" Ya udah nggak apa-apa," Ibu. " Pak RT, saya mohon izin, biar tamu saya ini nginap semalam di rumah saya." Spekulasi negatif pada gadis ini telah tergambar di otak sang ibu. Tak ingin terjadi apa-apa, gadis ini terlihat tak ingin pulang ke rumahnya. Nampak dengan tak inginnya Iya membahas tentang rumah.
"Nggak bisa gitu Bu!" Pria yang bernama Nizam.
"Aku sama dia bukan mahram, nggak bisa seatap." Lanjutnya.
Cih, sok suci.
Seatap belum tentu sekamar. Memangnya mau ngapain?
Laela memberenggut, melirik Nizam dengan pandangan kesalnya.
"Lalu mau bagaimana? Ini udah malam, dia juga nggak mau pulang. Mungkin ingin menenangkan diri dulu. Nggak pa-pa yah cuma semalam ini saja." Pinta sang Ibu lembut, merasa tak enak dengan tamunya.
"Ayo ayo istirahat dulu," Tangannya langsung meraih tangan Laela guna dibawa masuk ke rumah.
Mengidahkan pangangn para pria yang sebenarnya masih ingin bermusyawarah. Ibu mengambil keputusan sendiri.
Menempatkan Laela di sebuah kamar milik Salsabilla, sang anak bontot yang yang kini menjalani pendidikan di pondok pesantren, mengikuti jejak sang kakak, Nizam.
Memastikan Laela beristirahat dengan tenang. Kemudian kembali ke ruang tamu ingin berbicara dengan yang lain tanpa melibatkan sang tamu.
"Ibu takut dia mencoba bunuh diri lagi! Masalah gadis itu kita bahas besok saja." Alasan yang Ibu ucapkan pada mereka yang ikut sidang tanpa Laela.
Yang lain setuju, termasuk Bapak dan Pak RT kecuali Nizam tentunya. Mendapatkan keputusan akhir yang seperti itu, mau bagaimana lagi. Forum malam itupun berakhir begitu saja.
Nizam berjalan menuju kamar milik adik bungsunya. Ia telah diberi tahu jika di dalam sana ada gadis asing itu, Laela.
"Makan!" Ucapnya singkat setelah mengetuk pintu kamar. Tak ada sahutan dari dalam.
Laela tengah tenggelam dalam pikirannya, besok akan ke mana lagi? Malam ini ia beruntung, bertemu dengan keluarga yang baik hati menolongnya tanpa pamrih.
"Ditungguin Ibu, makan malam." Suara teriak dibalik pintu, lengkap dengan ketukan yang hampir mirip dengan gedoran pintu.
Berjalan lunglai membuka pintu, di hadapannya telah berdiri seorang pria yang masih berpakaian sama Koko dan sarung. Masih ganteng, parfumnya pun masih tercium. Eemmm, wangi.
Mengikuti arah langkah Nizam menuju ke ruang makan.
Di sana hanya ada mereka berempat, ibu dengan seorang pria pendiam yang ditaksirnya adalah suami ibu. Nizam dan dirinya.
Pertanyaannya saat ini, ke mana pria yang tadi sore menolongnya. Apakah pria itu sama dengan pria yang berada sekarang? Suaranya memang sama, namun penampilan jelas beda.
Laela membantu ibu membereskan bekas makan mereka,
"Udah biar Ibu aja, Kamu pasti capek!" Ibu menghentikan tangan Laela yang hendak mencuci piring.
"Nggak papa Bu, cuma sedikit bantu-bantu." Dengan senyum sungkan. Ia telah ditampung di rumah ini, setidaknya membantu mencuci piring sebagai ucapan terima kasih.
"Udah nggak apa-apa, ke kamar aja. Ibu bisa marah juga loh!" Ancaman yang terdengar lucu hadir dari wajah teduh itu.
"Nggak papa Bu?" Laela kembali bertanya memastikan.
" Iya nggak papa, Cepetan ah!" Ibu.
"Aku ke kamar ya Bu!" Mesti masih sungkan,Laela akhirnya pergi dari sana.
"Bu, Gadis itu hanya bisa tinggal malam ini saja ya." Entah Nizam sedang bernegosiasi atau sedang mengambil keputusan. Terdengar lembut namun tegas, Ibu hanya mengangguk menyetujui.
Nizam kembali melangkah ke kamar setelah menyiapkan air putih sebelum masuk ke kamar.
Entah siapa yang salah, Nizam yang selalu jalan tergesa-gesa atau Laela yang berjalan sambil menunduk.
Tubuh keduanaya saling bertubrukan tepat di depan kamar sang adik yang kini ditempati Laela.
Membuat keseimbangan tubuh hilang hingga terjatuh.
Bug.
Mendarat nan indah dengan Nizam yang menimpa tubuh Laela.
Gelas masih berada dalam pegangan Nizam, meski isinya telah tumpah terlebih dahulu membasahi sarungnya.
Bibirnya sempat mendarat di pelipis Laela, halus dan lembut kulit Gadis itu ia rasakan.
Mata sama-sama membola saat pandangan mereka bertemu. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Terkejut pasti.
"Kak berat." Laela masih mampu berbicara meski dengan nafas yang setengah terpotong. Tubuh Nizam yang tinggi dan tegap lumayan berat menimpa tubuhnya.
Dengan menggerutu pelan, Nizam bangkit meninggalkan tubuh Laela.
Membuka lilitan sarung, kemudian menggemas-ngibas berharap bisa sedikit mengeringkan sarung yang basah karena tumpahan air minumnya.
"Kamu tahu kenapa perempuan dan laki-laki yang bukan mahram tidak diperbolehkan berada dalam satu ruang?" Pertanyaan tegas dan sedikit keras dari Nizam sedikit menyentil bagi Laela. Gadis itu hanya tertunduk, merasa Terusir dari rumah ini.
"Agar tidak menimbulkan fitnah, dan juga tidak terjadi hal yang seperti tadi." Nizam masih dengan suara tegasnya, kembali berjalan ke dapur meninggalkan Laela dan bibir yang mengerucut.
Kumandang azan, mendayu memecah sunyi. Selang seling sahutan ayam, menyambut fajar diufuk timur.
Laela masih sangat mengantuk, saat pintu kamar beberapa kali diketuk dari luar, bersamaan dengan suara yang menyapa.
Dengan mata memicing, memandang jam berkarakter Doraemon yang menempel di dinding. Cahaya lampu dari luar telah mengintip ke kamar.
Di luar kamar, suasana telah riuh dadahal baru pukul setengah lima subuh, masih jauh dari jam bangunnya.
"Salat subuh dulu!" Suara lembut wanita itu serasa membangunkannya dengan paksa.
Laela bergerak keluar, riuh itu membuatnya penasaran.
Rumah telah terang benderang, semua lampu kembali dinyalakan. Mata pun terbuka secara sempurna. Langkahnya menuju kamar mandi belakang terhenti saat derap langkah terdengar setelah pintu tertutup.
Berbalik, menatap Nizam yang lagi berpenampilan sama seperti semalam, baju koko, sarung dan peci, wangi parfum kembali menusuk hidungnya. Disusul suami ibu, mungkin mereka baru saja dari masjid.
"Shalat subuh dulu!" Ucapan Ibu kembali menyadarkannya, kembali melangkah ke arah tujuan sebelumnya.
Jujur ia tak pernah bangun sepagi ini. Subuhnya setengah enam hingga menjelang pukul enam, itupun bangun cepat karena takut terlambat ke sekolah.
Kembali melangkah keluar setelah menjalankan salat subuhnya. "Essst, Dingin!" Setengah menggigil gadis itu meninggalkan kamar mandi.
"Sini kita sarapan bareng!" Ibu ramah dengan senyumannya.
Mengedarkan pandangan hingga mendapatkan benda penunjuk waktu. Masih pukul 05.00, terlalu cepat untuk sarapan. Lalu setelah ini apa?
Di meja makan hanya ada Nizam dan ibu. Minus suami ibu, yang sebenarnya telah berangkat ke perkebunan, memanen sawi, kembang kol dan selada, sambil menunggu sang pembeli.
Pandangannya tertuju pada Nizam, pria itu kini berpenampilan seperti kemarin magrib saat pertemuan pertama mereka di jembatan.
Baju kaos lusuh dengan celana di bawah lutut yang juga hampir lusuh.
Fix, pria yang menolongnya kemarin adalah Nizam. Pria sama yang menggunakan baju Koko dan sarung dengan wangi tubuh semerbak. Sama dengan pria yang ia puji ganteng dan harum semalam.
Masih tak ada percakapan dirinya dengan Nizam. Sama kaku dan dingin.
"Aku pergi!" Ucap Nizam sembari melangkahkan kaki keluar rumah, dan pastinya dengan langkah yang terburu.
Di sini Ia bersama ibu membersihkan meja makan, cuci piring dilanjutkan dengan membantu ibu membersihkan rumah. Sadar diri, di sini ia menumpang setidaknya harus membantu yang punya rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments