5

Hari-hari yang Laura lewati teramat monoton, hanya berputar dan terus membaca di luar waktu makan, tidur, dan ke kamar mandi. Laura juga tak pernah mengeluh sedikit pun.

Saat satu buku telah selesai dibaca, buku lainnya akan datang. Begitulah seterusnya, hingga bahan bacaan Laura tak pernah ada habisnya. Si ibu juga sesekali melihat, tapi tak mengatakan apa-apa. Wanita itu terus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan sang anak, agar mereka tak dianggap remeh karena tak memiliki figur ayah serta suami di kehidupan mereka.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Di kamarnya, Pipit yang masih terjaga, memijat pelan pundaknya yang cukup kaku karena terlalu lama menunduk. Wanita itu menghela napas melihat tumpukan dokumen yang dia bawa pulang untuk diselesaikan. "Maafkan mama ... mama tahu kalau kamu lelah dan bosan dengan semua yang mama katakan, tapi mama tak memiliki pilihan lain selain berperilaku keras seperti yang selama ini mama lakukan. Mama tak mau kamu menjalani kehidupan seperti mamamu ini, Laura ...," gumam Pipit mendesah lelah, wanita itu memejamkan matanya seraya mendongak ke langit-langit kamar. Dia juga ingin tertawa bersama anaknya, tetapi dia tak bisa. Pipit tak ingin Laura tumbuh menjadi gadis manja, jadi dia harus berperilaku keras dan disiplin agar putrinya itu menjadi gadis yang penurut pada dirinya.

"Jika kamu sudah dewasa, kamu bisa menyalahkan mama untuk semua yang kesulitan yang sudah kamu lewati, Laura," ujar Pipit berbisik pelan, berharap angin membawa bisikkannya untuk didengar putrinya meski hanya lewat mimpi saja.

Pipit bangkit dari duduknya, dia menenggak air minum dingin sebanyak mungkin. Setelahnya dia pun membaringkan tubuhnya ke tempat tidur. "Ahh, sepertinya aku sudah terlalu lelah hingga nyaman berbicara sendiri seperti ini," kata wanita yang baru saja berkeluh-kesah itu. Entah karena lelah atau satu alasan lainnya, tak lama kemudian Pipit telah jatuh tertidur dengan nyenyaknya. Wanita itu mengernyit dalam tidurnya, seakan dia mendapatkan mimpi buruk yang sudah biasa dia alami begitu dia mulai tertidur.

Sesungguhnya pada dasar, Pipit teramat sangat menyayangi putri semata wayangnya, Laura. Namun, karena keadaan dia harus mendidik lebih keras agar anak gadisnya itu tak tumbuh menjadi anak-anak nakal.

Belum lagi teman-temannya yang memiliki hobi menjodoh-jodohkan dirinya dengan beberapa kenalan mereka. Meski niatnya baik, tetapi Pipit tak ada keinginan untuk memulai kembali dari awal bersama orang lain. Katakan dia bodoh atau apa pun itu, dia tak peduli apa cap yang diberikan pada dirinya. Dia hanya ingin hidup berdua dengan anaknya, dia tak butuh pria yang mungkin saja akan kembali mengkhianati mereka setelah mereka memberikan semua kepercayaan yang mereka miliki padanya.

Tak ada yang salah dengan hidup berdua saja bersama anak untuk selamanya, Pipit juga tak butuh sosok pria yang bisa saja bertingkah sama seperti mantan suaminya dulu.

Pagi menjelang dengan cepat, suara kicauan burung meramaikan pagi yang sedang diguyur gerimis kecil. Alam sedang membagikan rahmatnya serta membasahi bumi yang mulai gersang. Pipit mengerjapkan matanya, kemudian wanita itu bangun dan mulai bersiap. Tumpukan pekerjaan menanti untuk diselesaikan olehnya hari ini.

"Pagi, ma," sapa Laura begitu melihat ibunya turun dan bergabung di meja makan.

"Pagi,"balas wanita itu singkat.

"Apa yang anda inginkan untuk sarapan kali ini, nyonya?" tanya salah satu pelayan yang saat ini bertugas melayani keduanya.

"Berikan yang biasanya saja," kata Pipit cepat.

"Baik, nyonya," balas si pelayan dengan patuh.

Pipit melirik singkat anaknya, wanita itu tersenyum tipis meski hanya sesaat saat melihat anaknya makan dengan baik. Dia cukup menyukai momen seperti ini, biarlah dia hanya mengabadikan dengan matanya dan menyimpan jauh di dalam hatinya. Pipit sudah cukup puas melihat anaknya bisa makan dengan baik dan lahap, apa pun yang ingin dimakan anaknya, dia bisa memberikan semuanya. Untuk itulah dia bekerja keras selama ini.

"Mungkin mama akan terlambat hari ini, Laura," tukas Pipit tanpa menatap anaknya. "Kalau sempat, mama yang akan menjemput kamu. Tapi kalau tidak, mama akan mengirim supir," lanjut Pipit.

Laura menghentikan suapannya, dia kembali meletakkan sendok yang dia pegang di piring. Gadis itu mengangguk sekali. "Ya, ma," katanya patuh tanpa ekspresi.

"Belajar yang benar, dapatkan nilai tertinggi. Kalau sudah selesai, ayo kita berangkat. Biar mama yang antar," kata Pipit yang telah menyelesaikan makannya terlebih dahulu.

Laura menggeser kursinya, menyampirkan tas yang sengaja dia taruh di kursi sebelah ke pundaknya. "Laura sudah siap, ma," kata gadis itu.

Sang ibu melirik makanan yang masih tersisa di piring anaknya. "Kamu sudah kenyang?" tanya wanita itu tanpa memperlihatkan kekhawatirannya, padahal dia sangat khawatir kalau-kalau anaknya lapar saat pelajaran dimulai nanti.

"Ya!" balas Laura singkat.

"Bawa roti beberapa potong, ya?" tanya Pipit yang terdengar seperti perintah di telinga Laura.

Laura tak menjawab, dia hanya mengangguk pelan. Apa yang dikatakan ibunya, itulah yang harus dia lakukan. Tak ada sedikit pun niat Laura untuk menolak. Semua perkataan ibunya adalah suatu keharusan bagi gadis itu. Itu lah yang tertanam di dalam otak kecil Laura dan dia yakini dengan sangat.

Setelah menerima bekal yang dibuatkan secara dadakan oleh pelayan, Laura menyusul sang ibu yang sudah lebih dulu ke mobil tadi. Gadis itu duduk dengan tenang, tanpa membuka mulutnya. Laura terus diam hingga sampai ke sekolahnya.

"Laura pergi dulu, ma," kata gadis itu saat hendak turun dari mobil.

Pipit mengangguk singkat. "Jangan nakal dan jangan lupa makan roti yang dibawakan tadi," kata sang ibu mengingatkan. Giliran Laura yang mengangguk kini. Gadis itu pun berjalan memasuki gerbang sekolahnya dan menghilang setelah cukup jauh masuk. Pipit kembali menjalankan mobilnya setelah matanya tak bisa lagi menangkap sosok anaknya yang berjalan di antara kerumunan teman-teman sebayanya. "Semoga harimu menyenangkan, nak!" gumam wanita itu, berharap apa yang dia katakan menjadi kenyataan.

Di kelas, tak ada yang mendekati Laura. Makanya Laura cukup betah belajar di kelasnya. "Pagi, Laura. Apa kabar?" sapaan ceria dari seorang teman sekelasnya yang Laura lupa kalau dia memiliki teman yang seperti ini.

"Pagi! Baik!" balas Laura singkat.

"Lihat itu?" celetuk Windy tiba-tiba dari belakang Zahrah. "Udah aku bilang ga usah disapa, Rah!" tukas gadis itu lagi.

"Tahu, nih. Si Zahrah, rajin amat nyapa!" timpal Rani menambahkan. "Ada temen yang bisa disapa, ada juga temen yang harusnya ga usah disapa aja, Rah!" kata gadis itu sambil melirik Laura yang tampak tak peduli pada ocehan keduanya.

"Kalian berdua ngomong apaan, sih?" tukas Zahrah merasa tak enak kepada Laura. "Semua teman itu harus disapa, tahu!" kata gadis itu. "Ya kan, Laura?" Zahrah menatap Laura sambil tersenyum.

Laura hendak membuka mulutnya, menjawab sesuai keinginan hatinya. Tapi tak jadi, gadis itu kembali menutup mulutnya dan tertunduk. "Terserah," katanya singkat kemudian kembali membenamkan diri ke dalam bacaan yang sejak tadi dia baca.

Kedua teman Zahrah sangat kesal, mereka menyeret Zahrah untuk menjauh dari sana. Bahkan mereka berdua menyuruh Zahrah untuk tidak perlu lagi repot-repot menyapa gadis penyendiri yang gila belajar itu. Zahrah terus menatap Laura, dia hanya ingin berkawan dan bermain bersama. Dia saja yang melihat Laura terus belajar merasa lelah, apa lagi Laura yang terus melakukannya selama ini. Pasti lebih dari pada kata lelah yang gadis itu rasakan.

...°°°°°...

...══════❖•ೋ° °ೋ•❖══════...

Terpopuler

Comments

Sri Astuti

Sri Astuti

senyatanya Laura butuh teman yg peduli dan benar" tulus.. semoga Zahra temsn yg spt itu

2022-10-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!