Chapter 3

Janji itu harus ditepati. Jika tak berniat untuk mewujudkannya, maka jangan memberikan iming-iming. Tak perlu menyalakan harapan jika akan membiarkannya padam.

Prada, ia tak sabar menunggu hari Minggu tiba. Pikirannya sudah mengawang pada keindahan berwisata bersama sang Ayah. Ia bahkan sudah mulai menyusun perlengkapan yang dibutuhkan nanti seperti buku, pensil, tikar, dan tumbler. Ia juga sudah membuat daftar makanan yang akan dibawa sebagai bekal.

Ini bukan kali pertama ia berwisata dengan ayahnya. Namun, seakan momentumnya akan begitu istimewa. Dia tahu pertemuannya dengan sang Ayah tak akan semasif sebelumnya. Maka dari itu, dia ingin membuat setiap rindu dibayar lunas.

Prada menghampiri ibunya yang tengah memasak di dapur. Ia pun langsung mengajukan pertanyaan untuk menjawab rasa penasarannya. “Bu, Ayah pulangnya besok atau Minggu pagi?”

“Ayah nggak pulang minggu ini, Sayang,” jawab sang Ibu dengan suara datar. Ia fokus memotong sayuran untuk membuat Capcay.

Mendengar jawaban ibunya, Prada sedikit merajuk, “Bu, Prada tanya serius sama Ibu.”

Perubahan intonasi Prada membuat Maria menjeda pekerjaannya. Ia lekas mengelus pipi anaknya. “Sayang, mungkin paling cepat Ayah pulangnya bulan depan.”

Wajah Prada berubah kesal. “Bu, Ayah udah janji akan pulang hari Minggu.”

Emosi sang anak membuat Maria mengatur suara dengan lebih lembut. Ia tak mau menyimpan kebohongan dan membisikkan angin surga sebagai upaya penghiburan. “Prada, ongkos untuk naik pesawat dari sana ke sini itu nggak murah. Kita kan juga banyak kebutuhan. Jadi, kita tunggu Ayah mengumpulkan uang hingga cukup untuk pulang ya,” jelasnya.

Prada menurunkan tangan sang ibu dari pipinya. “Ibu pasti bohong, kan?” tudingnya.

“Nanti ke Ragunan-nya sama Ibu saja ya, Sayang. Besok kita ke pasar untuk beli bahan-bahan perbekalan. Pokoknya kita piknik seharian di sana. Okay?” rayu Maria.

Kata-kata Maria tak meluluhkan kegusaran sang anak. Prada sudah merancang pergi dengan sang Ayah. Ia tak mau menyusun rancangan baru. “Aku maunya sama Ayah. Ibu pasti ngelarang Ayah untuk pulang, kan? Ibu meminta Ayah untuk terus bekerja, kan?”

Batin Maria tersentak mendengar tudingan anaknya terus menerus. Ia tak mengerti dari mana Prada mendapatkan pemikiran tersebut. Namun, ia masih mencoba mendinginkan kepala anaknya dahulu dengan tutur lembut khas seorang ibu. “Sayang, kenapa kamu punya pikiran seperti itu. Ayah kan baru berangkat beberapa hari yang lalu. Ini juga pertengahan bulan, Ayah belum menerima gaji. Minggu ini ke Ragunan-nya sama Ibu dulu, nanti kan bisa ke sana lagi pas Ayah pulang.”

Prada masih belum bisa menerima alasan yang dipaparkan ibunya. “Bu, sebelum berangkat Ayah udah janji sama aku akan pulang seminggu sekali. Terus kemarin di telepon Ayah juga bilang akan pulang hari Minggu ini”, kenangnya.

Maria meneteskan air mata. Inilah yang ia takutkan, Prada hanyut dalam janji yang diberikan ayahnya. Jangan disangka anak kecil mudah lupa dengan janji. Mereka itu pengingat yang hebat.

“Sayang, itu biar kamu semangat untuk terus belajar. Nanti kita telepon Ayah ya,” ucap Maria dengan sedikit terisak.

Prada pun menangis lantaran kecewa dengan kata-kata ibunya. Pernyataan sang Ibu justru menghancurkan mimpinya seketika. Ditambah, ungkapan ibunya yang mengarah pada tuduhan sang Ayah berbohong semakin membuat hati Prada lara.

Dalam benak Prada, ayahnya sosok yang begitu hebat. Telah terbentuk benteng kokoh bahwa ayahnya tidak mungkin menipu – memberi janji yang tidak akan ditepati.

“Aku nggak percaya sama Ibu,” bentak Prada, “Aku mending main aja sambil nunggu hari Minggu.”

Maria sangat terkejut mendengar anaknya bisa berkata lantang kepadanya. Selama ini, Prada tak pernah menunjukkan sikap yang melawan. Tetapi, ia mencoba mengerti kekecewaan yang tengah dihadapi sang anak.

Ia membiarkan anaknya untuk sejenak merenung. Ia tak mau terlibat adu argumen demi sebuah kesepakatan pikiran.

Maria menghidupkan kompor dan menaruh wajan penggorengan. Ia kucurkan minyak di atasnya untuk menggoreng ikan nila.

Ketika ibunya lanjut memasak, Prada keluar rumah dengan tergesa-gesa. Suara langkah kakinya terdengar nyaring di lantai. Bahasa tubuh yang ditunjukkan sang anak membuat Maria menjadi kalang kabut.

Maria segera mematikan kompor. Ia bergegas menyusul Prada. Tak terbersit sedikit pun bahwa anaknya akan melangkahkan kaki keluar rumah.

Dalam sekejap pandangan, Prada menghilang dari jangkauan mata Maria. Ia tak menyangka akan kalah cepat dengan langkah sang anak.

Seketika kecemasan menelusuk ke dalam sanubarinya. Ke mana Prada pergi? Ia merasa tak tertinggal banyak langkah dengan sang anak, tetapi mengapa ia tak bisa mengejarnya.

“Prada…. Sayang…. Kamu di mana?” Maria terus meneriakkan nama sang anak sembari menyusuri jalanan kompleks. Ia berharap Prada belum pergi jauh.

Sayangnya, hingga suaranya menjadi serak, Prada tak terdengar menyahuti. Maria lantas menuju pos satpam untuk bertanya. Namun, petugas keamanan yang berjaga mengatakan tidak melihat ada anak kecil yang ke luar kompleks. Ia pun semakin dilanda kecemasan. Ia tak menyangka kejujurannya membuat hati sang anak marah.

Maria terus berputar mengelilingi kompleks. Ia tak henti bertanya pada warga yang ditemui. Namun, hasilnya nihil. Tak ada yang mengaku melihat Prada.

Ke mana sang anak pergi sementara aktivitasnya di luar rumah hanya sekolah? Maria pikir kata “main” yang yang diutarakan Prada yaitu bermain di dalam kamar bersama robot-robotan. Ternyata, itu memiliki arti harfiah.

Maria menuju sekolah Prada. Mungkin saja sang anak bermain di sana.

Maria bertanya kepada penjaga sekolah, tetapi tak ada sedikit pun titik terang tentang keberadaan Prada.

Apa Prada ke rumah teman sekolahnya? Tetapi, siapa? Maria tak memiliki clue nama-nama teman anaknya, karena Prada sendiri tak pernah menceritakan mereka.

Langkah Maria mulai gontai tak tentu arah. Ia tak tahu ke mana lagi harus mencari putra kebanggaannya.

Ia coba hubungi sang suami, tetapi nomornya tidak aktif. Ia pun mengirimkan pesan singkat untuk mengabarkan peristiwa yang terjadi.

[Mas, Prada kabur dari rumah] tulis Maria.

Maria berharap Simon segera merespon. Ia butuh sandaran dan rangkaian kata penyemangat. Ia pun perlu kata-kata penenang. Selain itu, ada juga harapan yang begitu besar jika sang suami membantu mencari solusi.

Matahari sudah memindahkan sinarnya ke belahan bumi yang lain. Jam menunjukkan pukul setengah 7 malam. Sudah lebih dari 5 jam Maria mencari Prada dengan berjalan kaki. Air matanya telah mengering dan menyisakan guratan kesedihan di wajah.

Tiba-tiba ponsel Maria berdering. Ia lekas menjawab telepon dari sang suami dengan penuh harap.

“Sayang, kenapa Prada bisa kabur dari rumah? Apa yang sebenarnya terjadi?” Simon justru berkata dengan suara tinggi tanpa ancang-ancang. Maria paham bahwa suaminya khawatir. Namun, seharusnya tak langsung bertanya dengan nada yang menghentak batin.

“Mas, tadi siang aku dan Prada….” Maria mencoba bercerita dengan sesegukan.

Ironis, Simon malah semakin kalap menuduh istrinya. “Kamu marahin dia? Emang dia salah apa sampai kamu harus memarahinya? Dia tidak mungkin pergi dari rumah kalau kamu tidak keras kepadanya?”

Dengan menahan tangis, Maria mencoba memberi penjelasan. “Aku nggak marahin dia, Mas. Aku hanya….”

Simon tak memberi kesempatan kepada istrinya memaparkan duduk permasalahan. “Coba kamu maksimalkan dulu pencarian. Kamu cari di sekeliling kompleks. Kamu ke sekolah dia juga, tanya alamat atau kontak teman-temannya.”

Semua yang disarankan Simon sudah dilakukan Maria. “Mas, aku udah….”

Simon memotong lagi ucapan Maria, “Sayang, Prada itu masih kecil. Jika dia melakukan kesalahan, jangan berkata tinggi kepadanya. Dia anak yang pintar. Dia anak yang mau belajar dan mengerti. Sejak kapan kamu mulai memarahi dia? Aku mohon Sayang, jangan terlalu keras kepadanya. Batinku begitu pedih mendengar kabar ini.”

Pedih? Aku pun merasakan hal yang sama. Ucap Maria dalam hati.

Lontaran kalimat Simon seperti menaburkan garam di atas luka. Maria berusaha menahan amarah. Ia tak mau malah menjadi bertengkar dengan suaminya di saat genting seperti ini. Akan tetapi, di sisi batinnya yang lain ia merasa nasihat sang suami justru menyudutkan dirinya. Ia merasa sebagai tertuduh. Padahal, ini semua karena janji Simon sendiri kepada Prada.

“Mas, dengarkan aku dulu,” tegas Maria seraya mengatur volume suaranya agar terdengar lebih lantang sehingga tak disela lagi oleh suaminya. “Prada pergi bukan karena aku marahi. Aku tidak pernah memarahinya. Aku ibu yang mengandung dia selama 9 bulan. Aku menyusuinya. Aku sangat menyayanginya. Kamu seharusnya dengar penjelasanku dahulu. Prada itu pergi karena dia tidak terima dengan penjelasanku kalau kamu tidak akan pulang hari Minggu ini.”

“Sayang, ini kan masih hari Jum’at. Kenapa kamu sudah langsung menceritakan hal tersebut kepadany?” Simon mencari amunisi alasan agar tak berbalik terpojok.

“Mas, dia terus bertanya setiap hari kepastian tentang kapan kamu akan pulang. Aku nggak bisa menipu pikirannya,” ucap Maria dengan resonansi sedih berpadu kesal.

Simon terus berupaya membela diri. “Tapi kan kamu bisa menjelaskan dengan baik-baik sama dia. Kasih dia pengertian secara perlahan agar dia bisa menerima tanpa merasa diberi harapan kosong.”

“Bagaimana caranya?” tanya Maria tersedan-sedan. “Kamu mengatakan supaya aku bisa memberikan pengertian kepada Prada. Tapi, kamu tidak memberikan kontribusi ide buat aku menghadapi kondisi seperti ini. Kamu selalu bilang sebagai ibu aku seharusnya bisa mengerti dan mencari cara itu sendiri. Sekarang, kamu seakan menyalahkan aku ketika Prada pergi.” Maria menarik nafas sesaat. “Aku mungkin bukan istri yang sempurna buat kamu, tetapi aku selalu mengupayakan yang terbaik untuk keluarga kita. Untuk kamu dan Prada.”

Maria menjatuhkan diri ke bumi. Ia merasa lega bisa menyuarakan perasaannya, tetapi ia pun dilanda ketakutan. Ini kali pertama mereka terlibat percekcokan sebagai suami-istri. Sungguh tak disangka masalah justru menjadi tambah runyam.

Suasana hening sekitar 120 detik. Namun, kemudian Simon memberikan balasan atas pernyataan Maria.

“Sudahlah. Nggak ada gunanya kita berdebat. Aku akan coba minta tolong temanku untuk membantu mencari keberadaan Prada. Tolong kamu maksimalkan pencarian dan kabari aku terus,” ucap Simon dengan nada sinis.

Maria salah mengira. Ia pikir hati suaminya sudah adem. Ternyata, masih menyisakan bara. Simon pun mematikan telepon tanpa meminta persetujuan.

Batin Maria menjerit. Sang suami yang diharapkan memberikan ketenangan justru menambah kepiluan. Dia malah melimpahkan semua kesalahan kepadanya.

Pikiran Maria menjadi tambah kacau. Ia tak tahu lagi harus mencari Prada ke mana. Ia memilih pulang terlebih dahulu untuk sejenak merenda kedamaian hati.

Dari kejauhan, ia melihat seseorang wanita berdiri di depan rumahnya. Maria segera berlari untuk mencari tahu siapa sosok tersebut.

Ketika tiba di teras, Prada muncul dari dalam rumah. Kontan Maria langsung memeluk anaknya penuh haru. “Prada…. Sayang, kamu dari mana? Ibu panik cari kamu dari tadi siang.”

Prada diam di dalam pelukan sang ibu. Wanita yang sedari tadi berdiri pun menjadi juru bicara. “Tadi saya ketemu dia sedang jalan kaki di pinggir jalan raya dekat SD Harapan Bangsa. Lalu, saya ingat sepertinya pernah melihat anak ini. Saya berhenti dan hampiri dia. Terus saya tanya dia mau ke mana, katanya mau ke bandara nunggu ayahnya.”

“Maafin Ibu ya, Sayang.”

Melihat ibunya bersedih, Prada pun merasa bersalah. “Maafin Prada juga ya, Bu. Prada udah buat Ibu khawatir”, ungkapnya.

Wanita penolong itu pun larut dalam haru. Namun, ia tak mau menjadi pengganggu. “Kalau gitu saya pamit dulu ya, Mbak,” ucapnya dengan santun.

“Sekalian masuk dulu, Bu. Saya suguhkan minum seadanya,” ajak Maria. Ia tidak tahu harus bagaimana berterima kasih selain dengan ungkapan kata-kata.

“Nggak usah repot-repot, kita kan bertetangga,” tolaknya halus. “Rumah saya itu yang di ujung,” tunjuknya, “Cuma kehalang 5 rumah dari sini. Nanti kapan-kapan aja kita nge-teh bareng ya.”

Maria merasa malu karena tak sempat menyapa semua tetangga barunya. “Maaf kalau saya tidak sempat menyapa tetangga satu per satu.”

“Nggak masalah. Di sini kan rata-rata orangnya sibuk. Saya juga kebetulan beberapa bulan ini jarang di rumah”, responnya ramah.

“Terima kasih banyak ya, Bu. Saya benar-benar speechless. Saya tidak tahu bagaimana kalau…”

“Santai aja, Mbak. Ini tuh udah jalan dari Tuhan yang mengirim pertolongan melalui saya,” ucapnya menenangkan. “Oh iya, panggil saja saya Nella. Kayaknya kita seumuran, kan?”

Maria pun menyambut hangat perkenalan dengan menjulurkan tangan untuk bersalaman. “Baik, saya Maria.”

“Kalau gitu saya pulang dulu ya. Prada, nurut sama ibu ya, Sayang. Jangan pergi sendiri lagi! Di luar itu bahaya”, pesannya.

“Baik, Tante. Terima kasih banyak telah mengantarkan Prada pulang ke rumah,” balas Prada tersenyum.

Hati Maria begitu lega. Ia pun menyuruh Prada membersihkan badan dan lanjut mengajak makan malam. Tenaga mereka yang terkuras harus segera dipulihkan.

Setelah kondisi menjadi kondusif, Maria mengirimkan pesan singkat lagi kepada Simon bahwa Prada sudah pulang. Simon hanya membalas dengan satu kata yaitu “Iya”.

Maria tak mau mengulik lebih jauh alasan Prada pergi tanpa pamit. Ia lebih memilih untuk lebih dalam lagi memahami perangai anaknya.

***

Hari Minggu pun tiba. Prada duduk di depan teras memangku ranselnya. Ia sudah siap dengan segala perlengkapan untuk berwisata.

“Ayo kita pergi ke Ragunan sekarang, Sayang,” ajak Maria.

“Kita tunggu Ayah sebentar lagi ya, Bu.”

“Sayang….” Maria tak melanjutkan ucapannya. Ia takut jika emosi anaknya tersulut lagi.

“Emang Ayah nggak ngasih kabar sampai jam berapa, Bu? Atau apa Ayah kena macet ya, Bu?” tanya Prada dengan wajah cemberut.

“Kita coba telepon Ayah ya.”

Maria pun mengeraskan suara atau me-loudspeaker. Tak ada cara lain selain Simon yang menjelaskan langsung kepada Prada.

“Ayah….” seru Prada begitu detik panggilan di layar ponsel berjalan.

“Wah, anak Ayah rupanya. Terdengar bersemangat sekali hari ini,” sapa Simon.

Prada turut terpantik semangat. “Iya dong, Yah. Kan kita mau ke Ragunan. Aku udah siap nih, Yah. Udah bawa bekal banyak juga.”

“Nak, kamu pergi sama Ibu aja ya. Ayah hari ini tidak bisa pulang, karena pesawatnya ternyata lagi libur,” ucap Simon.

“Hari Minggu pesawat libur juga ya, Yah?”

“Iya, kan pilotnya juga istirahat,” terang Simon dengan suara meniru kepolosan anaknya.

“Ya sudah, Ayah juga istirahat aja kalau gitu,” pesan Prada.

Simon pun melayangkan pujian sebagai apresiasi atas perhatian yang diberikan oleh Prada, “Anak Ayah memang paling baik dan paling pengertian. Ayah jadi makin kangen.”

Prada tersenyum. Ia terlihat tenang mendengar alasan sang Ayah. Segeralah ia memakai sepatu.

Namun, Maria membawa ponselnya ke dalam rumah. Ia juga mematikan loudspeaker. Ia justru ingin memberikan teguran kepada sang suami.

“Mas, aku kan sudah bilang jangan membual tentang apa pun lagi kepada Prada. Pikirannya sedang di tahap yang mulai mengkritisi segala yang ia mengerti atau pun belum mengerti. Mungkin sekarang dia ia hanya iya-iya saja, tetapi justru dia sebenarnya sedang mengolah informasi. Besok atau lusa atau nanti dia pasti memvalidasi semua itu,” urai Maria sambil memerhatikan sekeliling. Ia memastikan perkataannya tak terdengar oleh Prada.

“Sudahlah, Sayang. Kamu jangan terlalu berlebihan. Jika kamu tidak suka dengan caraku, seharusnya kamu memberikan penyampaian yang lebih baik yang bisa dimengerti olehnya tanpa emosi,” sanggah Simon.

Maria mempertegas lagi maksudnya. “Mas, dia bisa sangat kecewa jika tahu kamu mempermainkan kepastian dari janji yang kamu berikan kepadanya.”

“Kepastian? Tadi dia tidak melakukan konfrontasi atas penjelasanku. Apa sekarang dia sedang mengamuk?” tanya Simon

“Aku sudah bilang bahwa ucapanmu barusan masih diolah olehnya.”

Simon bersikukuh jika dia punya cara tersendiri untuk mendamaikan hati anaknya. “Sayang, aku ini ayahnya. Aku juga tahu bagaimana cara menenangkannya. Kenapa akhir-akhir ini kita jadi sering debat sih?”

“Bu, ayo pergi!” Prada memanggil dari luar.

“Hati-hati di jalan. Jika tidak ada hal yang urgent, tunggu saja aku yang menelepon,” pungkas Simon.

Maria merasa mental dan emosinya tengah diuji. Semenjak suaminya merantau seakan benih-benih konflik mulai bertebaran. Namun, ia harus selalu tersenyum di hadapan sang anak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!