Mey berusaha membangunkan sahabatnya yang ketiduran di rumah kontrakan Elvan yang bersebelahan dengan rumah kontrakannya.
Mey menatap Kasih yang engan membuka mata. Dia tahu jika sahabat terbaiknya itu sejak tadi mendengarkan semua yang dia ucapkan. Mey untuk saat ini hanya bisa memberi dukungan atas masalah baru yang dihadapi oleh sang sahabat.
"Ka, sudah malam loh. Apa kamu akan tetap seperti ini?" Mey berusaha membujuk agar Kasih terhenyak dari tidurnya dengan wajah sembab.
"Apakah aku harus bahagia atau sedih Mey? Dua perasaan tersebut tidak dapat aku pilih. El, aku sangat membutuhkan El sekarang! Namun itu sangat tak mungkin, mengingat El bukanlah El ku yang terdahulu." Suara lirihan Kasih justru menggambarkan suasana hatinya saat ini. Sebagai sahabat Mey merangkul seraya menguatkan, dan membisikan sesuatu yang dapat membantu mengobati sedikit saja rasa yang dirasakan Kasih saat ini.
Kasih memeluk Mey. "Sudah, sudah. Kamu tidak boleh seperti ini, bukan karena aku sok tahu, namun jalannya sudah seperti ini," ucap Mey, ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu.
Kasih mengangguk, seiringan bulir bening kembali bergulir dengan ritme lambat.
Mey menghapus jejak-jejak air mata itu, membawa Kasih kembali ke rumah kontrakannya. Tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Kasih memilih membersihkan diri, sementara Mey menunggu di meja makan.
Tidak menunggu lama, Kasih sudah rapi dengan pakaian tidurnya, menghampiri Mey yang tengah melamun di meja makan.
"Hei, buat aku kaget saja!" seru Mey sontak kaget melihat sosok Kasih yang tengah duduk berhadapan dengannya, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Kasih memutar bola matanya dengan malas, seraya meraih piring. "Kamu saja yang asik melamun, sejak tadi aku berdehem, namun tak membuat lamunan indah mu itu terganggu."
"Benarkah? Ya, aku tadi sempat mengingat kejadian di kantor," ucap Mey tanpa sadar.
"Kejadian apa?"
Mata Mey membulat, segera mengatup mulutnya. Kemudian dia mengalihkan pertanyaan Kasih dengan menyendok nasi ke dalam piringnya.
"Mey!" seru Kasih seperti menekankan.
"Kita makan dulu ya? Nanti akan aku ceritakan. Pokoknya kamu harus makan banyak karena aku tahu kamu melewati makan siang."
Bukannya memasukan makanan ke dalam mulutnya, Kasih malah melamun dengan tatapan sendu ke menu makanan yang paling di sukai Elvan. Itu makanan yang tadi pagi dia masak, untuk makan malam Elvan yang bisa di panaskan lagi.
Mey memejamkan mata sejenak, seakan paham dengan apa yang sedang dipikirkan Kasih. Mey tahu jika itu makanan yang paling di sukai Elvan karena Kasih sendiri yang pernah tempo hari memberitahukan.
"Ka, ayo makan nanti nasinya marah loh karena di lihatin melulu." Mey berusaha membuat sahabatnya itu kembali ceria, namun kali ini tidak mudah mengembalikan kebiasaannya itu.
"Aku tahu bahwa sekarang makanan seperti ini tak akan kamu temui lagi di meja makan milikmu El. Pagi tadi adalah terakhir kali kamu memakan makanan yang aku masak," lirih Kasih dengan tatapan tanpa ekspresi.
"Kamu benar-benar mencintai Elvan. Tapi kita tidak bisa melawan takdir Ka. Elvan tak pernah ada," Batin Mey ikut merasakan sesak.
Mereka makan dalam suasana hening, sangat berbeda dari yang sudah-sudah. Elvan yang biasanya bercerita di tengah makan, kini tinggal kenangan saja. Baik Kasih maupun Mey memilih diam, tidak ingin membuat selera makan mereka hilang.
"Biar aku saja yang bersihkan. Kamu tunggu aku di ruang televisi," ucap Mey seraya menghentikan gerakan Kasih yang ingin membereskan meja makan.
Kasih menghela nafas karena tidak diberi waktu untuk menghindar. Mey merampas begitu saja piring kotornya, kemudian membawanya ke wastafel untuk dibersihkan. Mau tidak mau Kasih menurut, memilih meninggalkan dapur.
Di ruang televisi yang menjadi ruang utama, Kasih mendudukkan dirinya dengan tatapan di layar televisi mini. Di sana tayangan drama Korea yang biasanya dia tonton, namun kali ini rasanya hambar tanpa sedikitpun terbawa perasaan seperti biasanya.
"Ceritakan apa yang terjadi di kantor setelah aku pulang," tanya Kasih ketika menyadari kedatangan Mey yang baru saja ingin mendudukkan dirinya, namun dia urungkan ketika mendengar pertanyaan Kasih. "Mey, apa kamu dengar?" imbuhnya tanpa sabar, entah kenapa rasa penasaran itu sangat besar.
Mey hanya bisa menghela nafas, baru saja ingin duduk sudah diserbu pertanyaan yang tentu nantinya membuat Kasih sesak.
"Aku dengar, tapi sabar dulu, sahut Mey.
Kasih kembali mengalihkan tatapannya ke layar televisi, di mana di sana sepasang kekasih sedang berkencan begitu romantis.
" Kenapa di matikan?" protes Mey ketika pada saat adegan yang dapat menggetarkan jantung siapapun itu di sensor dengan seiringan matinya televisi.
Kasih menghembuskan nafas kesalnya seraya menyadarkan tubuhnya di kursi yang terbuat dari bahan rotan. "Bagaimana reaksi Elvan pada saat itu?" tanya Kasih dengan nada begitu rendah, sampai-sampai sulit di dengar.
Mey diam sejenak dengan ke-dua bola matanya bergerak sana sini. Berusaha untuk menceritakan dari mana dulu karena dia juga tidak tahu banyak itupun hanya mendengar cerita dari rekan-rekan kerjanya.
"Elvan, eh maksudku Pak Raja sama sekali tidak mengenal ke-dua orang tuanya, walau beliau menyakinkan Pak Raja bahwa mereka adalah orang tuanya. Pak Raja berusaha mengingatnya, namun tiba-tiba tidak sadarkan diri, dan pada akhirnya di bawa ke rumah sakit. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi." Cerita Mey seperti yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Apa, Elvan pingsan?" sontak saja Kasih kaget, bahkan raut wajah khawatirnya begitu tentara.
Mey mengangguk
"Bagaimana keadaan Elvan sekarang?" lirihnya.
"Seharusnya tadi kamu jangan pergi begitu saja. Seharusnya kamu menjelaskan apa yang dialami Pak Raja," ucap Mey tidak setuju dengan tindakan Kasih yang pergi begitu saja, sebelum ada yang menyadari bahwa Elvan datang ke kantor bersama dengan Kasih.
Kasih menggeleng, entah kenapa dia menghindar. Apa yang dikatakan Mey ada benarnya, namun ada yang mengganjal dalma hatinya. "Tolong jangan bilang kepada siapapun, bahwa aku dan Elvan punya hubungan khusus.
" Termasuk ke-dua orang tuanya?"
Kasih mengangguk. "Iya Mey," sahut Kasih tak semangat dengan pandangan di atas langit-langit di ruangan sempit itu. "Terus kamu tahu dari mana bahwa status Elvan adalah calon suami orang?" tanyanya kembali dengan lidah keluh, sebenernya dia tidak ingin tahu, namun rasa penasaran itu sngat kuat. Siap tidak siap dia harus dapat menerima apapun kenyataannya.
Mey menarik nafas, pertanyaan ini cukup sulit untuk di ucapkan. "Tadi aku tidak sengaja mendengar cerita para karyawan yang sudah lama bekerja di sana. Pak Raja adalah tunangan dari putri pemilik perusahaan Gemilang Jaya." Mey berkata penuh kehati-hatian tanpa melepaskan tatapannya kepada Kasih, sementara orang yang ditatap hanya bisa menunduk dengan raut wajah begitu sedih.
Kasih mengangguk-anggukan kepala. Berusaha tegar dan menerima dengan lapang dada dengan kenyataan yang sebenarnya.
"Seharusnya aku bersyukur, Evan telah dipertemukan dengan keluarganya. Selama ini dia sudah menderita banyak, hidup dalam kesusahan. Tentu saja baginya sulit untuk hidup dengan terbiasa, serba kekurangan, namun karena mengalami amnesia dia tidak mempersalahkan semua itu. Pak Raja bukanlah Elvan yang ku kenal!" Kasih memutuskan untuk dapat melupakan semuanya. "Mey mulai malam ini aku tinggal di rumah yang disewakan Elvan, sangat sayang bukan jika tidak di tinggalkan? Sementara sudah dibayar."
Mey yang kaget hanya bisa mengangguk saja, mungkin saja Kasih ingin menenangkan diri. Untuk itu Mey menyetujuinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments