"Kamu kenapa, nak?" tanya guru yang sejak tadi memperhatikan Laura. Laura mendongak, lalu tersenyum tipis dengan paksa. Dia menggelengkan kepalanya, sedikit terkejut ternyata guru lesnya sudah berdiri di mejanya.
Tangan sang guru perlahan terulur, menyentuh dahi Laura dengan pelan. "Ya Tuhan, kamu panas sekali, nak!" kata si guru membelalakkan matanya, kaget karena salah satu muridnya tetap turun meski sedang sakit.
"Kamu harus pulang ke rumah dan beristirahat, nak!" kata wanita itu lagi. Dia menarik tangannya lalu mengambil ponselnya dari saku bajunya.
"Sebentar ibu telepon orang tua kamu dulu!" katanya lagi dengan nada cemas. Sedikit takut kalau dia yang akan disalahkan jika seandainya keadaan anak didiknya yang sedang sakit di depannya ini menjadi lebih buruk lagi.
Laura menggapai pelan lengan gurunya. Kepala gadis itu menggeleng sangat-sangat pelan. "Saya tak apa, bu ...," katanya teramat lirih. "Saya hanya merasa sedikit sakit kepala, sebentar lagi juga baikan, bu," lanjut Laura tersenyum sangat tipis.
"Tapi ...," si guru ingin menyangkal, tapi tak tega melihat tatapan Laura. Akhirnya si guru pun mengalah, wanita itu tersenyum seraya menepuk pelan pundak Laura. "Belajar memang bagus, Laura. Namun, kesehatan kamu juga lebih penting!" katanya lembut, terdengar sangat hangat di telinga Laura yang lama tak mendengar suara rendah penuh kasih sayang seperti barusan.
"Hanya kali ini ibu membiarkannya!" katanya mengingatkan. "Lain kali, ibu akan menyuruh kamu pulang meski kamu memohon dengan sangat seperti barusan," lanjut wanita itu. Setelahnya dia kembali ke depan dan mulai menjelaskan kembali pelajaran yang tadi sempat tertunda.
Rupanya guru itu salah mengira, dia mengira kalau Laura tak bersedia pulang karena sangat ingin menghadiri kelas. Nyatanya, gadis itu hanya tak ingin melihat wajah kecewa yang akan ibunya perlihatkan padanya saat dia dipulangkan. Lebih baik dia menahan sakit selama beberapa saat, dari pada dia harus melihat tatapan putus asa sang ibu yang menatap dirinya seperti barang cacat yang tak ada gunanya sama sekali.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Beberapa bulan berlalu, tak terasa waktu pembagian raport telah tiba di depan mata. Hanya tinggal menunggu hari dan semua kerja keras mereka akan tercatat di selembar kertas yang akan dibagikan nanti.
Kalau ditanya bagaimana perasaan Laura, jelas gadis itu tak merasakan apa-apa. Dia.hanya berharap kalau nilainya cukup untuk membuat sang ibu tersenyum dan memeluknya meski hanya sesaat.
Giliran Laura dipanggil, Laura dan ibunya pun maju ke depan, berhadapan dengan wali kelas Laura. "Selamat, bu. Laura mendapatkan nilai yang sangat bagus, semua nilainya melebihi KKM!" kata si wali kelas dengan nada bangga, senyum lebar tak lepas dari bibirnya. Dia senang mendapatkan murid yang pintar dan tak berulah seperti Laura. Seandainya saja semua murid seperti ini, pasti sekolahan akan aman, mengajar pun menjadi lebih mudah pastinya.
Ibu Laura hanya mengangguk, wanita itu mulai membuka-buka dan melihat nilai-nilai yang didapatkan anaknya. "Dua?" lirih sang ibu seraya melirik singkat anaknya.
"Ya?" tanya si wali kelas tak terlalu mendengar ucapan orang tua salah satu muridnya ini.
Pipit, ibunya Laura pun mendongak lalu tersenyum kecil. "Bukan apa-apa," katanya ramah, tapi tetap terkesan dingin dan hanya seperti bentuk sopan santun saja. "Terima kasih sudah mendidik anak saya," kata Pipit lagi. "Kalau begitu saya permisi, sekali lagi terima kasih, bu," lanjut wanita itu kemudian berdiri dari duduknya.
Laura menghela napas pelan, dari tatapan ibunya saja dia tahu bahwa sang ibu masih merasa kurang dengan apa yang dia capai sekarang. Akan ada lebih banyak jadwal baru yang dibuatkan ibunya untuk memenuhi ambisi sang ibu nantinya.
"Ra, sore jalan-jalan, yuk!" ajak teman sekelas Laura tiba-tiba.
Laura menghentikan langkahnya, menggeleng pelan menolak ajakan kawannya barusan. "Aku gak bisa!" kata gadis itu singkat. Setelahnya, dia berlalu pergi begitu saja.
"Astaga, lihat itu!" celetuk salah satu gadis yang berdiri di sisi orang yang tadi mengajak Laura jalan-jalan. "Dia terlalu dingin untuk didekati, Zahrah!" lanjut gadis itu mendengus kesal karena Laura selalu menolak ajakan kawan mereka ini.
Zahrah tersenyum tipis. "Mungkin Laura ada acara dengan ibunya," kata gadis itu berpikiran positif. "Kamu gak boleh bilang gitu tentang teman kita!" katanya mengingatkan temannya.
"Laura bukan temen kita, Rah!" sanggah Rina cemberut. "Main bareng aja gak pernah!" gerutu gadis itu sedikit banyak kesal dengan Laura yang terlalu penyendiri.
"Jangankan main, ngobrol aja gak pernah dia bareng kita-kita!" tambah yang lain dengan cepat.
"Betul itu, kata Windy!" timpal Rina penuh semangat. "Laura terlalu kaku, Rah!" katanya lagi dengan nada tegas.
"Gak boleh gitu, tahu!" sela Zahrah dengan pelan. "Ngomongin orang di belakang itu dosa!" kata gadis itu lagi.
"Kalau begitu, besok-besok aku bakalan ngomong di depan Laura kalau ketemu dia!" tukas Rani penuh tekad. Dia tak mau terkena dosa, tapi dia juga tak bisa menahan bibirnya untuk menilai kawannya yang terlalu pendiam dan kaku itu.
"Lagian, Rah, Rah. Kamu belain dia sampai segitunya, udah syukur kalau dia inget kalau kamu itu temen sekelasnya, Rah!" timpal Windy sedikit banyak menusuk sudut hati Zahrah.
Hening sesaat, suasana canggung menggantung pun tercipta. "Ha-ha-ha, kau ngomong apa, sih, Win?" tukas Rani tertawa canggung. "Hanya orang bodoh yang gak tahu mana teman sekelasnya dan mana yang bukan!" lanjutnya lagi seraya menatap Windy agar tak berbicara seperti barusan lagi kalau di depan kawan mereka yang baik hati ini.
"Iya juga, ya," timpal Windy ikutan tertawa kosong. "Lagian si Laura pinter, kok. Masa iya gak tahu kalau kita-kita ini satu kelas sama dia, ya kan?" tambah gadis itu. Rani mengangguk cepat, berharap kawannya tak lagi memikirkan ucapan Windy yang tadi.
"Ayo kita balik, nanti kita ketemu lagi di jam yang udah kita sepakati," ujar Zahrah seraya tersenyum tipis. Kedua kawannya yang lain mengangguk serempak, mereka berpisah dan pulang ke rumah masing-masing bersama dengan orang tua mereka.
Di sisi lain, di dalam mobil Pipit. Ibu dan anak itu sama-sama diam, tak ada yang memulai percakapan. Bahkan Laura duduk seperti robot atau payung yang tak bergerak sama sekali. "Kamu sudah lihat raport kamu, Laura?" tanya sang ibu dengan nada datar. Supir di depan sudah terbiasa dengan hal tersebut, jadi dia tetap fokus menyetir tanpa mau mencuri dengar percakapan ibu-anak tersebut.
"Kamu mengecewakan!" dengus Pipit menatap kecewa anaknya.
"Maaf, ma. Laura akan lebih berusaha!" kata gadis itu membuka mulutnya.
Laura tahu kalau ini tak akan berhenti di sana, semua akan berlanjut sampai mereka tiba di rumah dan dirinya mendapat omelan yang lebih panjang lagi.
...°°°°°...
...══════❖•ೋ° °ೋ•❖══════...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Sri Astuti
sedih ya jd Laura.. standar mama terlalu tinggi.. sementara teman" jg pasti hsnya bisa menghakimi
2022-10-14
1
Sri Astuti
seorang guru yg bijak dan prnuh perhatian
2022-10-14
1