Kasih sayang seorang ibu laksana surya yang menyinari bumi. Siang menghangatkan, malam menjadi pelita dengan bantuan medium rembulan. Ia akan tetap setia tanpa diminta.
Prada terus merengek ingin menelepon ayahnya. Maria pun dihinggapi perasaan gusar setiap kali anaknya meminta hal tersebut. Hari terus berganti, tetapi Simon masih sulit untuk dihubungi. Sudah berhari-hari tak ada kabar darinya.
Maria sudah memutar otaknya hingga mode maksimal, tetapi ia kehabisan cara untuk menenangkan sang anak. Ia menceritakan keadaan Simon yang sebenarnya, namun justru ditanggapi berbeda oleh Prada. Haruskah mengarang cerita? Sedangkan ia tak mungkin menjadikan kebohongan sebagai tameng dan obat penenang bagi sang putra.
Pada saat berwisata ke Ragunan minggu lalu, Prada tampak berusaha ceria. Ya, Maria bisa merasakan jika sebenarnya sang anak menyimpan rasa kecewa dalam lubuk hati. Naluri seorang ibu tak mudah ditipu.
Sepulang sekolah, Prada langsung masuk kamarnya dan berdiam diri. Tak ada sapa yang dilantunkan kepada sang ibu dan tak ada tawa yang juga ia gaungkan. Bahkan, untuk sekadar tersenyum pun seperti sangat berat dia kembangkan. Sikapnya jelas berubah 180 derajat. Ini karena batinnya begitu dalam merindu kepada sang Ayah.
Maria membawakan makan siang ke kamar Prada. “Sayang, makan dulu ya. Ibu suapi. Ini ada ayam goreng dan Capcay,” bujuknya.
Prada hanya diam. Duduk di atas kasur sembari memandang dinding kamarnya. Tatapannya penuh kesedihan. Ibu mana yang hatinya tidak tersayat melihat mata sang anak berkaca-kaca.
“Sayang, ayo makan dulu yuk! Tadi pagi kamu cuma minum susu. Terus Ibu lihat bekalmu juga tidak kamu makan. Makan dulu ya, nanti kamu sakit,” bujuk lagi Maria. Ia duduk di samping Prada dan terus berupaya agar sang putra mau mengisi energi. Sesungguhnya ia pun tengah menahan tangis.
Maria mengangkat satu sendok nasi ke arah mulut Prada. Prada membuka mulut, tetapi bukan untuk menyambut suapan Maria.
“Bu, kok Ayah nggak telepon-telepon yah?” tanyanya dengan suara bergetar.
Apa lagi yang harus dikatakan oleh Maria tentang Simon yang tak memberi kabar? Prada sudah cukup pintar dalam menelaah informasi.
Maria mengembalikan sendok ke piring. Ia tahu anaknya masih belum mau makan jika tak mendapat jawaban pasti.
“Sayang, Ayah sibuk kerja. Mungkin Ayah tidak sempat pegang hape,” jelas Maria berhati-hati. Ia menghindari kata-kata yang mampu diolah menjadi pertanyaan lagi oleh anaknya.
“Apa Ayah sama sekali tak punya waktu?” tanya lagi Prada, masih dengan pandangan horizontal seperti semula. “Waktu di sini Ayah juga setiap hari bekerja, tetapi masih bisa mengantar aku sekolah, menemani aku mengerjakan PR, dan pas libur Ayah masih bisa ajak aku jalan-jalan,” ungkapnya.
Andai saja Simon tak pergi, keadaan seperti ini tak akan terjadi. Tetapi, itu bentuk tanggung jawab yang sudah sangat luar biasa yang ia tunjukkan sebagai kepala rumah tangga. Ia pun pasti tidak menginginkan hal seperti ini, jauh dari keluarga.
Tidak! Maria menjernihkan kembali pikiran yang melimpahkan kesalahan kepada sang suami. Ini garis hidup yang harus dijalani. Tidak boleh ada pengandaian yang memusnahkan rasa syukur atas pengorbanan suaminya.
“Sayang, sekarang kan kondisinya Ayah di luar pulau. Seperti yang Ibu sampaikan tadi, mungkin di sana Ayah memang sedang sibuk-sibuknya bekerja. Nanti juga Ayah telepon kok,” jelas Maria.
Prada menoleh ke arah ibunya. “Tapi kapan Ayah akan meneleponnya, Bu?”
“Kita tunggu aja. Mungkin besok pagi.”
Besok? Prada lelah menunggu besok dan besok. “Bu, coba Ibu telepon Ayah sekarang!”
