Maria terus menatap layar ponselnya. Ia resah karena sang suami belum juga membalas pesan singkat yang ia kirim. Ketika ditelepon pun justru suara dari operator yang mengabarkan jika nomor yang dituju sedang di luar jangkauan.
Baru sehari ditinggal, perasaan Maria sudah tak karuan. Rindu bercampur gelisah menjadikan pikirannya gundah gulana. Itu karena ia sudah memikirkan terlauh jauh rentang waktu dua tahun yang harus dilalui. Dengan siapa suaminya tinggal, bagaimana lingkungan kerja suaminya, dan bagaimana suaminya mengurus diri menjadi pertanyaan yang memecut batinnya.
Waktu menunjukkan pukul 20.30 malam di Jakarta, dan pukul 21.30 di Balikpapan. Maria masih menggenggam erat ponselnya sambil dipukulkan sedikit ke keningnya.
Apa aku sudah berlebihan ya? Baru sehari Mas Simon pergi, tetapi aku sudah curiga begini. Ah, tak seharusnya menyiksa diri dengan sikap seperti ini. Ucap Maria dalam hati.
Tiba-tiba Prada terbangun. Ia berjalan ke ruang tengah karena mendengar televisi yang masih menyala. Ia pun mendapati ibunya tengah duduk termenung dengan ponsel di tangan kanannya.
“Bu, apa Ayah sudah menelepon?” tanya Prada menghentakkan lamunan sang Ibu.
“Sepertinya Ayah sedang sibuk, Sayang,” jawab Maria.
“Coba ditelepon lagi, Bu. Aku pengen dengar suara Ayah,” pinta Prada sambil duduk di samping ibunya.
Maria mengikuti permintaan Prada. Namun, hasilnya masih sama.
“Nomor Ayah sedang tidak aktif. Mungkin Ayah masih bekerja,” jelas Maria.
Prada memasang wajah sedih. “Tapi ini kan udah malam, Bu. Masa Ayah masih harus bekerja juga. Ayah kan perlu tidur, Bu.”
“Iya, mungkin Ayah lembur,” terangnya seraya memandang layar ponselnya lagi.
“Lembur itu apa, Bu?”
Maria mengusap rambut anaknya. “Menambah jam kerja dikarenakan ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”
Jawaban sang ibu justru menimbulkan pertanyaan baru di kepala Prada. Ia merasa belum tenang. Ia khawatir sang Ayah menjadi sakit karena terlalu keras dalam bekerja.
“Kenapa tidak dilanjut besok aja, Bu? Emangnya Ayah nggak capek kalau kerjanya dari pagi sampai malam? Kalau Ayah sakit gimana, Bu? Apa di sana teman-teman Ayah baik sama Ayah? Ayo Bu, coba telepon Ayah lagi.”
Celotehan Prada membuat Maria tersentuh. Benar juga yang dikatakan anaknya. Siapa yang akan mengingatkan suaminya untuk makan dan beristirahat di perantauan sana? Apa mungkin hari pertama kerja suaminya sudah langsung lembur hingga larut malam?
Kegusaran pun semakin menyerang pikiran Maria. Hah! Kata yang dia ucapkan untuk membuat Prada mengerti justru berbalik menjadi pertanyaan yang menghujam sanubari.
“Sayang, anak ibu yang pintar, kamu tidur lagi ya,” bujuk Maria. Ia tak mau Prada hanyut dalam lara seperti dirinya.
“Aku mau telepon Ayah dulu, Bu. Aku pengen tahu Ayah sudah makan atau belum. Terus aku juga pengen tahu Ayah sekarang langi ngapain, Bu?” rengek Prada.
Jika hanya ia yang merindu, ia mampu menahannya. Namun, ini telah merenggut pikiran Prada. Ia tak sanggup melihat anaknya harus sampai menangis.
“Nanti kalau Ayah menelepon Ibu bangunkan kamu ya,” ucap Maria.
Prada pun mengusap air mata. Sesungguhnya, ia juga mengamati ibunya sedang bersedih hati. “Janji ya, Bu?”
“Iya. Ayo cepat masuk kamar, nanti kamu kesiangan,” pungkas Maria.
Ia mencoba menelepon lagi suaminya. Ternyata masih tetap sama, di luar jangkauan. Sudah puluhan kali ia menekan tombol dial di nomor sang suami dari siang hingga ke malam.
