Pakaian Bekas Suami

Gemericik air menyambut pendengaran Jay yang baru saja terbangun, mungkinkah hujan semalaman tak juga reda hingga pagi. Ia merasakan basah, ya, pakaiannya basah. Untuk beberapa detik kemudian, Jay tersadar. Pria itu terperanjat ketika mendapati seorang anak laki-laki tengah tiduran di atasnya sembari menelusuri tangan kirinya yang penuh tato dengan jemari mungil.

"Noah!" panggil Dara yang datang dari arah kamar mandi.

"Astaga, maaf Jay." Dara meraih Noah dari pangkuan Jay dan menggendongnya. "Sepertinya Noah bermain kran air dan tak menutupnya."

Jay memandangi sekitar yang sudah banjir oleh air kran hingga membuat pakaiannya basah. Di sudut ruangan terdapat kain pel yang setengah basah, sepertinya Dara meletakkan beberapa kain secara sembarang untuk menyerap air yang lari kemana-mana. Rumah itu kini terlihat layaknya kapal pecah.

"Aku tadi mengepel lantai dan tidak tahu kalau Noah mengganggumu, maaf ya."

"Tidak apa-apa," jawab Jay. Pria itu kembali mengamati sekitar, sepertinya Noah mungkin menyalakan kran air semalaman.

"Sebentar." Dara masuk ke kamar untuk mengamankan Noah, ia kembali dan membawa sebuah baju dan celana.

"Mandi lah," pinta Dara sambil menyodorkan pakaian itu pada Jay.

"Ini pakaian siapa?" tanya Jay yang masih konsisten duduk di lantai.

"Ini milik suamiku," jawab Dara.

"Kau yakin suamimu tidak akan marah kalau aku memakai pakaiannya?" tanya Jay hati-hati. Ia juga tak enak jika suami Dara mengetahui keberadaan Jay di sana, sudah pasti akan terjadi kesalah pahaman.

"Suamiku sudah meninggal," jawab Dara tersenyum getir. Saat itu Jay semakin merasa tidak enak.

"Maaf, aku tidak tahu."

"Tidak apa-apa. Aku sudah bisa menerima kenyataan sekarang." Dara kembali meraih pel yang ia letakkan di sudut ruangan dan melanjutkan aktifitasnya yang tadi.

"Kamar mandinya ada di sebelah sana." Dara menunjuk ke arah pintu yang letaknya di sudut kiri bagian dapur kecil miliknya.

Jay mengangguk dan segera beranjak dari tempatnya. Sesaat setelah Jay berlalu, Dara menitikkan air mata. Ia tiba-tiba teringat pada sang suami yang telah meninggal kurang lebih setahun yang lalu. Noah bahkan belum lahir saat itu. Tepat tiga hari setelah kematian sang suami, Noah lahir seolah memberikan sebuah obat penawar untuk hati Dara. Itulah mengapa, Dara berjanji akan memberikan dunianya untuk Noah—buah cintanya dengan mendiang suami, satu-satunya harta berharga yang ia miliki.

Setelah selesai mengepel, Dara kemudian menyiapkan sarapan. Ia masih memiliki beberapa lembar roti, ada juga tiga telur ayam yang masih bertengger di lemarinya. Entah kenapa jumlahnya pas untuk sarapan tiga orang.

Jay keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang setengah basah. Pakaian mendiang suami Dara begitu pas untuk Jay, seolah-olah ia adalah pemilik yang sebenarnya.

"Aku mencuci bajuku tadi. Boleh aku menumpang menjemur bajuku di belakang?" tanya Jay yang kini tangannya membawa baju dan celananya yang basah.

"Kau cuci pakai apa?" tanya Dara. Ia kehabisan sabun cuci.

"Aku hanya mencucinya dengan air. Tenang saja, aku tidak mengambil sabunmu," jawab Jay.

Dara tertawa pelan. "Aku kehabisan sabun cuci," ia bergumam. Kehidupannya begitu serba kekurangan, membuat Jay merasa iba dan kasihan.

"Dara... Noah...!" panggil Bibi Kim dari luar sembari mengetuk pintu.

"Aneh, tidak biasanya Bibi Kim datang ke sini pagi-pagi sekali," ucap Dara sembari berlalu menuju pintu masuk. Jay kemudian ke halaman belakang yang kecil untuk menjemur pakaiannya.

Bibi Kim masuk dan memeriksa Noah yang tengah asyik bermain mobil-mobilan dari kayu di dalam kamarnya. Kemudian ia masuk ke dapur. Dari dalam dapur ia melihat Jay yang tengah menjemur pakaiannya di halaman belakang.

"Dara, kau pikir apa yang kau lakukan?" raut murka segera menghiasi wajah Bibi Kim, seolah-olah Dara melakukan kesalahan besar.

"Ada apa lagi?" tanya Dara.

"Bisa-bisanya kau membiarkan berandalan itu memakai baju milik suamimu!" protesnya.

"Dia harus berganti pakaian."

"Kupikir dia harus pergi dari sini setelah bangun tidur."

Dara berdecak, baru sekali ini berseberangan dengan bibi suaminya itu.

"Bibi tidak lihat? Aku baru saja selesai mengepel. Noah membuka kran air semalaman hingga membuat seluruh rumah kebanjiran. Dan Jay yang sedang tertidur tanpa alas di ruangan depan pun juga harus kebasahan karna ulah Noah. Jadi, apa Bibi pikir aku tak boleh meminjamkannya baju?" jelas Dara.

"Tetap saja dia tidak boleh memakai benda yang bukan miliknya." Bibi Kim masih bersikukuh.

"Aku hanya mencoba membalas kebaikannya, apa itu salah?"

"Membuatnya menginap di sini semalam saja sudah cukup. Kau tak perlu berlebihan memperlakukan orang asing itu!"

"Dia punya nama. Jay."

"Aku tidak peduli mau siapa pun namanya." Bibi Kim melipat kedua tangan di depan dada. Wajahnya yang sudah keriput ditekut sejadinya.

"Kalau pun suamiku masih hidup, aku yakin dia akan melakukan hal yang sama." Dara mengigit bibir bawahnya sekilas. "Dia pasti akan memperlakukan Jay sama seperti yang aku lakukan. Dia pasti akan membalas budi pada orang yang telah menyelamatkan nyawa istri dan anaknya." Bibir Dara bergetar, lidahnya kini kelu. Terlalu berat baginya ketika mengenang ataupun membicarakan soal mendiang suaminya.

"Kalau suamimu masih hidup, kau tidak akan dicegat oleh preman-preman itu."

"Apa yang membuat Bibi seyakin itu? Kami sama-sama Asia, apa bedanya dengan Jay yang telah dihajar karena membelaku mati-matian?"

Bibi Kim kini terdiam. Sementara itu, Jay yang sudah selesai menjemur baju telah berdiri di ambang pintu dapur dan mendengar pembicaraannya Bibi Kim dan Dara.

Dara berbalik hendak memanggil Jay, tapi pria itu sudah masuk ke dapur.

"Jay," lirih Dara.

Jay menundukkan wajahnya, terlihat jelas raut sedih di wajahnya. Pria itu kemudian melangkah, meski begitu kakinya seakan ragu.

"Aku akan pergi sekarang dan akan kembali nanti sore untuk mengambil bajuku yang sudah kering, emmm...mungkin juga akan menumpang mandi dan mencuci pakaian yang kupinjam. Sekali lagi, terima kasih karna telah membiarkanku tinggal semalam di sini." Jay tersenyum, kemudian ia berlalu melewati Dara dan Bibi Kim yang mematung di tempatnya.

"Tunggu, Jay!" cegah Dara.

Jay menoleh menanggapi panggilan itu.

"Kemarin aku bilang padamu kalau aku tak bisa memberikan imbalan apapun, tapi setidaknya aku masih mempunyai makanan." Dara menahan kalimatnya. Sekarang ia sudah mulai masa bodoh, meski ada Bibi Kim di depannya.

"Ayo sarapan dengan kami," lanjut Dara.

"Cih... Aku mau pulang." Bibi Kim menggerutu, ia pergi begitu saja tanpa dihentikan oleh Dara maupun Jay.

Pria itu masih berdiri di tempatnya, ia akan menerima imbalan itu dari Dara.

Terpopuler

Comments

Evi Sugianto

Evi Sugianto

lanjut dan semakin suka bacanya 😊

2022-11-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!