Setelah seluruh rangkaian pertandingan basket berakhir, Jehan yang memang sudah menyelesaikan tugasnya pun berniat untuk kembali menuju ruang UKS. Bukan tanpa sebab, hanya saja ia ingin menilik kondisi gadis yang tadi sempat pingsan.
Dengan langkah yang terlihat terburu-buru, akhirnya Jehan bisa juga menjangkau ruang UKS. Baru mau mengetuk dan masuk, gadis yang masih mengenakan jaket biru miliknya itu pun melangkah keluar. Mendapati dia yang ternyata sudah siuman dan kelihatan mulai membaik, sanggup memberikan rasa lega dalam diri Jehan.
Meskipun belum mengenal gadis itu secara benar, namun sebagai sesama manusia sangat wajar bagi seorang Jehan merasa khawatir ketika melihat ada seseorang yang terluka seperti itu. Rasa kemanusiaan yang berhasil menggerakkan hatinya untuk memberikan bantuan. Setiap manusia memiliki rasa khawatir dan itu tidak melulu harus ke orang terdekat.
"Hai?" Sapa Jehan kedengaran sedikit canggung dan gugup.
Mendengar sapaan seperti itu hanya berhasil membuat gadis yang baru saja siuman tersenyum tipis tanpa memberikan balasan balik.
"Gimana keadaannya? Apa sudah lebih baik?" Tanya Jehan ingin tahu lebih lagi mengenai keadaan dari gadis itu.
"Aku sudah baik-baik saja," jawab gadis itu dengan suara masih malu-malu.
Hanya untuk menghilangkan kecanggungan yang masih terasa begitu hebat ini, Jehan pun berinisiatif mengulurkan tangan dengan harapan kalau gadis itu mau menjabatnya. Iya, Jehan ingin mengajak dirinya berkenalan. Siapa tahu kalau sudah memberitahu nama masing-masing jadi bisa meredakan rasa canggung itu.
"Jehan," katanya sambil tersenyum, memperkenalkan nama yang memang sudah tidak asing bagi sekolah ini.
Setelah memperkenalkan dirinya, Jehan sekarang benar-benar berharap kalau gadis itu mau ikut memberitahu namanya dan juga tak ragu untuk menjawab tangan yang masih terulur ini.
"Kayla," ucap gadis itu memberitahu namanya tanpa harus menjabat ukuran tangan yang diberikan oleh Jehan.
Setelah memperkenalkan dirinya dengan cara yang singkat dan terkesan sederhana, gadis pemilik nama Kayla itu pun mulai melangkahkan kakinya, berlalu begitu saja dari hadapan Jehan.
Jujur saja, sebenarnya Jehan masih mau berbincang dengan gadis itu. Mempertanyakan banyak hal yang ingin dia ketahui, tapi karena Kayla lebih memilih untuk pergi terlebih dahulu, Jehan mau tidak mau harus membiarkannya tanpa memiliki hak apapun untuk mencegah.
Sambil terus menatap ke arah Kayla yang kini sudah semakin menjauh dari jangkauan, Jehan benar-benar sudah membiarkan gadis itu pergi. Untuk sekarang hanya punggung dari Kayla yang bisa didapatkannya.
.
.
.
Tak berselang lama setelah kepergian dari Kayla, ponsel yang ada di saku milik Jehan tiba-tiba berdering. Entah siapa yang menghubungi, tapi ia merasa harus menjawabnya.
Tanpa melihat nama si pemanggil yang tertera pada layar ponsel, Jehan dengan segera menjawab panggilan. Enggan untuk membuat orang itu menunggu terlalu lama di balik nada sambung yang tak kunjung usai.
Belum sempat bagi Jehan untuk memberikan sapaan atau hal lain, ia sudah mendengar terlebih dahulu suara maskulin dari seorang lelaki yang rasanya cukup familiar di telinga. Penasaran? Tentu saja tidak. Tanpa mempertanyakan apapun, Jehan sudah bisa tahu kalau panggilan ini berasal dari Skyler — saudara jauh yang dianggap olehnya seperti kakak sendiri.
Entah apa yang diinginkan oleh sang kakak, Jehan hanya selalu suka untuk menggodanya. Setiap ada kesempatan, ia selalu saja bermain bersama Skyler. Membuat sang kakak marah dan mengomel sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi Jehan.
"Kenapa menghubungiku? Bukankah kakak tahu kalau aku paling gak suka menerima panggilan dari kakak?" Kata Jehan tidak bermaksud untuk serius.
"Apa kamu bersungguh-sungguh dengan ucapan sendiri? Kenapa aku justru merasa kalau kamu sedang merasa senang karena panggilan ini?" Bukan Skyler namanya kalau tidak narsis terlebih dahulu. Lelaki itu memang sangat amat mengagumi dirinya sendiri. Merasa kalau dirinya begitu hebat dan bisa melakukan segala hal lainnya dengan benar. Dia membuat pengakuan terhadap kehebatan dirinya sendiri sesuatu pada fakta yang ada. Siapapun yang mengenal Skyler pasti tahu kalau dia adalah seorang dokter hebat yang mampu melakukan segala hal.
"Sudah berapa kali aku minta untuk tidak terlalu berlebihan menunjukan rasa percaya diri?" Protes Jehan sedikit muak akan sikap narsis yang dimiliki oleh sang kakak.
Tak ingin terlalu menanggapi akan hal seperti itu, Skyler pun mulai mengatakan tujuan dari panggilannya. Tenang saja, ini tidak akan menjadi sebuah panggilan iseng semata. Lagipula Skyler bukan Jehan yang sukanya berbuat iseng.
"Nanti malam, apa kamu mau datang ke apartemen kakak mu ini?" Tanya Skyler terdengar seperti sebuah ajakan.
"Kenapa? Apa Kakak mau mengajakku untuk minum-minum?" Jehan bertanya hanya berniat memastikan saja akan dugaannya.
"Iya. Seperti biasanya," jawab Skyler dengan mudah, tanpa mengingat kalau adiknya itu baru berusia 18 tahun.
"Aku tidak bisa. Berapa kali harus aku ingatkan? Usiaku belum legal untuk mengikuti gaya hidup laki-laki dewasa," ujar Jehan yang dengan jelas pasti menolak.
"Kakak mengajakmu hanya untuk dijadikan teman minum. Kamu tahu kan kalau di apartemen juga ada minuman bersoda yang bisa kamu nikmati?" Kata Skyler benar-benar ingin mengajak adiknya itu minum bersama.
"Apa malam ini Kak Thari tidak pulang ke rumah?" Tanya Jehan hanya bermaksud untuk mencari tahu alasan dari ajakan sang kakak. Selama mengenal sosok Skyler, dia bukan tipe orang yang main asal ajak tanpa ada alasan.
"Malam ini dia tidak pulang. Pekerjaan yang membuatnya harus tetap berada di rumah sakit. Tidakkah kamu tahu, kalau kakakmu ini paling benci dengan namanya kesepian?" Kata Skyler kedengaran seperti seseorang yang sedang merajuk.
"Jadi mengundangku minum, hanya untuk menemani disaat Kak Thari sedang tidak ada di rumah?" Jehan sekarang tahu alasan dibalik ajakan dari Skyler ini.
"Benar. Bisakah kamu datang kesini?"
"Berikan aku beberapa uang untuk membeli minuman dingin. Hari ini aku sedang tidak ingin menikmati minuman bersoda yang ada di apartemen kakak," ucap Jehan memutuskan datang menemui Skyler di apartemennya.
"Tentu saja. Aku akan mentransferkan sejumlah uang ke dompet digital mu. Jangan khawatir soal itu! Silahkan beli minuman yang kamu sukai," tukas Skyler yang kemudian langsung mengakhiri panggilan ini secara sepihak.
...•••...
Sebenarnya sore ini Jehan juga memiliki jadwal penting untuk menghadiri sebuah bimbingan belajar rutin, tapi karena rasa keinginannya dalam hal menemani sang kakak, mampu membuat Jehan lebih ingin absen dari jadwal itu.
Dengan langkahnya yang sudah terburu-buru, Jehan pun datang mengunjungi salah satu minimarket yang berada tak jauh dari lokasi gedung apartemen tempat sang kakak tinggal. Karena kemungkinan akan lama, Jehan juga telah meminta sang sopir untuk pergi meninggalkannya.
Ketika Jehan masuk ke minimarket itu, hal pertama yang langsung dilihat oleh kedua matanya adalah sosok Kayla yang kini sedang berdiri di dalam meja kasir sambil melayani salah seorang pembeli.
Saat mendapati gadis itu yang ternyata juga menjadi pekerja paruh waktu di minimarket ini, bisa dibilang Jehan juga terkejut. Tak menduga kalau mereka bisa bertemu kembali di luar sekolah seperti sekarang yang tengah terjadi.
Mereka memang sudah berkenalan satu sama lain. Saling memberitahu nama juga, tapi entah kenapa Jehan masih kelihatan canggung. Terlihat jelas dari gerak-gerik dan cara dia berjalan ke arah kulkas minuman.
Jehan memang sudah melihat Kayla, tapi untuk sebaliknya tidak seperti itu. Karena saking sibuk memberikan pelayanan kepada orang yang ingin membayar, Kayla tidak menyadari soal kehadiran sosok laki-laki yang selalu saja memberikan bantuan. Kayla baru sadar, pada saat Jehan sudah ingin membayar tagihan untuk minuman dingin yang dibelinya.
"Hai," sapa Jehan terlebih dahulu dengan gugup.
Melihat sosok Jehan yang ada disini, mampu membuat Kayla terdiam sejenak, sambil kedua matanya terus saja membelalak lebar. Entah kebetulan macam apa ini, Kayla juga tidak percaya kalau bisa bertemu dengan laki-laki itu di minimarket, tempatnya melakukan pekerjaan paruh waktu.
Hanya tersenyum singkat untuk menanggapi sapaan itu, Kayla mulai bergegas menyadarkan dirinya. Dengan cepat ia mulai melakukan pekerjaannya dan melakukan scan pada semua barcode minuman yang dibeli oleh laki-laki itu.
Tidak membutuhkan banyak waktu, akhirnya mesin kasir sudah menunjukan keseluruhan total dari harga yang harus dibayar oleh Jehan. Kayla benar-benar profesional. Ia tak mengatakan hal selain tentang pekerjaan.
"Mau bayar tunai atau kartu?" Tanya Kayla sembari menatap ke arah laki-laki tampan yang saat ini masih berdiri tepat dihadapannya.
"Tunai," jawab Jehan yang sudah mengeluarkan dompet dari saku celananya, kelihatan siap untuk membayar tagihan minuman dingin itu.
^^^Bersambung...^^^
Catatan kecil :
- terima kasih karena sudah mau mampir di karya tulis ini. Mohon berikan dukungannya agar penulis bisa lebih rajin update dan juga semakin giat dalam membuat karya tulis lainnya.
- karya masih on going dan akan terus di update. Untuk pembaca diharap sabar menunggu kelanjutannya.
-----------------------------------------------------------
Story ©® : Just.Human
*please don't copy this story.
Find Me
✓ Instagram : just.human___
-----------------------------------------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments