Alina, tapi sampai mencampakkan Alana, walau sebenarnya Alice juga sayang.
pokoknya gak sabar baca kelanjutannya, semangat yah Kak
2022-10-21
0
Addyu
semangat kakak
2022-10-21
0