Pengacara Dan Bos Miras
Jay Parker adalah seorang Asia bernama asli Cho Jin Ryuk. Pada saat usianya baru menginjak lima belas tahun, ia terseret sebuah gelombang imigrasi ketiga oleh bangsa Asia ke Amerika yang dimulai pada tahun 1965 akibat penjajahan. Kedua orang tuanya meninggal dan sesampainya di Amerika, Jay dirawat oleh seorang keturunan asli bernama Bill Parker. Memiliki pengetahuan tentang miras fermentasi yang khas dari negara asalnya, Jay kemudian mendirikan sebuah perusahaan miras pada usia dua puluh lima tahun. Usahanya berkembang pesat dalam waktu yang singkat, tanpa Jay tahu bahwa Bill (sang ayah angkat) rupanya melakukan monopoli harga bahan pokok. Di tengah demo besar-besaran yang dilakukan oleh pekerjanya, Jay kemudian mencoba menyelidiki apakah hal yang sebenarnya terjadi. Pria yang kini berusia tiga puluh lima tahun itu berpura-pura menjadi tuna wisma dan mulai berbaur dengan lingkungan para pekerja.
Di tengah misi itu, Jay bertemu dengan seorang wanita bernama Alexandra Meggie. Wanita yang akrab dipanggil Dara itu adalah seorang pengacara yang tengah membela nasib buruh yang menjadi korban monopoli harga oleh perusahaan miras milik Jay. Ia adalah wanita yang ambisius dan berjanji akan memenangkan kasus itu meski lawannya adalah seorang konglomerat. Keteguhannya itu dikarenakan ia harus mencari nafkah untuk merawat putranya yang berusia satu tahun setelah ditinggalkan oleh sang suami untuk selamanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Los Angles, 1985.
Sebuah bus berhenti di halte terakhir sebelum menuju Asia Town. Seorang wanita bersepatu pantofel hitam masuk sembari menenteng sekantung penuh sayuran hadiah dari kliennya. Ia terdiam sesaat setelah memasuki bus. Bus itu begitu penuh dan hanya menyisakan sebuah bangku kosong. Langkah wanita itu ragu, di sebelah bangku itu duduk seorang pria Asia yang tengah tertidur. Bus yang menuju ke Asia Town memang hanya mengangkut orang-orang Asia saja. Wanita itu harusnya merasa aman karena di sekitarnya hanya ada orang-orang dengan ras yang sama dengannya. Tapi, pria itu nampak lain. Ia nampak seperti berandalan yang berbahaya.
Pria Asia itu hanya mengenakan sebuah kaos dalam tanpa lengan yang mengekspos bahu sebelah kirinya yang bertato penuh. Penampilan itu lengkap dengan celana jeans robek dan sepatu lusuh yang melindungi kakinya. Ditambah dengan aroma miras yang menyeruak di sekitar tempat duduk, membuat wanita itu pikir-pikir untuk duduk di sana.
"Nona, sebaiknya anda duduk. Bus akan segera berjalan!" pinta salah seorang penumpang.
Wanita itu tahu maksud dari pria separuh baya yang menegurnya adalah baik, sehingga ia memutuskan untuk duduk meski sedikit was-was. Di sepanjang jalan jantungnya berdebar-debar, takut jika sewaktu-waktu pria itu akan bangun dan menodongnya dengan senjata tajam.
Situasi di sana memang sulit untuk dijelaskan. Kentalnya isu rasisme membuat para imigran ketakutan setiap saat. Bahkan sulit rasanya membedakan mana yang baik dan buruk meski mereka berasal dari ras yang sama.
Wanita itu tak sedikit pun berani melirik pria muda di sampingnya, ia hanya sibuk memandang ke luar jendela. Hatinya semakin was-was ketika langit mulai gelap. Ia memang agak terlambat pulang karena harus melayani kliennya. Sang bibi sudah mengingatkannya untuk tidak kembali terlalu malam, karena situasi di tempatnya sangat berbahaya.
Orang-orang tak mau beraktifitas di hari gelap, kecuali jika mereka sudah memasuki wilayah Asia Town yang mana bagi orang Asia seperti mereka tempat itu adalah yang paling aman.
Di sepanjang jalan, wanita itu berdoa agar laju bus segera membawanya ke halte terakhir. Kakinya saat ini gemetar ketakutan, wanita itu merasa semakin resah ketika memasuki plang bertuliskan "Anda Memasuki Kawasan Asia Town".
Senang, tapi takut juga. Beberapa lampu yang terpasang sepanjang jalan juga mati, sebagian bahkan dicuri dan dirusak oleh pihak tak bertanggung jawab. Ketika bus berhenti, wanita itu segera beranjak dari tempat duduknya. Ia segera berjalan keluar.
Dua orang petugas bus menghampiri pria Asia yang masih tidur dan tak bergerak dari tempat duduknya. Sepertinya pria itu belum membayar.
"I have no money," lenguhnya. "MONEY EOBSEO!!" ucapnya lagi dengan nada meninggi. Sepertinya pria itu berasal dari Korea.
Wanita yang ketakutan itu turun tanpa menghiraukan hingga ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika pria Asia itu didorong keluar dengan sangat kasar oleh petugas bus. Untuk sesaat ia merasa iba melihat pria yang nampak menyedihkan itu. Hingga ketika bus mulai berjalan menjauh, wanita itu tiba-tiba teringat. Ia meninggalkan sayuran pemberian kliennya di bus.
"SAYURANKU!" Ia memukul kepalanya kesal, dengan tergopoh-gopoh wanita itu mencoba mengejar bus.
"HEY!!! BERHENTI!!!" teriaknya yang langsung ditanggapi dengan tawa oleh si pria Asia.
"Mau teriak sekeras apapun mereka tidak akan mau kembali jika sudah berada di kawasan ini," ucap pria itu.
Wanita yang sejak awal sudah was-was itu kemudian berlari secepatnya agar segera menjauh dari pria itu. Tak apa sayurannya dibawa kabur oleh bus itu, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan diri.
Setelah merasa sudah jauh, wanita itu kemudian memperlambat langkahnya. Ia terengah-engah, olah raga malam menggunakan pantofel bukanlah ide yang bagus. Ketika melangkah menaiki sebuah trotoar, ia tersandung dan tersadar bahwa sepatunya robek.
"Sial!" umpatnya. Wanita itu kemudiam mumutuskan untuk melepas sepatunya dan memasukkannya ke dalam tas yang ia tenteng.
Selanjutnya ia berhenti di sebuah rumah penitipan, di sanalah ia menitipkan sang putra seharian.
"Nona Dara, mengapa anda baru datang?" sang pengasuh kini mengamati Dara, didapatinya sepasang kaki Dara yang telanjang tak beralas. "Anda baik-baik saja 'kan?" tanyanya khawatir.
"Oh, ini...sepatuku robek jadi aku memutuskan untuk tidak memakainya. Aku minta maaf karena telah membuat Noah menunggu lama," balas wanita bernama Dara itu.
"Noah sampai tertidur, untung dia tidak menangis." Sang pengasuh mengambil Noah dari tempat tidurnya dan menyerahkannya pada Dara.
"Terima kasih sudah menjaga Noah seharian ini," ucap Dara sambil menyodorkan uang sebesar lima dollar.
"Sama-sama, Nona. Sebaiknya anda segera pulang, hari sudah semakin gelap."
"Iya. Sampai jumpa besok pagi," pamit Dara yang kemudian meninggalkan rumah itu. Ia menggendong Noah di depan. Di sepanjang jalan ia memandangi wajah sang putra yang terlelap. Saat itu Dara merasa sedih. Ia sedih karena tak bisa memberikan waktunya untuk menjaga Noah dan harus sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ketika melihat jalanan yang sangat sepi, Dara semakin mempercepat langkahnya. Kira-kira jarak rumahnya dari tempatnya berdiri adalah satu mil. Langkahnya yang semula cepat kini terhenti melihat dua orang pria keturunan asli bertubuh besar yang menghadang di depannya. Tanpa pikir panjang Dara segera berbalik dan memutuskan lewat tempat lain.
Namun, rupanya dua pria Amerika itu mengikutinya. Salah seorang menghadangnya tepat di depan, satunya lagi bediri di belakang Dara sehingga wanita itu merasa terkepung dan tak tahu harus kabur lewat mana.
"Nona, kenapa berjalan sendirian?" tanya pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Evi Sugianto
saya baca membayangkan diri sendiri seperti "Dara",
2022-11-06
1