Di atas meja makan terdapat beberapa lembar roti, sebuah toples selai stroberi yang hanya tinggal separuh dan tiga omelet di atas piring.
Meja makan rendah itu tak punya kursi, sehingga mereka harus duduk di bawah dengan alas karpet tua yang sudah lusuh. Dara memang sudah membeli karpet baru, tapi karna Noah membuat seisi rumah basah maka ia menggunakan karpet lamanya sebagai pengganti.
"Selamat makan," ujar Dara senang.
Noah yang semula duduk di sebelah Dara kini justru beralih ke arah Jay dan duduk di pangkuannya.
"Noah, tidak boleh begitu. Kau tidak boleh mengganggunya lagi," ucap Dara sambil meraih tubuh Noah. Tapi sang putra justru meronta dan hendak menangis.
"Tidak apa-apa. Jika boleh—"
"Ya. Sepertinya Noah ingin duduk denganmu," balas Dara sebelum Jay menyelesaikan kalimatnya.
Melihat Noah yang begitu menempel pada Jay, lagi-lagi hal itu membuat Dara teringat pada sang suami.
Noah memang tak pernah mengenal sosok seorang ayah sejak lahir. Hal itu sering membuat Dara sedih. Tapi melihat Noah yang begitu akrab dengan Jay juga sekaligus membuat Dara merasa senang.
"Aku heran bagaimana kau bisa menarik perhatian Noah tanpa memintanya," ucap Dara.
Jay yang masih mengunyah roti, buru-buru menelannya.
"Mungkin karna aku menyelamatkannya dari orang jahat?"
Dara tertawa mendengar jawaban polos yang keluar dari bibir Jay.
"Ya, mungkin saja," jawab Dara yang kemudian melanjutkan makan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Noah masih berada di gendongan Jay. Karna sang putra tak ingin berpisaha dengan Jay, akhirnya Jay ikut mengantarnya ke tempat penitipan anak. Sesampainya di sana, Jay membaca pelang yang dipasang di depan tempat itu.
"Tempat penitipan anak Asia?" Jay bertanya-tanya. Tingginya angka ketimpangan sosial di Amerika pada kala itu memang terpaksa meletakkan penduduknya dalam kotak-kotak tersendiri. Apalagi orang Asia yang terseret gelombang migrasi puluhan tahun yang lalu.
"Ya, ada tempat khusus untuk kami," jawab Dara. Wanita itu kemudian menekan bel, seorang wanita keturuan Afrika Amerika muncul dari sana. Jay pikir pengasuh di tempat itu juga adalah Asia.
"Ohhh...Noah, selamat pagi," sambut wanita bernama Betrice itu. Ia mengalihkan pandangannya pada Jay yang masih menggendong Noah. Baru kali ini Betrice melihat pria itu.
"Pagi, Nona Betrice." Dara membalas sambutan itu sembari menggerakkan tangan Noah.
Jay kemudian menyerahkan Noah pada Betrice. Sebuah senyuman nakal terpancar dari wajah wanita Afrika Amerika itu.
"Jadi, ini ayahnya Noah?"
Baik Dara maupun Jay terkejut mendengar pertanyaan Betrice.
"Ti—"
"Betrice, ada yang poop di celana lagi," pekik salah satu pengasuh dari dalam rumah.
"Ah...sepertinya Jenneth kerepotan, aku harus segera masuk. Sampai jumpa." Betrice masuk begitu saja bersama Noah, meninggalkan Jay dan Dara yang saat ini merasa canggung satu sama lain.
"Jangan hiraukan Betrice," ucap Dara gugup.
"I-iya." Jay mengangguk.
Keduanya kemudian beranjak dari tempat itu dan melangkah pergi. Di sebuah persimpangan, mereka akan berpisah.
"Aku akan pergi lewat sini." Jay menunjuk arah berlawanan dengan Dara.
"Okay, aku akan lewat sana," balas Dara.
Sebelum keduanya benar-benar berpisah. Terdengar teriakan Betrice dari arah belakang.
"NONA DARA, TUNGGU!"
Dara dan Jay berbalik mendapati Betrice berlari tergopoh-gopoh sambil menggendong Noah.
"Ada apa Betrice?" tanya Dara.
"Ada anak yang memasukkan jarinya di stopkontak, sekarang dia tak sadarkan diri..."
"Apa?" Dara terkejut, sedangkan Betrice masih mencoba mengatur napas.
"Aku dan Jenneth harus membawanya ke Rumah Sakit. Jadi maaf, untuk hari ini kami tidak bisa menjaga Noah," lanjut Betrice. Ia menyerahkan Noah pada Jay dan menyerahkan perlengkapan tas berisi perlengkapan Noah pada Dara. Betrice yang terlihat buru-buru pun pergi dengan cepat dari hadapan Jay dan Dara.
"Bagaimana ini, aku harus menghadiri persidangan pagi ini," ucap Dara.
"Persidangan?" Jay bertanya.
"Iya. Hari ini adalah persidangan perdana untuk kasus yang sedang kutangani," jelas Dara. Jay memiringkan kepalanya, ia tak tahu apa yang sebenarnya akan dikerjakan oleh wanita di depannya.
"Aku adalah pengacara," lanjut Dara. Di saat itu Jay mengangguk-angguk seolah paham. Pekerjaan pengacara yang terpenting adalah sidang perdananya. Para pengacara harus melakukan performa bagus agar bisa memenangkan kasus.
"Kasus apa itu? Emmm...kalau boleh tahu," ucap Jay.
"Kasus ini sangat besar. Aku mewakili ratusan tenaga buruh yang sedang menuntut sebuah perusahaan."
Jay ber—O—ria.
"Perusahaan Miras," lanjut Dara melengkapi jawabannya.
Di saat itu, Jay cukup terkejut. Waktu seolah berhenti ketika Dara mengucapkan kalimat barusan. Siapa sangka jika jalan Jay untuk menyelidiki apakah yang salah dari perusahaannya sehingga membuat para pekerja demo secara besar-besaran, seolah akan terjawab karena Jay sudah bertemu dengan sumber informasinya—Dara.
"Aku bisa menjaga Noah," ucap Jay.
Tapi Dara tak bisa mempercayai pria itu begitu saja.
"Baiklah. Kau bisa mengasuh Noah selama aku mengikuti persidangan nanti. Tapi, kau dan Noah juga harus ikut denganku ke pengadilan. Aku sendiri tetap harus memastikan Noah berada dalam jangkauanku," jawab Dara.
"Baik." Jay menurut. Mereka kemudian pergi dengan berjalan kaki. Jarak tempuhnya cukup jauh, sekitar lima kilometer. Jika naik bus, mereka akan sampai dalam waktu dua puluh menit. Berjalan kaki mungkin memerlukan waktu yang lebih banyak, tapi apa boleh buat, Dara tak punya ongkos.
Selain uang lima dollar, sepatu rusak milik Dara juga ikut raib diambil oleh perampok yang merebut tasnya. Sehingga Dara harus mengenakan pantofel bekas milik suaminya yang kebesaran. Mungkin agak kesusahan baginya untuk berjalan dengan sepatu kebesaran, selain itu jarak tempuh yang jauh membuat kaki-kakinya lecet.
Ia beruntung karena ada Jay yang menggendong Noah, jadi Dara tak harus membawa beban lebih berat yang otomatis akan membuat kaki-kakinya semakin sakit.
"Jadi, apa kau yakin bisa memenangkan kasus itu?" tanya Jay.
Dara tersenyum, kemudian mendongak menatap langit pagi yang cerah.
"Jika aku ragu, maka aku akan memandang langit. Tuhan memberikanku sinyal baik dari sana. Sehingga aku merasa mendapat kekuatan untuk melawan keraguanku."
Mendengar pernyataan itu, Jay turut mendongak. Udara pagi ini masih segar dan minim polutan. Hal ini juga yang memberikan semangat pada tiap orang yang akan melakukan aktifitasnya di pagi hari. Jay kemudian beralih melirik Dara yang tiba-tiba berhenti untuk kembali menatap langit.
"Entah kenapa tiba-tiba aku jadi gugup," ucap Dara sambil memegangi dadanya. Jantungnya berdetak kencang, rasa lelah setelah berjalan jauh sepertinya adalah penyebab dari dadanya yang seolah akan meledak.
"Kau merasa ragu?" tanya Jay. Dara langsung mengangguk.
"Kau mungkin butuh menatap langit lebih lama," ucap Jay lagi.
"Ya, kau benar. Tapi kita sudah tidak punya waktu. Aku harus sudah sampai ke pengadilan sebelum persidangan dimulai." Dara kembali melangkah mendahului Jay.
Rupanya bukan hanya Dara yang merasa gugup. Jay sebagai pemilik perusahaan yang tergugat pun merasa khawatir. Apalagi, Jay tidak tahu tentang permasalahan sebenarnya.
Di pinggir jalan, sebuah mobil sedan berwarna silver melewati Jay dan Dara. Saat itu Jay merasa mengenal mobil yang melewatinya barusan. Mobil itu adalah milik sang ayah angkat, Bill Parker.
'Jadi rupanya ayah menghadiri persidangan itu secara diam-diam?' batin Jay.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments