Perjalanan tak terlalu panjang hingga mereka masuk ke daerah pemukiman warga.
Pria itu telah menghentikan laju motor di depan sebuah rumah. Sedikit keras saat menjatuhkan koper milik Laela dari motornya.
Sangat berbeda saat ia menurunkan telur-telurnya yang berjumlah 10 rak dan telah diikat menjadi dua bagian.
Huh, pilih kasih sekali.
Di sebelah sana ada motor keren yang terparkir di halaman rumah NMAN. Yakin jika motor besar itu salah satu milik yang punya rumah. Kenapa juga dia harus ditolong dengan motor butut ini?
"Bu, .... Ibu, ....!" Pria itu berteriak memanggil sang ibu dari teras.
yang dipanggil tergopoh-gopoh menghampiri dengan mengusap-ngusap pelan tangan pada sarung batik yang ia gunakan.
"Ini bu, ada cewek nyasar." Ucapnya sedikit menoleh menunjukkan gadis asing yang baru saja ia temui.
" Astagfirullah!" Pelan ibu dengan tangan yang diletakkan di atas dada.
Tak pernah terpikirkan olehnya, Nizam, putra yang ia kenal paling soleh dalam keluarganya. Tak pernah ada cerita miring orang-orang tentang putranya itu. Putra kebanggaan keluarga, yang sempat ia titipkan dalam pondok pesantren guna meniti ilmu agama lebih dalam.
Yang Ibu tahu tentang putranya ini, Nizam tak pernah mau berdekatan dengan wanita yang bukan mahramnya. Kecuali itu dalam keadaan darurat, mengingat pekerjaan putranya itu yang masuk team penyelamat.
Tapi kini, Putra kebanggaannya itu membawa seorang wanita yang ia pun tak tahu siapa.
"Siapa?" Dengan berbisik pelan setelah menahan pergelangan tangan Sang putra.
Tetap menjaga perasaan tamunya.
"Nggak tahu Bu, tadi ketemu di jembatan kayaknya mau bunuh diri." Nizam turut berbisik, sebelum bergegas ke dalam. sepertinya pria itu sedang tergesa-gesa. urusan Gadis itu ia serahkan pada ibu.
"Astagfirullaaah."
"Ayo masuk Nak!" Ajak ibu pada tamunya yang berdiam diri di depan pintu rumah.
Cantik, dengan baju yang menurutnya turut menampilkan kemampuan finansial gadis ini.
Laela masih terdiam, ragu untuk melangkah. Ibu menarik tangannya membawa ke dalam ruang tamu, tahu jika tamunya ini pasti sungkan.
"Namanya siapa?" Mulai sesi perkenalan.
"Laela bu." Jawab Laela dengan lirih, pandangan menunduk masih malu.
Ia sempat menebak percakapan singkat antara ibu dan pria tadi. Inginnya tadi hendak protes jika ia tak ada niat untuk bunuh diri di jembatan itu hanya menikmati pemandangan arus sungai saja. Namun keberanian untuk berucappun tak ada.
Tempat ini asing buatnya, pun dengan orang-orangnya. Ia tak tahu apalagi yang akan terjadi setelah ini.
Sementara ibu hanya mangut-mangut, tangan masih mengenggam tangan sang gadis.
Tak berapa lama, seorang pria keluar dari dalam rumah dengan berlari kecil menandakan Iya tergesa-gesa. Tangan masih sibuk mengancing baju kokonya. Sarung tenun terlilit di pinggang lengkap dengan peci hitam, semakin menampilkan aura ketampanannya.
"Bu Nizam pergi." Tutur kata pun turut tergesa.
Eh tunggu dulu, pria itu seperti pria yang tadi menolongnya di jembatan. Tapi mengapa terlihat jauh berbeda.
Pria yang baru saja lewat terlihat lebih tampan daripada pria yang dekil itu.
Apakah mereka kembar?
Laela melongok dengan pemikirannya sendiri.
"Ya udah, kita juga magrib-an dulu ya. sambil tunggu Nizam." Tepukan di punggung tangan menyadarkan Laela dari ilusinya.
Nizam. Nizam. Nizam
Nama Pria tadi adalah Nizam.
Tapi pria yang mana?
Pria yang dekil? Atau pria yang tampan?
Mengikuti segala instruksi ibu, sang pemilik rumah. Magrib hanya berdua di rumah ini. Kembali duduk ke ruang tamu, ya katanya menunggu si Nizam tadi.
Hingga pintu rumah terbuka perlahan, menampilkan pria tampan tadi. Pria yang menggunakan baju koko sarung dan peci. Ini kan yang namanya Nizam?
Disusul pria paruh baya di belakangnya.
"Silakan masuk Pak!" Pria yang namnya Nizam itu mempersilahkan pria di belakangnya untuk masuk.
Laela menegakkan tubuh, anggaplah ia tengah menyambut orang-orang ini.
"Silakan duduk pak RT!" Ucap Nizam lagi.
"Terima kasih, terima kasih!" Yang disebut Pak RT duduk dengan tersenyum.
Tapi masih ada pria paruh baya yang lain yang turut bergabung dengan mereka di ruang tamu.
H. Muhidin, pria paruh baya yang dijadikan imam di kampung mereka.
Laela kini bingung hendak ke mana, saat di ruangan ini hanya ada ia sendiri yang perempuan.
"Oh ini yang nak Nizam bicarakan?" Pandangan Pak RT kini mengarah padanya masih dengan senyum di wajah.
Laela menatap satu persatu anggota forum dadakan itu. Ia menikmati satu wajah saja, wajah Nizam, namun kebingungan turut melanda hati. Apa yang Nizam bicarakan tentang dirinya pada orang-orang ini?
"Jadi kenapa, Nak?" Pertanyaan itu khusus untuk Laela yang masih dilontarkan dengan raut wajah yang tersenyum. Pak rt-nya Ramah banget. " Adek Alamatnya di mana?"
Adik-adik? Adik kepalamu. Laela memberanggut, ia lebih cocok menjadi anak daripada adik Pak RT dari pada adik.
Dan rasanya sapaan itu terdengar menggelikan di telinga Laela.
Laela tak menjawab, lebih memilih menundukkan wajah saat Pak RT masih memandangnya dengan senyuman, padahal tak ada niat apapun dari pria paruh baya itu. Hanya menunjukkan sifat ramah pada tamu yang berkunjung ke daerahnya. Laela saja yang terlalu merasa.
" Nama kamu siapa? Kita kan memang belum kenalan!" Pria yang katanya memiliki nama Nizam itu ternyata lebih ramah.
"Laela." Ucapnya lagi menunduk, nyalinya benar-benar terasa ciut berada dalam situasi ini.
Hingga akhirnya ibu datang dengan nampan di tangan.
Ah lega rasanya, setidaknya ada yang menemaninya, sesama perempuan.
"Alamat kamu di mana?" Kembali Nizam melontarkan tanya. Keyakinan masih besar jika gadis ini berasal dari kota, itu yang dia nilai dari penampilan.
Gadis itu menunduk, tak hendak menjawab. Karena memang ia tak ingin pulang ke rumahnya saat ini. Mereka menanyakan alamat pasti ingin mengantarkannya pulang.
" Siapa tahu keluargamu nyariin." Lanjut Nizam.
"Stttt,..." Tepukan ringan menyentuh tangan Nizam, menghentikan introgasi pria itu.
"Jadi gimana Pak RT?" Pria yang tadi menepuk tangan Nizam.
"Ya kita tanya dia dulu maunya bagaimana?" Pak RT.
"Kamu maunya gimana. Ini sudah malam, kamu juga nggak mau ngomong apa-apa." Nizam, meski telah berupaya menyembunyikan kekesalannya namun masih sedikit nampak saja. Kesal karena gadis itu terus diam meski dihujani pertanyaan.
Ia sengaja memberi tahu pada Pak RT dan imam kampungnya. Tak ingin jika fitnah terjadi karena ia membawa seorang gadis ke rumahnya malam-malam.
Juga hendak meminta saran gadis itu akan ditampung di mana malam ini.
"Ya udah nggak apa-apa," Ibu. "
Pak RT, saya mohon izin, biar tamu saya ini nginap semalam di rumah saya." Spekulasi negatif pada gadis ini telah tergambar di otak sang ibu. Tak ingin terjadi apa-apa, gadis ini terlihat tak ingin pulang ke rumahnya. Nampak dengan tak inginnya Ia membahas tentang rumah.
"Nggak bisa gitu Bu!" pria yang bernama Nizam.
"Aku sama dia bukan mahram, nggak bisa seatap." Lanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments