Bab 4

Sore hari menjelang pulang, Karin tengah sibuk menyelesaikan tugasnya yang diberikan oleh manager HRD untuk mengecek data pegawai yang terupdate. Itu artinya telah ada namanya dalam list tabel tersebut.

Nyesel gue dulu punya laptop malah dianggurin, sekarang giliran dikasih kerjaan ngetik jadi lama banget. Rasanya pengen gue banting aja ini keyboard. Malah setengah jam lagi kumpul di kantin. Ayo Karin, bisa, bisa, bisa! ucap Karin dalam hatinya, menyemangati dirinya sendiri. Sepuluh jarinya berusaha mengetik sesuai huruf yang ada pada keyboard.

*TLILILILIT*

Karin menoleh sekilas, memastikan telepon mana yang menyala. Ia segera mengangkat gagang telepon yang berasal dari intern.

"Hallo?" sapa Karin, menyelipkan gagang telepon di antara telinga dan bahunya. Karena kedua tangannya masih sibuk mengetik.

"Ke ruangan saya sekarang!" *Tut tut tut tut*

Asem! itu bos gak tau apa gue lagi keteteran gini. Tinggal sedikit lagi padahal.

Dengan terpaksa Karin menaruh kembali gagang telepon di tempatnya, lalu tidak lupa untuk menyimpan data yang telah ia ketik sejak tadi. Setelah itu, pergi ke ruang kerja Vian.

Karin masuk ke dalam ruang inti kantor tersebut. Suara derap langkah yang berasal dari heels yang di pakainya, seketika bisa menambah rasa percaya dirinya.

*Tok tok tok*

"Masuk!"

Setelah mendapat jawaban dari penghuni ruangan yang bertuliskan 'President Excekutif Director', Karin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dengan begitu suasana hatinya bisa sedikit lebih nyaman dan tenang. Kemudian ia pun memegang gagang pintu lalu membukanya.

"Permisi, Bapak panggil saya?" tanya Karin dengan memasang senyuman setulus mungkin.

"Duduk!" perintah Vian seraya mempersilahkan Karin dengan matanya untuk duduk di kursi yang berada di depan meja kerjanya.

Karin mengangguk pelan lalu menutup pintunya kembali. Setelah itu, berjalan mendekat ke kursi itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget karena mendengar suara wanita yang tengah menangis.

"Pak, itu siapa yang nangis? kuntilanak ya? ih kok saya merinding," kata Karin yang spontan. Ia tidak menyadari layar laptop yang ada di atas meja menghadap Vian itu tengah melakukan video call dengan istrinya.

"Itu istri saya yang nangis," jawab Vian dengan sikapnya yang dingin, lalu menaruh kedua tangannya di atas meja dengan posisi menyimpulkan jari jemarinya. "Dia bilang, ada resepsionis baru yang sudah membuatnya marah."

Siapa yang bikin istrinya marah? gue? emang gue salah apa? batin Karin menerka.

"Maksudnya marah gimana ya Pak?" tanya Karin penasaran. Ia merasa tidak membuat salah sama sekali.

Vian menghembuskan napas kasar. "Darling, sudah dulu ya. Aku akan bicara dengan resepsionis baru ini," katanya sambil menatap layar laptop. Karin pun kini paham.

"Okey, you bisa pecat dia kalau perlu. Bye darling," sahut istrinya. Terdengar begitu menggelikan di telinga Karin.

Istrinya bule juga kali ya. Karin mencoba membayangkan wajah blasteran yang dimiliki oleh istrinya Vian.

Mata Karin yang tadinya sempat ikut menatap laptop, kini pandangannya teralihkan kepada sang empunya karena laptop itu telah ditutup kembali oleh Vian. Senyum simpul terbit dari kedua sudut bibir tipis yang dimiliki oleh Karin.

"Ada apa ya Pak?" tanya Karin kembali dengan wajah polosnya. Tapi kali ini Vian menatapnya sedikit ramah.

"Saya minta sama kamu, siapapun yang menelepon, kamu sebagai resepsionis harus tetap ramah. Entah pada pegawai ataupun orang luar. Karena setiap orang memiliki watak dan gaya bicara yang berbeda. Usahakan kamu tetap mengontrol emosi yang masih meletup-letup itu. Its okay, maybe ... di usiamu yang masih belasan ini, terpancing emosi itu sudah menjadi spontanitas. Tapi kali ini saya minta tolong. Belajar untuk bersikap dewasa," ucap Vian yang kemudian menyandarkan punggung di kursi kebesarannya.

Karin masih tidak mengerti kemana seharusnya arah pembicaraan Vian. Ia mengerutkan kening mencoba mencerna ucapan itu dan mengingat kembali kejadian apa yang di alaminya.

Ah! Karin berseru dalam hati. Ia tiba-tiba teringat sesuatu. Apa karena tadi itu ada cewek yang telepon gue terus suruh nyambungin ke suaminya. Mati gue, jangan-jangan itu istrinya. Tamatlah sudah nasib gue di sini. Paham gue paham sekarang. batinnya menangis.

Setelah menghela napas panjang, Karin meluaskan hatinya untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba ada kata-kata Vian yang bisa menyakitinya. "Saya minta maaf atas sikap kekanak-kanakan yang telah saya perbuat Pak. Sampaikan permintaan maaf saja juga pada istri Bapak. Jujur, tadi saya belum tahu kalau Pak Vian sudah menikah. Setelah Pak Hendra memberitahu, barulah saya paham. Sekali lagi saya minta maaf ya Pak, jangan pecat saya, please," katanya, seraya memohon dengan raut wajah yang cukup menyedihkan.

"Ya sudah, silahkan kembali ke tempatmu lagi sana!" perintah Vian dengan penuh penekanan.

"Terima kasih banyak Pak. Saya akan ingat-ingat apa yang barusan Bapak katakan pada saya. Permisi," kata Karin yang akhirnya pamit dari hadapan Vian dan keluar dari ruangan bosnya itu.

Karin menghembuskan napas lega setelah pintu ditutup kembali olehnya.

"Kamu kenapa Karin? Si bos marah lagi ya sama kamu?" tanya wanita yang menggunakan nametag bertuliskan 'Rini Wulandari'.

"Eh enggak kok, Mba ... Rini," jawab Karin sambil melihat ke arah nametag itu.

"Oh kirain. Eh iya berita soal family gathering itu beneran jadi diadain?" tanya Rini lagi. Kali ini dia sangat penasaran. Karena memang acara itu yang sudah ditunggu-tunggu sejak Vian menjabat.

"Kalau kata Pak Hendra sih jadi, Mbak," jawab Karin seadanya.

"Ah! syukurlah." Rini seketika tampak bahagia. "Terus kapan diumuminnya?" tanyanya.

Karin mengernyit, "Loh tadi siang sudah aku umumin ke masing-masing departemen Mbak. Apa tadi Mbak Rini gak ada ditempat?" tanyanya.

"Aih, aku kan baru sampai kantor ini habis tugas luar dari sebelum makan siang. Emang ada info apa?"

Karin langsung melihat jam yang tertempel di dinding ruangan kantor itu. Tepat lima menit lagi. Dia mulai panik.

"Lima menit lagi kumpul di kantin Mbak, selebihnya nanti di kasih tau sama Pak Vian. Aku permisi dulu ya Mbak, kerjaanku belum kelar." Karin langsung meninggalkan Rini yang masih berdiri di sana yang menggelengkan kepala karena melihat kepanikan di wajah Karin.

Lalu, saat tiba di ambang pintu, Karin melihat Hendra sedang melihat ke arah layar komputer. Dia segera menghampiri meja tempat seharusnya dia berada.

"Sudah selesai bicara sama Pak Viannya?" tanya Hendra dengan wajahnya yang selalu ramah, bukan hanya pada Karin melainkan pada pegawai yang lainnya juga. Itulah kenapa dia menjadi primadona di kantor ini. Walaupun wajahnya khas orang Indonesia asli, tapi wibawanya tetap selalu dia jaga.

"Sudah Pak. Hm ... Pak Hendra lagi ngapain? saya belum selesai soalnya," jawab Karin yang berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Hendra.

"Saya ... "

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!