Chapter 1

Setiap orang tua pasti ingin selalu ada untuk anaknya. Menemani dari bayi hingga dewasa. Menyaksikan anaknya bertumbuh dari masa ke masa. Namun, hidup bukanlah cerita fiksi yang bisa menentukan plot sesuai keinginan hati. Pun kebutuhan hidup bukan hanya cinta, melainkan ada sisi finansial yang harus dibangun sebagai jembatan harmonisasi kehidupan dan keluarga.

Simon Wirayuda, 34 tahun, tengah dihadapkan pada keputusan untuk hidup berjauhan dengan istri dan anaknya yang berusia 7 tahun. Keputusan yang sangat sulit untuk dijalani. Namun demi memberikan kehidupan yang layak untuk keluarga, ia harus bisa menahan rindu sejauh ribuan kilometer.

Simon dipromosikan menjadi plant-manager di sebuah perusahaan tambang. Posisi inilah yang mengharuskannya bertugas di kantor pusat. Sebelumnya, ia menuduki jabatan sebagai kepala sales area. Sebuah lonjakan karir yang sangat signifikan.

Ia dikenal sebagai pekerja keras. Ia juga selalu memiliki ide-ide brilliant terkait pemasaran produk dalam mendongkrak kuantitas penjualan. Bahkan, perannya sangat berarti dalam membangun lingkungan kerja yang inovatif dan kompetitif. Ia dinilai memiliki pendekatan yang baik dalam memotivasi anggota atau bawahannya.

Haruskah ia menanggalkan karir yang dibangun dari nol? Ketika memilih menjadi pekerja, maka harus siap dengan aturan yang ada di perusahaan. Dimutasi atau resign. Begitulah suratan dalam struktur pekerjaan. Tak ada zona nyaman jika ingin merengkuh kesuksesan.

Surat ketetapan mutasi kerja sudah Simon terima dari sebulan yang lalu, tetapi ia masih menunggu waktu yang sesuai untuk berdiskusi dengan istrinya. Terlebih, ia dan keluarga kecilnya baru beberapa bulan pindah ke Jakarta. Ia harus berhati-hati menjadi mood sang istri.

Melihat istrinya, Maria, sedang santai menonton televisi, Simon menghampiri. Ia belai rambut istrinya terlebih dahulu sebelum memulai diskusi. Ini diskusi yang penuh mungkin akan memunculkan emosi, maka butuh penetrasi.

Maria yang sadar ada hal janggal dengan gelagat romantis suaminya langsung bertanya, “Ada apa, Mas? Apa yang mau kamu ceritakan kepadaku?”

Simon mengembangkan senyum. Ia selalu kagum dengan kepekaan partner hidupnya.

“Minggu depan aku dipindahtugaskan ke Balikpapan. Aku naik jabatan, tetapi harus bekerja di kantor pusat,” ungkap Simon dengan suara mengalun lembut.

“Untuk berapa lama?” tanya Maria masih dengan suara datar.

Simon mencium pipi Maria. Ia coba bangun afeksi, menyampaikan bahasa cinta terlebih dahulu melalui sentuhan. “Dua tahun, Sayang,” jelasnya.

Maria mendelik, menatap tajam Simon. Dia pun menghela nafas. Balas rasa yang diberikannya sungguh di luar dugaan.

Batin Maria berkecamuk. Dua tahun waktu yang lama untuk menanti pertemuan, tetapi waktu yang sebentar jika harus meniti kehidupan untuk kemudian mencari persinggahan yang lain. Baru saja menetap di Jakarta selama 3 bulan, ia dihadapkan lagi dengan pilihan yang sulit.

“Lalu, bagaimana dengan aku dan Prada? Aku tidak mau dia pindah sekolah lagi. Itu tidak bagus untuk perkembangan psikisnya,” papar Maria. Ia juga merasa lelah jika harus mengemas barang lagi dan lagi.

Sejatinya – sebagai seorang ibu – Maria lebih mengkhawatirkan mental dan psikis sang anak. Beradaptasi dengan lingkungan yang terus baru bisa menambah cerita, namun bisa juga memutus asa. Ia tak mau jika Prada nantinya trauma dengan perpisahan. Mengecap pertemanan yang hanya sesaat. Kemudian, harus mempresentasikan diri lagi di tempat yang baru.

“Haruskah aku mencari pekerjaan lain?” lirih Simon. Ia bukan tak memahami kegelisahan Maria, tetapi keadaan memang mengharuskan memilih satu dari dua.

Maria mengalihkan pandangan. Ia berupaya melobi diri sendiri. “Apa kamu tidak berencana pulang sebulan se-kali?” tanyanya getir.

“Kamu tahu kan tiket pesawat dari sini ke sana tidak murah. Aku jelas ingin pulang sebulan sekali, tapi kita juga kan harus berpikir untuk menabung buat masa depan Prada,” urai Simon. Matanya mulai memerah.

Andai mampu terbebas dari menentukan pilihan, Simon pun merasa berat untuk hidup nomaden seperti ini. Ia juga bukannya tidak memikirkan perasaan juga nasib anak dan istrinya. Namun, ini sudah menjadi aturan perusahaan. Sementara, untuk mencari pekerjaan lain juga tidak mudah.

Maria meninggikan suara, “Apa ini sudah keputusan akhir dari kantor? Tidak bisakah bernegosiasi lagi?”

Simon mengatur nafas. Ia tak mau menghanyutkan diskusi, dan kemudian mengundang perdebatan. “Satu-satunya solusi yang bisa aku tawarkan yaitu kamu dan Prada ikut pindah ke sana,” ucap Simon sambil mendekap mesra sang istri.

Maria bangkit dari kursi dan mengelak pelukan sang suami. “Aku capek Mas jika harus berpindah-pindah tempat tinggal terus. Beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru, cari lagi sekolah untuk Prada. Selama kita menikah, kita sudah 6 kali pindah dari satu kota ke kota yang lain,” keluhnya.

Simon sudah memprediksi jika istrinya akan menolak diajak pindah. Ya, karena memang hanya ada dua pilihan; Maria dan Prada ikut bersamanya atau menetap menanti masa tugasnya berakhir. Di lain sisi, Simon pun tak bisa menjanjikan jika ini akan menjadi mutasi terakhir yang ia emban.

Simon ikut berdiri. “Jadi, kamu siap jika jarak merenda rindu di antara kita?”

“Daripada harus memulai lagi bertetangga di tempat lain, aku rela menunggu hingga dua tahun. Asal kamu juga rutin memberi kabar. Jangan sampai membuatku dan Prada terbelenggu rindu,” ucap Maria melagukan haru.

Simon mengecup kening istrinya. “Itu pasti. Tak ada yang perlu kamu risaukan tentang itu. Kamu dan Prada itu prioritas hidupku. Semua ini supaya kita nantinya bisa menyusun rencana hidup bersama setiap hari.”

Kalimat Simon mampu meredam gundah yang dirasakan Maria. Hati wanita memang mudah luluh ketika disusupi ungkapan cinta.

Tak disangka, ternyata ada yang menguping percakapan mereka bedua. Dengan wajah pilu, Prada muncul dan langsung memeluk sang ayah.

“Aku nggak mau pindah lagi. Nanti di sekolah aku harus maju lagi ke depan untuk memperkenalkan diri. Aku malu, Yah,” ujarnya sembari menahan tangis.

Simon mengusap pipi Prada. “Iya, kamu tetap sekolah di sini.”

“Tapi, aku juga nggak mau Ayah pergi,” imbuh Prada.

Maria mencoba menengahi. Ia mengerti jika Simon kebingungan mencari kata-kata penenang untuk sang anak. Prada memang masih polos, tetapi memorinya rentan untuk disisipi lara dan pilu. Jangan sampai ia menyimpan emosi tersebut hingga berubah menjadi trauma.

“Prada… Ayah kan harus cari uang untuk biaya sekolah kamu hingga nanti kamu masuk perguruan tinggi,” terang Simon mencoba memberi pengertian.

“Emang kerjaan Ayah di sini kenapa? Apa mereka membenci Ayah sehingga terus membuang Ayah ke tempat yang jauh? Ayah kan hebat, kalau mereka tidak suka sama Ayah, kan Ayah bisa cari pekerjaan yang lain,” balas Prada.

Simon menarik kedua pipi Prada secara perlahan agar terkembang senyum. “Nak, ini sudah resiko pekerjaan. Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu akan mengerti.”

Prada melemparkan tinju-tinju kecil kepada sang ayah. Ia tak bisa mencerna penjelasan yang diberikan. “Pokoknya aku nggak mau Ayah pergi.”

“Nak, nanti seminggu sekali Ayah pulang. Kita bisa jalan-jalan ke Monas, Ancol, terus ke …”

Maria memotong asa yang diberikan Simon, “Mas….”

Simon tak bermaksud memberikan harapan palsu. Ia hanya ingin menghapus tangis yang melukis wajah sangat anak. Lagi pula, Prada akan lupa dengan ucapan tersebut kala sibuk bermain dengan teman-temannya. Itulah yang terbersit dalam benak Simon.

“Ayah janji, kan?” Prada menyodorkan jari kelingking kepada ayahnya. Ia pun mampu tersenyum lega.

Saat Simon hendak menautkan jari kelingkingnya juga, Maria segera menghalangi. Nalurinya tak rela jika suaminya bermain-main dengan janji yang akan sulit ditepati. Ia tak mau nanti Prada merengek karena merasa dibohongi.

Maria mengangkat tubuh anaknya. “Prada, ini sudah malam. Ayo tidur lagi. Besok pagi kan sekolah.”

Prada berontak, “Aku pengen tidurnya ditemani sama Ayah.”

Simon mengambil alih tubuh Prada. “Oke, jagoan Ayah. Kita meluncur ke kamar Captain America,” ajaknya dengan tawa. Bahasanya – seketika – mampu melenyapkan kegusaran Prada.

Melihat kemesraan ayah dan anak membuat Maria meneteskan air mata. Ia begitu tersentuh, karena keceriaan itu sebentar lagi akan dijeda oleh lautan yang merentang di antara dua pulau. Ia juga sudah mulai memutar otak untuk menyiapkan kata-kata penghiburan ketika Prada menagih janji sang ayah.

***

Hari-hari berlalu dengan cepat. Tibalah hari di mana Simon harus berpindah tempat. Maria dan Prada pun ikut mengantar hingga bandara. Namun, hati Maria seketika merasa pilu. Ia merasakan hawa ketakutan suaminya akan ingkar dengan janji yang diikrakan.

Ia coba menguatkan diri dan mengusir keresahan yang menghinggapi. Prasangka merupakan bagian dari doa. Ia tak boleh larut memikirkan ketakutan yang belum tentu terjadi.

Menyadari wajah istrinya yang sendu, Simon lekas memeluknya. Berat rasanya harus merekam kesedihan sang istri sebagai bekal di perantauan. Padahal, ia sudah mengerahkan sisa waktu selama seminggu untuk lebih intim bersama Maria dan Prada.

“Jangan menangis lagi ya, Sayang! Aku tahu ini berat untuk keluarga kecil kita, tetapi semalam kan kita sudah janji untuk saling menguatkan. Jaga dirimu baik-baik ya! Aku tak mau pergi dengan melihat wajahmu yang sedih,” tutur Simon dengan suara yang halus. Hanya itu yang bisa ia lakukan agar istrinya bisa tenang.

“Mas, di sana kamu tidak akan tergoda perempuan lain kan?” tanya Maria. Ia tak mampu membendung kekhawatirannya.

“Jadi, kamu lebih mengkhawatirkan itu?” Simon balik bertanya dengan heran.

“Iya, Mas.”

Simon peluk sang istri dengan erat. Kemudian, dia bisikkan keyakinan, “Sayang, apa selama ini aku pernah tidak setia kepadamu dari awal kita pacaran hingga menikah?”

Maria merespon dengan menyandarkan kepala di bahu Simon.

“Aku selalu mencintaimu tanpa kehilangan satu persen pun dari rasa itu,” tegas Simon.

Akan tetapi, Maria belum puas dengan kalimat yang menyergap telinganya. Ia lemparkan pernyataan meminta penegasan, “Sekarang kan kondisinya berbeda. Kamu akan jauh dari jangkauan mataku. Aku takut kamu mencari pelampiasan rindu.”

Simon mengusap air yang keluar dari sudut mata Maria dengan mesra. Tangannya meliuk sesaat menikmati lekuk wajah sang istri.

“Lihat mataku!” perintahnya. “Aku bahkan tak pernah terpikir untuk menatap perempuan lain selain kamu. Tak ada terlintas untuk menitip rindu kepada hati yang ******. Kamu percaya aku, kan? Itulah yang akan menjaga cinta kita.”

Kata-kata Simon membuat Maria terenyuh. Ia bisa membaca ketulusan lisan suaminya melalui pancaran mata.

Perpisahan ini hanya sementara. Tak seharusnya menitipkan beban kepada suami yang sedang berjuang untuk masa depan keluarganya. Begitu ucapnya dalam hati.

Simon pun melangkah menuju gate keberangkatan. Prada yang semula hanya diam mengamati percakapan orang tuanya, tiba-tiba berlari dan memeluk kaki sang ayah. Anak kecil itu sekuat tenaga menghentikan kepergian ayahnya.

“Ayah, jangan pergi! Aku mohon, Ayah. Ayah pindah kerja aja. Nanti aku bantu carikan pekerjaan untuk Ayah. Atau kita berjualan makanan. Aku nggak mau Ayah pergi,” mohon Prada dengan polos.

Simon angkat tubuh Prada. Ia dekapkan ke tubuhnya sebelum pergi. “Nak, ini kan hanya untuk sementara. Ayah kumpulkan dulu modalnya. Nanti kalau sudah cukup kita buka warung makanan ya. Kita kelola bersama”, ucapnya bergetar.

Maria menarik Prada dengan lembut, karena pesawat yang akan ditumpangi Simon diumumkan sudah akan melakukan boarding. Prada menangis histeris sembari menjulurkan kedua tangan kepada sang ayah.

Prada mengeluarkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari dekapan ibunya. Maria sampai kewalahan menahan amukan sang anak.

Simon kembali melangkah sambil menyeka air mata. Ia bukan tak meredakan tangisan anaknya. Ia memilih untuk tidak membalikkan badan, karena tak ingin melihat istri dan anaknya hanyut dalam banjir air mata.

Dalam hati, Simon pun tak kuasa menahan kesedihan. Namun, inilah hidup. Manusia harus selalu membuat keputusan, meskipun itu acapkali pilihan yang sulit.

Maria menggendong Prada dan terus menenangkannya. Orang-orang yang melihat pun terbawa haru menyaksikan pemandangan perpisahan tersebut. Bahkan, ada yang menghampiri Maria dan Prada untuk menawarkan tisu dan sebotol air minum.

Dari masuk ke dalam pesawat hingga berada di angkasa, Simon terus menundukkan kepala. Dalam hatinya berharap dua tahun segera berlalu. Namun di balik semua itu, ia yakin jika pilihannya sudah ada dalam koridor ketentuan Tuhan yang terbaik.

Sementara itu – sepanjang jalan dari bandara menuju rumah – Maria terus berupaya menguatkan batin. Prada yang lelah menangis pun tertidur di pangkuannya. Bukan pertama kali ia ditinggal pergi bertugas ke luar kota oleh suami, tetapi sebelumnya tak pernah lebih dari 10 hari. Hati kecilnya berharap semoga ini bukan awal dari ujian kesetiaan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!