“Sudah. Tapi nomor Ayah sedang di luar jangkauan, tidak ada sinyal.”
Sebelum membawa makan siang untuk sang anak, Maria sudah mencoba menghubungi Simon. Karena ia juga tak tahu lagi bagaimana caranya Prada mau makan dengan lahap, selain atas perintah ayahnya.
Prada merebahkan diri ke kasur. Ia tak kuasa lagi membendung tangis.
“Kenapa sih Bu dari kemarin-kemarin tiap Ayah tidak bisa dihubungi alasannya itu terus. Sebenarnya Ayah sibuk kerja atau tidak ada sinyal, Bu?” bentak Prada.
Maria tak menyangka anaknya bisa bertutur dengan suara yang begitu keras nan kesal. Namun, ia tetap mengalunkan suaranya yang lembut. “Sayang, sini duduk dulu samping Ibu. Cerita pelan-pelan sama Ibu apa yang kamu rasakan biar Ibu bisa paham.”
“Bu, harusnya kalau tidak ada sinyal, Ayah cari aja sinyalnya atau beli yang baru,” ucap Prada dengan polos sambil menarik bantal untuk menutup wajahnya yang dibanjiri air mata.
“Prada, anak Ibu yang pintar, makan dulu aja ya.”
“Ibu jujur dulu, baru aku mau makan,” pintanya mengajukan kesepakatan.
Maria mengatur nafas sejenak. Ia mulai menyusun kosakata yang sekiranya bisa dipahami sang anak. “Sayang, negara kita ini kan begitu luas dan terdiri dari banyak pulau. Untuk bisa menjangkau semua tempat dengan telepon itu butuh yang namanya jaringan. Nah, jaringan itu….”
Prada menyela. Rupanya ia masih menyimpan satu pertanyaan besar yang perlu diklarifikasi oleh ibunya. “Oh iya, Bu. Tapi lusa Ayah pulang kan, Bu?”
“Prada, Ayah masih….” Maria kebingungan mencari padanan kata yang mudah diterjemahkan ke dalam pikiran anaknya.
“Emang kalau hari Minggu pilotnya libur, Bu?” lanjut Prada, “Tapi pas hari Minggu kemarin kita ke Ragunan, aku lihat ada pesawat yang terbang di langit. Minggu kemarin Ayah tidak pulang, kalau Minggu ini Ayah pasti pulang kan, Bu? Kata Tante Nella, pesawat itu terbang setiap hari. Kan pesawat dan pilotnya juga ada banyak.”
Tepat! Sesuai prediksi Maria. Prada pasti menyimpan informasi apa pun yang ia terima. Jika dirasa ada ekplanasi yang bias, ia akan mencari informasi tambahan kepada siapa pun yang ia percaya dan dianggap tahu serta tak akan membelokkan kebenaran. Sejatinya, anak-anak memiliki sifat kritis dan penasaran yang tinggi.
Maria semakin kebingungan untuk memberi penjelasan. “Sayang, itu memang benar, tetapi tidak semua pesawat berangkat setiap jam dalam setiap harinya di setiap kota. Ada juga yang hanya satu atau dua kali penerbangan dalam seminggu,” terang Maria. Ia tak yakin anaknya akan langsung paham hal tersebut. Namun, ia berharap penjelasannya bisa membendung pertanyaan lanjutan dari Prada.
Prada bangkit dari posisinya. Ia duduk sambil menatap sang Ibu. “Jadi, Ayah bohong sama aku, Bu? Kenapa Ayah membohongiku? Pokoknya aku akan marahi Ayah kalau nanti Ayah telepon ya, Bu.”
Maria tak bermaksud menggiring opini tersebut. Ia hanya benar-benar kehabisan kata-kata untuk menjabarkan keadaan sebenarnya kepada sang anak tanpa melukai batinnya.
“Sekarang makan dulu aja ya biar tubuh kamu kembali kuat,” mohon Maria.
Prada pun mau makan meski hanya beberapa suapan. Setidaknya, perutnya tidak terlalu kosong. Urusan makan, anak-anak memang perlu pendekatan.
***
Minggu ke Minggu, sikap Prada makin murung. Bahkan, ia lebih banyak diam ketika ditanya sang Ibu. Sesekali, terdengar ia menangis sambil memanggil sang Ayah.
Maria berupaya keras menyibukkan pikiran Prada. Ia tak mau pikiran anaknya terkurung rindu terus menurus kepada sang Ayah. Ia mencoba mengajak Prada jalan-jalan ke taman atau mall, namun selalu ditolak. Katanya, ia mau pergi hanya jika ayahnya yang mengajak.