Dua malam tanpa kehadiran sang suami, gairah Maria seperti memuai. Kecemasan telah membuatnya kaku dalam beraktivitas.
Jarum jam terus berputar. Lelah pun menyergap hingga membuat Maria tertidur di sofa.
Keesokan harinya, Prada membangunkan sang Ibu. Maria pun kaget karena ternyata hari sudah terang. Ia lupa membuat sarapan dan bekal untuk anaknya sekolah.
Maria bergegas ke dapur dan langsung memasak telur dadar. Hanya lauk itu yang bisa dibuat dalam waktu singkat. Prada terpaku memandang heran kekalutan yang dialami ibunya di pagi hari.
Kemudian, Prada berangkat sekolah seperti biasa. Ia tak pernah mengeluh tentang makanan yang tersaji dan bekal yang dibawa. Baginya, tak ada yang lebih membahagiakan selain merasakan dekapan ayah dan ibunya. Ia memang tak hanya pintar dalam akamedik, namun juga memiliki kepekaan dan kepeduliaan tentang kehidupan sosial yang cukup baik.
Sementara bagi Maria, ini pagi pertama yang berantakan selama ia menjadi ibu rumah tangga. Semalaman menunggu balasan dari sang suami membuatnya terlambat bangun. Tentu, ia merasa berdosa karena tak bisa menyuapkan energi yang optimal untuk sang anak.
Maria menjernihkan pikiran sejenak. Ia lalu bergerak membereskan rumah, mencuci piring, dan mencuci pakaian. Ia harus banyak beraktivitas agar pikirannya tidak menyisakan banyak ruang kosong.
Saat mencuci piring, ponsel Maria berdering. Ia pun segera berlari untuk menjawab panggilan tersebut.
“Mas, kenapa ponselmu seharian kemarin tidak aktif? Apa kamu sengaja mematikannya?” Maria menyapa dengan nada kesal.
Simon menyadari kesalahannya. Ia pun mengalunkan kata-kata mesra untuk meredam mood sang istri. “Sayang, di sini susah sinyal.”
Penjelasan Simon tak begitu saja bisa diterima oleh Maria. Ia pun melakukan verifikasi, “Masa sih Mas di kota besar tidak ada sinyal?” suaranya masih sekesal yang tadi.
“Iya, Sayang. Aku tidak bohong. Ini aja pesan-pesanmu baru masuk pas Mas tiba di kantor,” ungkap Simon dengan lembut.
“Terus kamu tinggalnya di mana? Bukan di pusat kota?” cecarnya. Maria terus mengurai kegundahannya ke dalam bentuk pertanyaan hingga seolah menjadi sebuah interogasi. “Mas, kalau gitu cari tempat tinggal yang sinyalnya bagus agar kita bisa berkomunikasi setiap hari. Kamu ingat kan sama janji kita? Ini baru dua hari, tapi untuk menghubungi kamu sudah susah setengah mati.”
Simon tetap menjaga nadanya, “Sayang, di sini tidak semua operator sinyalnya bagus.”
“Memang di kantor tidak ada telepon yang bisa digunakan untuk menghubungi ke sini?” Semua pernyataan atau penjelasan Simon terus dimentahkan oleh Maria.
“Istriku tersayang, terkasih, tercantik, dan ter-segalanya, tidak semua fasilitas yang tersedia di kantor bisa aku gunakan begitu saja untuk urusan pribadi,” jelas Simon dengan kata-kata rayu nan manja.
Kalimat Simon ampuh untuk menurunkan intonasi Maria. “Lalu, solusinya bagaimana, Mas?” suaranya mulai terdengar lebih sopan di telinga.
“Solusi apa, Sayang?”
“Mas, Prada dari kemarin terus menunggu telepon dari kamu. Ini baru awal dia begitu, bagaimana kalau….”
Simon memotong kalimat Maria, “Sekarang dia sudah berangkat sekolah atau belum?”
“Dia sudah berangkat, Mas.”
“Ya, sudah.”
Simon pandai merayu, namun tak cukup cakap mempertahankan afeksi yang ia bangun. Suasana hati sang istri kembali moody.
“Sudah apa, Mas?” Maria menaikkan lagi volume suaranya, “Aku harus bagaimana jika Prada merengek ingin menelepon kamu.”
“Nanti aku ganti nomor dengan simcard yang baru,” tegas Simon.
“Hari ini ya, Mas?” tuntutnya.
“Iya, aku usahakan.”
Namun, persetujuan Simon memantik ketidakpuasan di hati Maria. Kalimat itu tidak tegas sehingga interpretasi Maria menjadi ambigu. Ia pun mencoba mengklarifikasi, “Mas, diusahakan itu belum tentu hari ini, kan? Kamu tuh sebenarnya….”
Tiba-tiba sambungan telepon terputus. Maria langsung menghubungi kembali nomor suaminya, tetapi sudah tidak aktif lagi. Ia pun harus menahan kesal.
Maria merebahkan diri di sofa. Tutur kata yang terucap dari sang suami menguji kesabarannya.
Waktu terus beranjak. Maria menyibukkan diri dengan menonton televisi dan diselingi membaca buku. Sekali lagi, ia harus lebih aktif mencari aktivitas yang mampu mengisi ruang pikirannya. Jangan sampai disusupi oleh berbagai macam prasangka.
Prada pulang dengan senyum yang terkembang lebar. Tak nampak beban yang ia sampaikan semalam. Begitulah anak-anak. Ia terkadang terlihat lupa dengan kesedihannya, padahal mungkin ia hanya menepikan rasa itu di bagian belakang memorinya.
“Bu, hari ini aku ulangan Matematika dapat nilai 100 loh,” ungkap Prada dengan begitu sumringah.
“Kamu memang anak ibu yang cerdas,” puji Maria. Ia pun tersenyum haru melihat anaknya selalu belajar dengan maksimal.
“Kita hubungi Ayah ya, Bu. Aku mau cerita ke Ayah juga. Ayah pasti senang kan Bu mendengar aku dapat nilai sempurna lagi?” lanjut Prada, masih dengan ekspresi gembiranya.
Maria lekas memeluk sang anak. “Nanti ya, Sayang. Sekarang kan Ayah sedang kerja.”
“Dicoba aja dulu, Bu. Kalau Ayah nggak angkat, kita tunggu Ayah telepon balik,” ucap Prada dengan polos.
“Tapi nomor ayah sedang tidak aktif, Sayang,” ucapnya. Ia juga terus mendekap Prada. Ia tidak mau anaknya menatap wajahnya yang berubah sendu.
“Tidak aktif kenapa, Bu?”
“Tidak bisa dihubungi karena tidak ada sinyal.”
Prada melepaskan diri dari pelukan ibunya. “Sebenarnya yang benar yang mana, Bu? Katanya Ayah sibuk kerja, sekarang tidak ada sinyal.”
Maria mengusap tetesan air yang sempat mengalir di pipinya. Ia pasang kembali wajah ceria. “Sayang, kita makan aja dulu yuk. Sekarang Ibu sudah masak yang enak-enak buat kamu. Ada yam kecap, tempe goreng, tumis buncis, kesukaan kamu semua. Ibu juga sudah buat puding cokelat untuk cuci mulutnya. ”
Prada menjadi lesu, karena ibunya justru mengalihkan pertanyaannya. “Ayah kenapa sih, Bu?” tanyanya.
“Kita makan aja dulu yuk sambil tunggu nanti Ayah menelepon,” ajak Maria. Ia tak mau mereka alasan untuk menghibur Prada. Ia sangat menghindari untuk membuai anaknya dengan harapan semu.
Prada pun menurut. Mereka berjalan menuju meja makan.
Hingga langit berubah gelap, Simon masih tak memberi kabar. Maria cukup lelah seharian menunggu dan mengalihkan pikiran Prada.
Maria coba menengok Prada di kamarnya. Ia tampak tertidur di meja belajarnya dengan wajah bersandar ke buku dan tangan kanan mengenggam pensil. Maria pun membaringkan sang anak ke tempat tidur.
Setelah memastikan Prada tidur dengan nyaman, Maria menuju kamarnya. Lebih baik tidur daripada membelenggu diri dengan rindu, pikirnya.
Ketika mulai meraih alam mimpi, ponsel Maria berdering. Ia lihat nama di layar yaitu suaminya. Ia segera mengangkat panggilan tersebut.
“Hari ini kamu sibuk banget ya, Mas? Aku kira bakal ada nomor baru yang menelepon,” sapa Maria dengan pertanyaan satir.
“Maaf, Sayang. Aku belum sempat.”
“Jangan bilang di sana nggak ada counter pulsa juga ya, Mas?”
“Aku lupa, Sayang.”
Jawaban Simon yang tidak konsisten memantik emosi Maria. “Jadi kamu tidak sempat atau lupa?”
Simon tidak mau meladeni emosi istrinya. “Sayang, aku pengen ngobrol dengan Prada,” ucapnya.
“Prada sudah tidur, Mas. Dia lelah menunggu suara ayahnya dari semalam, hingga pagi ke siang, siang ke sore, dan berganti malam lagi,” terang Maria dengan ketus.
“Ya, sudah. Besok pagi aku telepon lagi aja kalau dapat sinyal,” ungkap Simon.
Namun, Maria pun tak mau membuang kesempatan untuk mengobati rindu Prada terhadap ayahnya. “Aku bangunkan dia aja, Mas.”
“Jangan, Sayang. Nanti dia pusing kalau dipaksa bangun.”
Simon berusaha mencegah karena tak ingin menganggu istirahat sang anak. Masih ada hari esok untuknya menelepon kembali. Tetapi bagi Maria, menunggu esok berarti bergelut lagi dengan ketidakpastian sinyal yang mungkin akan kembali menjadi penghalang atau dijadikan alasan.
Maria langsung menuju kamar Prada dan membangunkannya dengan lembut. “Sayang, bangun dulu sebentar!”
“Ada apa, Bu?” tanya Prada sembari membuka mata.
“Ayah menelepon,” jelas Maria.
“Ayah?” Prada seketika merasa bugar mendegar penjelasan sang ibu. “Sini, Bu. Prada mau cerita sama Ayah.”
Maria pun memberikan ponselnya ke Prada.
“Ayah…. Ayah sedang apa? Apa Ayah sudah makan? Apa Ayah nyaman di sana?” sapa Prada dengan pertanyaan yang begitu antusias. Respon yang sangat bertolak belakang dengan sang ibu.
Simon pun menjaga keharuan yang seketika menyeruak. Sesungguhnya ia begitu rindu mendekap sang anak. “Jagoan Ayah sepertinya rindu sekali ya sama Ayah?”
“Yah, hari ini aku ulangan Matematika dapat nilai 100 loh. Nilaiku tertinggi di kelas,” ceritanya.
“Anak Ayah memang hebat.”
“Iya, dong. Kan Ayahnya juga hebat. Aku mau seperti Ayah,” ungkap Prada penuh kobaran semangat.
“Kamu harus bisa lebih baik dari Ayah,” suara Simon bergetar.
“Ayah, kata Ibu kenapa nomor Ayah jarang aktif,” lanjut Prada.
“Di sini susah sinyal, Nak.”
“Kenapa, Yah?”
Simon terdiam sesaat. Tak terbayang harus mengukir rindu yang baru dimulai dengan keluarganya. “Ayah minta maaf ya, Nak. Pokoknya nanti kamu tunggu aja Ayah yang menelepon ya. Kalau Ayah dapat sinyal, pasti Ayah langsung menghubungi.”
“Tapi hari Minggu Ayah pulang, kan?” Tanya Prada meminta konfirmasi. “Kita ke Ragunan ya, Yah. Soalnya aku dikasih tugas sama Bu Guru untuk mencatat nama-nama hewan yang ada di kebun binatang,” jelasnya.
“Iya, nanti kita ke sana,” ucap Simon.
Prada pun langsung kegirangan. Ia meloncat-loncat di tempat tidurnya. “Horeee. Ayah emang luar biasa.”
Memperhatikan ada yang tidak selaras, Maria mengambil alih percakapan dan keluar dari kamar Prada.
“Mas, apa kamu serius dengan yang kamu ucapkan?” todong Maria.
“Sayang, aku hanya nggak mau merusak moodnya,” kilah Simon.
“Terus kamu pikir dia nggak akan kecewa kalau ternyata hari Minggu kamu tidak jadi pulang?”
Mendapati pertanyaan tersebut, Simon hening sejenak. Kemudian, ia pun meminta sang istri untuk memberi pengertian kepada Prada.
“Sayang, tolong nanti kamu yang kasih dia pengertian ya. Sungguh, aku hanya tak ingin merusak momen kegembiraannya.”
Maria mengatur nafas. “Tapi tolong Mas jangan lagi mengangkasakan janji yang sulit untuk kamu tepati kepada Prada.”
Sambungan telepon pun Maria tutup. Inilah yang ia takuti, suaminya membuai janji dengan dalih mendamaikan hati. Kebahagiaan seharusnya tak perlu diintervensi dengan ucapan semu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments