Bab 3

*TLILILILIT TLILILILIT*

Tanpa melihat ke arah dua buah telepon dengan fungsi yang berbeda, tangan kiri Karin mengambil salah satu gagang telepon itu.

"Selamat pa ... "

"Hallo, ada apa?"

Karin seketika menoleh, ternyata dia salah mengangkat telepon. Ternyata yang berbunyi dari telepon intern, hanya dalam ruang lingkup kantor saja. Beruntung, Hendra yang menjawabnya.

"Iya, sebentar. Saya mau edukasi pegawai baru dulu ya." Telepon pun di tutup kembali oleh Hendra.

"Maaf Pak, saya salah," kata Karin sambil cengengesan kembali.

"Sepertinya saya lagi ada waktu untuk memberitahumu banyak hal, terutama pekerjaanmu," ucap Hendra sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Dengan senang hati Pak. Walau waktu kontrak saya di sini hanya enam bulan, tapi saya bersungguh-sungguh untuk bekerja," kata Karin sambil mengobarkan semangat '45' pada Hendra.

"Baiklah, untuk satu jam ke depan saya akan menugaskan salah satu security untuk berjaga sementara di sini."

Hendra kemudian menelepon pos security. Tidak lama, salah satu dari mereka pun datang.

*TINGTONG*

"Titip lapak ya Pak," kata Hendra, security dengan namtag Jana itu tersenyum.

"Silahkan Pak, saya akan menjaga lapaknya."

Ternyata ini cowok sama security receh juga ya, batin Karin yang juga ikut tersenyum seraya mengekor di belakang Hendra.

Setelah berada di depan lobby. Hendra mulai membuka pembicaraan diantara ke duanya.

"Saya sampai lupa belum memperkenalkan diri sama kamu. Oke ... saya Hendra disini sebagai sekertaris pak Vian. Kamu tahu pak Vian itu orangnya yang mana?"

"Enggak." Karin menggelengkan kepalanya.

"Itu loh yang seharian kemarin ngomelin kamu."

Karin bersusah payah menelan ludahnya serta mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Jadi itu yang namanya pak Vian.

"Oh iya, saya baru tau Pak."

"Dia adalah pimpinan sekaligus pemilik perusahaan ini. Sebenarnya saya ingin memperkenalkan langsung denganmu sekarang, tapi saya lihat auranya masih gak bagus demi kelangsunganmu disini jadi saya beritahukan aja ya."

"Iya Pak, gak apa-apa kok."

"Untuk pekerjaanmu, bagaimana? menerima telepon, melakukan panggilan telepon sudah bisa kah?"

"Perlahan saya mulai terbiasa Pak. Jadi sambil berjalan juga belajar. Soalnya saya kan dari SMA Pak. Setau saya, kalau pekerjaan seperti ini hanya di pelajari murid SMK jurusan administrasi perkantoran."

"Iya juga sih, benar katamu. Tapi saya salut, kemauanmu untuk belajar bisa saya acungkan jempol."

"Terima kasih Pak."

"Kalau kamu sudah lancar dan terbiasa sekali. Saya akan minta bantuanmu untuk mengurus data absensi serta catering yang biasa dikerjakan di bagian HRD. Soalnya satu-satunya staf HRD itu akan resign akhir bulan ini. Melihat kegigihanmu, saya yakin kamu bisa melakukannya."

"Jadi pekerjaan saya merangkap ya Pak?" tanya Karin, kali ini dengan wajahnya yang serius.

"Iya benar, maklum lah ya. Pegawai di perusahaan ini masih sedikit, sekitar total itu kurang lebih ada sembilan puluh orang. Karena sebenarnya perusahaan ini anak dari perusahaan pusat milik keluarga Reinhard. Dan setelah pak Vian menjabat jadi presiden direktur, sempat ada pemutihan dan perubahan aturan lama ke aturan baru. Jadi bisa dibilang perusahaan ini masih baru, ya ... kurang lebih satu tahun lebih."

"Oh gitu, Pak." Karin mengangguk paham.

Keduanya sambil berjalan berkeliling perusahaan, mulai dari lobby, ruangan inti kantor, ruang laboratorium, quality assurance, produksi, packing, warehouse dan terakhir delivery.

Sepanjang mereka berjalan kaki, Hendra menjelaskan tempat-tempat yang mereka kunjungi di perusahaan itu sekaligus memperkenalkan Karin kepada para pegawai.

Akan tetapi, Karin tidak melihat keberadaan wanita yang tadi pagi marah-marah dengannya.

Kemana wanita itu? gue kok gak lihat ya. Apa lagi ada di dalam ruang produksi? tanya Karin dalam hatinya.

Memang, hanya bagian produksi yang tidak dapat dia jamah. Karena harus memakai pakaian khusus serta mensterilkan tubuhnya supaya tidak membawa kuman masuk ke dalam, sehingga dapat merusak hasil produk yang akan dikemas.

Kebetulan pakaian khusus itu sedang tidak ada stok dalam lemari, jadi Karin hanya dapat melihatnya dari pintu ruang ganti saja. Pabrik ini benar-benar bersih dan terjaga kebersihan serta kenyamanan dalam bekerja.

Ketika Karin dan Hendra hendak keluar dari lorong ruangan yang bisa menembus ke ruang inti kantor, mereka berpapasan dengan wanita yang memarahi Karin di kantin tadi.

Wanita itu hanya melihat sinis ke arah Karin, tapi bersikap manis pada Hendra.

Gue rasa itu cewek suka kali ya sama pak Hendra ini. Buktinya sama gue judes banget, eh sama pak Hendra malah senyam senyum sok kecantikan gitu. Batin Karin bermonolog, yang tanpa sadar dia juga masih terbawa emosi dengan perlakuan wanita itu tadi pagi.

"Pak Hendra, boleh tanya gak?" Karin ragu sebenarnya, tapi daripada berburuk sangka, lebih baik bertanya.

"Tanya apa?"

"Yang tadi itu siapa?"

Hendra menoleh sambil mengerutkan keningnya. "Yang tadi berpapasan sama kita?" tanyanya memastikan maksud pertanyaan Karin.

"Iya Pak," jawab Karin seraya mengangguk.

"Oh itu, Rani namanya. Dia anak magang di bagian quality assurance, baru sekitar empat bulan ini."

"Oh ... " Karin mengangguk paham.

"Kenapa memangnya? galak ya dia?"

Mendengar pertanyaan Hendra, Karin langsung tersenyum meringis lalu mengangguk pelan.

"Hahaha, dia itu keturunan orang timur. Memang seperti itu pembawaannya. Awal dia kerja juga saya sempat kaget. Kok ada orang 'songong' sama saya. Eh taunya memang dia begitu pembawaannya," jawab Hendra sambil mengangkat dua jari dengan kedua tangannya saat mengatakan kata songong.

Karin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada ya Pak, saya juga baru tau."

"Oh iya Karin, akhir bulan ini akan ada family gathering perusahaan kita ke salah satu hotel di kawasan kota Bogor. Untuk itu, tolong sampaikan kepada admin masing-masing departemen supaya sore ini sebelum pulang, bisa di umumkan langsung oleh pak Vian di ruang kantin, bisa kan?" kata Hendra saat keduanya telah sampai di dalam lobby kembali.

"Baik Pak, kalau begitu akan segera saya laksanakan," ucap Karin dengan yakin.

"Oke, saya ke dalam dulu," pamit Hendra lalu Karin menundukkan kepalanya sebagai tanda mempersilahkan Hendra pergi dari hadapannya.

Karin menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Baru saja dia hendak duduk di kursinya, seorang wanita datang menghampiri sambil memegang semangkuk salad buah.

"Karin ya namanya?" tanya wanita yang memiliki wajah mungil dengan rambut yang ditutupi oleh kerudung pashmina motif bunga-bunga.

"Iya, benar ... Bu."

"Aduh jangan panggil ibu dong, emang aku kelihatan kayak ibu-ibu ya ? padahal emang bener sih, aku kan udah punya anak satu, hehehe," kata wanita itu. Karin pun ikut tertawa mendengar celotehannya.

"Memangnya umur Ibu berapa tahun?" tanya Karin yang spontan.

"Eh jangan nanyain umur dong, beda jauh banget kita. Tapi aku tetap imut-imut kan?" kilah wanita itu sambil menaik turunkan kedua alisnya.

Karin pun mulai menelisik dari ujung kepala sampai kaki wanita itu, dengan sebelah tangan yang mengusap dagunya tampak berpikir.

"Benar juga Bu."

Tak di sangka, wanita itu malah memberi tepukan yang lumayan kencang pada lengan Karin, dan lebih konyolnya lagi dia sambil tertawa. Sementara Karin tersentak kaget lalu ikut tersenyum meringis sambil mengusap-usap lengannya.

"Bu, kekencengan loh tadi."

"Eh, maaf maaf. Ya ampun saya saking senangnya punya teman baru yang seumuran," kata wanita itu yang masih tidak ingin dibilang tua. Karena memang umurnya juga Karin selisih 10 tahun.

"Iya iya gak apa-apa Bu. Santai aja hehe ... omong-omong Ibu di bagian apa? tadi pas saya keliling kok gak lihat Ibu ya?" Karin melipat tangannya sebelah lalu di letakkan di atas meja resepsionis.

"Saya bagian warehouse, mungkin tadi saya lagi di toilet pas kamu keliling. By the way, kamu sudah tau pak Vian kan? ganteng gak kalau kata kamu? beruntung deh kalau jadi istrinya." Wanita itu memuji sang pemilik perusahaan. Akan tetapi respon Karin biasa saja. Untuk apa ganteng tapi kerjaannya marah-marah terus, pikir Karin demikian.

"Ya ... gitu deh Bu. Kalau boleh tau nama Ibu siapa?" tanya Karin yang langsung mengalihkan topik pembicaraan. Dia tidak ingin membuat masalah hanya karena membicarakan pimpinan yang malas untuk dia bicarakan.

"Oh iya, kenalin saya Mutia." Tangannya pun terulur untuk mengajak Karin berjabat tangan. Dengan senang hati, Karin pun membalasnya.

Terpopuler

Comments

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

triple like plus fav ❤️

2022-12-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!