Terhitung sudah 3 minggu Simon di Balikpapan. Maria setiap hari mengirimkan SMS (Short Message Service) atau pesan singkat kepada sang suami. Ia memberi tahu jika Prada tak berhenti bercerita tentang rindu kepada ayahnya. Sayangnya, Simon sama sekali memberi respon. Notifikasi pesan berhari-hari hanya terkirim tanpa terbaca.
Setiap pulang sekolah, hal pertama yang Prada tanyakan kepada ibunya yaitu sang ayah sudah menelepon atau belum. Ia terus menunggu balasan kabar dari Simon.
Puncaknya, Prada jatuh sakit. Ia mengalami demam tinggi dan dehidrasi. Maria pun panik dan segera membawa ke klinik. Dari kinik Prada dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih optimal.
Maria tak henti mengabari Simon. Namun, hasilnya masih sama. No response. Ia pun mencari nomor telepon perusahaan di internet dengan mengetik kata kunci PT. Tambang Sejahtera.
Informasi tentang perusahaan tersebut muncul di bagian paling atas halaman mesin pencari. Maria lekas menelepon nomor tersebut untuk meminta disambungkan dengan Simon. Namun, resepsionis mengatakan suaminya sedang kunjungan kerja ke Tarakan, Kalimantan Utara. Sudah seminggu dia di sana dan baru akan pulang besok. Maria pun menitipkan pesan untuk memberitahukan kepada suaminya jika sang anak sedang sakit.
Setelah dirawat selama dua malam di rumah sakit, kondisi Prada mulai membaik. Hanya saja ia masih terus menyerukan sang Ayah.
“Bu, kenapa Ayah tidak pulang? Ini sudah hari Rabu tapi Ayah tak memberi kabar juga kah, Bu?” tanya Prada setiba di teras rumah setelah keluar dari rumah sakit.
Maria pun merasakan sesak di dada. Betul, kenapa Simon tak memberi kabar? Paling tidak dia memberi tahu sedang kunjungan kerja ke luar kota agar tak menimbulkan kecemasan di kalbu.
“Ayah belum sempat untuk pulang, Sayang.”
“Kenapa? Sibuk? Alasannya selalu saja itu,” keluh Prada.
“Tadi siang ibu telepon ke nomor kantor Ayah, katanya Ayah sedang ada kunjungan kerja ke daerah lain. Sudah ya, Sayang. Kamu istirahat aja sekarang. Kamu kan baru sembuh. Ibu tidak mau melihat kamu sakit lagi,” ucap Maria dengan berlinang air mata.
Prada memeluk sang Ibu. Ia pun sebenarnya merasa bersalah telah membuat ibunya bersedih.
Keesokan harinya, Prada terbangun dengan tubuh yang sudah kembali bugar meskipun masih tampak sedikit pucat dan lesu.
“Bu, hari ini aku ke sekolah nggak mandi ya. Tadi aku sentuh air, airnya dingin banget, Bu,” ungkap Prada mengagetkan ibunya yang sedang memasak di dapur.
“Sayang, kamu hari ini istirahat aja ya di rumah. Kamu nggak usah ke sekolah dulu. Ibu juga sudah telepon wali kelas kamu kalau hari ini kamu sedang tidak bisa masuk sekolah karena sakit.”
“Tapi Bu…”
“Kamu tunggu di meja makan ya. Ini sarapannya sudah mau siap,” ucap Maria dengan ceria.
“Kalau tidak sekolah, hari ini aku ngapain dong Bu?”
Maria mencium kening Prada. Ia berharap kecupannya membangkitkan lagi keceriaan putra kecilnya. “Nanti Ibu bacakan cerita-cerita lucu dan seru seperti Dongeng Si Kancil, Sang Penggembala dan Serigala, atau…”
Prada menundukkan kepala. “Coba kalau ada Ayah ya, Bu,” kesah Prada, “Aku pengen main robot-robotan sama Ayah, pasti seru.”
Dengan penuh kasih sayang, Maria pun segera memeluknya. “Kan ada Ibu. Nanti main robot-robotannya sama Ibu.”
Prada menurut walau tampak sulit menerima kenyataan. Bagi seorang ibu, tak ada kata lelah dalam menyodorkan kebahagiaan untuk sang anak. Selama masih bernafas, selama itu upaya tak akan pernah terputus.
Waktu beranjak siang, Simon tiba-tiba menelepon. Maria segera mengangkat dengan wajah sumringah.
“Sayang, bagaimana kondisi Prada sekarang?” tanya Simon dengan nada cemas.
“Setelah opname dua malam di rumah sakit, dia sudah mulai pulih kok, Mas,” jawab Maria dengan lembut, meski ada penurunan ekspresi asal.
“Sekarang dia sedang apa?”
“Dia lagi tidur di kamarnya, Mas?”
“Kenapa dia bisa sakit?” suara Simon mulai meninggi. “Terus kenapa kamu malah menghubungi kantor bukan langsung memberi kabar sama aku?”
Bak disambar petik di siang bolong, Maria tak menyangka suaminya justru terkesan menyalahkan. Hatinya seketika menjadi mendung.
“Mas, aku sudah SMS kamu setiap hari. Aku juga coba hubungi berkali-kali, tapi….”
Maria mencoba menjelaskan, tetapi Simon mengalihkan topik.
“Sudahlah! Pokoknya, tolong kamu perhatikan pola makan dan asupan nutrisinya. Dia itu dalam masa pertumbuhan. Beri dia makanan yang seimbang, ganti menu sesuai dengan yang dia suka,” perintah Simon.
“Iya, Mas. Aku udah ngelakuin itu.”
“Terus kenapa dia sakit? Karena apa?” cecar Simon.
Maria mengambil nafas. Suara Simon makin tak nyaman berdengung di telinganya. Namun, ia harus tetap dalam kondisi tenang supaya tak terjadi adu argumen dan pertentangan perhatian. “Nafsu makannya seminggu ini berkurang drastis. Setiap hari dia terus memikirkan kapan kamu….”
Simon mengerti kalimat lengkap yang ingin Maria utarakan. Maka, ia segera memotong ucapan Maria.
Dia kembali melakukan interogasi kepada istrinya. “Apa kamu berhenti memberi dia vitamin dan susu? Apa uang yang aku tinggalkan kurang? Aku bahkan memberimu 2 kali lipat lebih banyak dari biasanya sebelum pergi. Sore nanti pun aku akan transfer lagi uang bulanan untuk Prada dan kamu.”
Maria terus memacu diri untuk bersabar. “Mas, aku tak mengurangi sedikit pun jatah nutrisinya. Juga, uang yang kamu tinggalkan masih cukup. Kelebihannya sudah aku sisihkan.”
“Kalau gitu kamu perhatikan juga dong kesehatan dia dari sisi psikologisnya. Kamu tanya tentang perkembangan sekolahnya. Aku nggak mau dia jadi anak yang terbiasa menyimpan beban sendiri. Ajak dia berdiskusi tentang kesehariannya, tentang cita-citanya. Jangan abai dan jangan juga keras terhadapnya!” nasihatnya.
Akan tetapi, dibanding nasihat, perkataan Simon lebih mirip sebagai titah yang memojokkan. Seharusnya ia bertanya terlebih dahulu, bukan melemparkan tudingan.
Maria menahan lara, tetapi ia pun berhak menyampaikan pembelaan. “Mas, aku sudah melakukan yang terbaik untuk anak kita. Namun, masalahnya dua minggu ini dia terus memikirkan kamu. Setiap hari dia menunggu telepon dari kamu, bertanya tentang kenapa kamu tidak jadi pulang di hari Minggu, kenapa kamu begitu sibuk hingga tak bisa ditelepon. Dia itu butuh kabar kamu sebagai penyemangat harinya, Mas.”
“Aku kan sudah bilang berkali-kali bagaimana kondisi di sini. Apa kamu tidak bisa menghandle pertanyaan-pertanyaan semacam itu dari anak kecil? Ajak dong dia jalan-jalan sesekali, jangan di rumah aja. Dia itu begitu pasti karena bosan di rumah terus.”
Padahal Maria sudah melakukan perintah yang keluar dari mulut Simon. Namun, ia lebih baik mengangguk daripada mendebat. “Iya, Mas”,
“Ya sudah, waktu istirahatku sudah mau habis. Jangan lupa kamu bujuk Prada supaya makannya lahap lagi. Terus sampaikan juga ke dia nanti sore aku akan meneleponnya. Langsung berikan hapenya ke dia,” pungkas Simon.
Maria pun hanya bisa mengungkap kata setuju. “Baik, Mas.”
Setelah telepon dengan suaminya terputus, Maria menangis. Hatinya begitu pilu atas perubahan sikap sang suami yang begitu signifikan. Suaminya tak pernah lagi bertutur lembut kepadanya. Bahkan, setiap terhubung di telepon, tak sekali pun dia menanyakan kabar sang istri.
Maria mencoba mengidentifikasi semua perubahan sifat dan perilaku Simon. Namun, ia dihantui rasa takut untuk berspekulasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments