Sesampainya di rumah, Laura disuruh duduk di depan meja belajarnya. Rentetan omelan ibunya akan dimulai sesaat lagi. "Apa ini, Laura? Apa?" tanya sang ibu sembari memegang raport Laura.
"Nilai-nilai laura, ma," jawab gadis itu pelan tapi terdengar dengan jelas.
"Dan kamu pasti tahu kan, kalau ini saja tak cukup untuk membuat orang-orang itu tutup mulut tentang kita, Laura!" kata sang ibu sedikit menaikkan volume suaranya.
Laura mengangguk lemah, tanpa menjawab. Dia hapal kalau apa pun yang dia katakan tak akan membuat keluhan ibunya berkurang. Jadi dia hanya harus mendengarkan saja semua ucapan ibunya dengan baik tanpa melewatkan satu kata pun.
Dua jam berlalu, Laura masih duduk di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun dari sana. Gadis itu selalu mendengarkan dan menjawab perkataan ibunya kalau memang diperlukan. "Jadi kamu tak keberatan dengan kelas yang lebih disiplin kan, Laura?" tanya sang ibu mengakhiri ceramah panjangnya pada sang anak.
Laura mengangguk cepat. "Laura akan melakukan yang terbaik, ma!" kata anak itu patuh.
Senyum tipis tercetak di wajah Pipit, dia puas dengan jawaban yang anaknya berikan. "Bagus, kamu tak boleh bergerak dari meja belajar kamu kecuali untuk tidur, makan, dan ke kamar mandi!" titah Pipit tak peduli. "Kalau perlu mama akan mengikat kaki kamu agar kamu tak bisa ke mana-mana selama belajar," lanjut wanita itu.
Laura menatap hampa tanpa ekspresi apa pun, anak itu hanya mengangguk menuruti apa pun tuntutan ibunya. "Tenang saja, akan ada pelayan yang membantu semua urusan kamu yang lainnya," kata Pipit lagi. "Kamu tak masalah dengan ini, kan? Sayang!" tambah wanita itu dengan tatapan penuh ambisi. Dia tak suka dihina. Dia benci dikatai sebagai janda yang tak bisa mendidik anaknya. Dia muak selalu dibandingkan dan dipaksa untuk berkeluarga lagi. Apa ada jaminan kalau dia menikah lagi anaknya bisa menjadi lebih baik, lebih pintar, dan mereka tak lagi dikhianati. Tak ada jaminan pasti, jadi lebih baik dia menjalani hidupnya bersama dengan anaknya saja. Meski dengan peraturan yang keras, asal mereka berdua bisa menutup mulut orang-orang yang tahunya hanya melihat dan mencemooh saja. Itu sudah cukup bagi Pipit.
Laura kembali mengangguk patuh. "Laura akan selalu menuruti keinginan mama," kata anak itu menjawab seperti robot yang memang sudah diprogram untuk patuh pada semua tuntutan pemiliknya.
Pipit tertawa kecil, tawa yang tak berarti apa-apa untuk Laura, karena tawa itu tak tulus dan bukan untuk dirinya. "Sekarang mulai belajar, sayang!" kata Pipit mengumbar senyum. manis penuh paksaan. Wanita itu telah membekukan hatinya, dia tak bisa lagi menyayangi seseorang dengan sepenuh hati seperti dulu. Bahkan jika itu anak kandungnya sendiri pun dia tak bisa mencurahkan kasih sayang sesuka hatinya.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Selepas ibunya pergi, Laura menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi seraya memejamkan mata dengan erat. Gadis itu berkali-kali menghela napas panjang dengan tenang. Tak lama, kedua mata berwarna hitam legam itu kembali terlihat. Laura beranjak berdiri dan mengumpulkan lembaran raportnya yang tadi dilempar oleh ibunya. "Benar kata mama, aku harusnya tak malas belajar," gumam anak itu menatap kosong kertas-kertas berisi nilai yang telah dia kumpulkan barusan. Di sana, Di kertas itu, tertera tulisan bercetak tebal, kalau orang yang bersangkutan mendapat peringkat pertama di kelas dan peringkat ke dua tingkat nasional.
Laura sebagai pemilik raport malah mengatakan kalau dia kurang belajar. Sungguh didikan yang kejam dari ibunya meresap dengan sempurna, bukan hanya di otak saja, tapi sudah sampai ke sum-sum dan darah gadis itu sendiri. Tuntutan ibunya untuk menjadi sempurna, menjadi yang pertama. Membuat Laura merasa kalau nilainya masih kurang. Kalau dia berusaha, dia akan bisa mendapatkan tempat pertama dengan gampangnya. Tapi sekarang dia malah menempati tempat kedua saja. Pantas saja kalau ibunya kecewa padanya.
"Aku terlalu buruk," kata gadis itu lagi menghakimi dirinya sendiri, mengatai kalau dia anak yang buruk yang tak bisa memberikan hasil terbaik dari usaha yang sudah dia lakukan selama ini.
Laura kembali duduk di depan meja belajarnya, dia mulai membuka buku dan terlihat sangat fokus membaca. Gadis remaja yang baru berusia lima belas tahun itu membenamkan dirinya di lautan ilmu tanpa mengenal kata lelah. Padahal biasanya, anak seumuran Laura, pasti lebih suka bermain bersama temannya yang seumuran dan berbagi cerita lucu mengenai apa pun yang mereka anggap seru. Tapi jangankan bercerita, memiliki teman saja Laura tak punya.
Sekian lama belajar tanpa tahu waktu, pintu kamar Laura diketuk dari luar. "Apa saya boleh masuk, nona?" tanya suara dari arah luar terdengar lembut dan sopan.
"Masuk saja, tak dikunci," balas Laura tanpa menoleh. Tatapan matanya masih saja fokus pada buku tebal yang ada di tangannya.
"Sebaiknya anda makan dulu, nona," ujar pemilik suara tadi yang sepertinya adalah pelayan di kediaman Laura.
"Sedikit lagi, bi," jawab Laura lagi-lagi tanpa menoleh.
"Saya tahu kalau nyonya lebih keras dari pada orang tua yang lainnya, tapi nyonya melakukan itu agar nona muda bisa bertahan di dunia yang kejam ini, nona," bujuk si bibi pelayan takut kalau nona mudanya merasa tertekan karena terlalu dituntut menjalani sesuatu yang tak anak itu inginkan.
"Saya tak apa, bi. Semua yang mama katakan selalu benar, jadi saya hanya perlu menuruti semuanya dengan baik seperti yang selama ini saya lakukan," balas Laura tersenyum, tetapi senyumnya tak memancarkan ekspresi apa pun di matanya. Tatapan mata itu tetap kosong seolah tak ada hal lain yang lebih penting selain memahami deretan rumus, angka, penjelasan, keterangan, rangkaian deskripsi, dan semua hal yang menyangkut pelajaran.
Si pelayan menatap iba nona kecilnya. Baginya, majikan kecilnya itu hanyalah anak korban perceraian yang selalu ditekan dan dituntut untuk menjadi sempurna agar kedua ibu dan anak itu tak bisa dihina oleh orang lain. Tapi sang nyonya terlalu keras, tak ada istirahat atau liburan untuk nonanya meski saat liburan tiba.Yang nona mereka tahu hanyalah, belajar, belajar, dan belajar di semua waktu yang gadis itu miliki selain untuk tidur, makan, dan ke kamar mandi.
"Nona kecilku yang cantik dan baik hati, nona harus makan agar tetap sehat," kata si pelayan seraya tersenyum hangat. "Kalau nona sehat, nona akan lebih mudah memahami pelajaran. Sesulit apa pun soal yang nonaku ini kerjakan," bujuk si bibi dengan pelan. "Makanya nona mau, ya, makan? Meski sedikit saja juga tak apa?" tambah pelayan tua itu.
Laura mendongak, terlihat berpikir sesaat sebelum dia menganggukkan kepalanya. Meski sangat kentara kalau gadis itu sedikit ragu dengan keputusannya saat ini. Tapi si pelayan sudah cukup senang nona kecilnya mau mengisi perutnya yang sejak pulang tadi belum diisi apa pun hingga saat ini.
...°°°°°...
...══════❖•ೋ° °ೋ•❖══════...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Sri Astuti
semoga di kehidupan nyata ibu" tak berlaku buruk thdp anak" krn abisinya
2022-10-15
0