Kedua bibir Fatia terbuka menatap dari ujung kaki sampai ujung rambut Putrinya yang penuh dengan lumpur bahkan yang terlihat hanya bola mata dan giginya yang putih saat gadis itu berbicara.
"Mamaaaa!!!" teriak gadis itu dengan suara tangisan persis anak kecil membuat Sumbawa dan Digo melongo.
"Uci, apa yang terjadi dengan kamu?" tanya Fatia dengan wajah yang menahan marah.
Sejujurnya Fatia ingin memukul dan memarahi gadis ini karena telah datang ke rumah dalam kondisi yang sangat memalukan. Jika seperti ini maka bisa saja Sumbawa tak mau menjodohkan cucunya dengan gadis yang kini masih tak sadar jika ada tamu di rumah ini.
"U-u-u-uci minta maaf, Uci terjatuh di sawah karena mengejar layangan, Mama. Tolong jangan marahi Uci," jelas gadis dengan suara persis anak-anak usia 5 tahun.
Praja yang mendengar hal tersebut kini kembali menoleh menatap gadis lumpur itu setelah sedari tadi tertunduk. Praja menatap gadis lumpur itu dari ujung kaki sampai ujung rambut membuat Praja mengingat sosok anak kecil yang terjatuh di sawah karena mengejar layangan. Jadi bukan Anak kecil yang Praja lihat tapi gadis ini yang sedang mengadu pada wanita yang dipanggil Mama itu.
Fatia menoleh menatap Sumbawa dengan tatapan yang tak nyaman. Rasanya ia merasa malu.
"Em, maaf Tuan saya-"
"Tak apa," potong Sumbawa dengan wajah gugupnya.
Jujur saja Sumbawa tak menyangka jika anak dari pria yang ia tabrak masih terlalu muda dan sikapnya yang kekanak-kanakan.
Gadis itu menoleh menatap kepada siapa Fatia bicara membuatnya terkejut menatap tiga pria yang kini sedang menatapnya.
"Aaa!!!" teriak gadis itu membuat Sumbawa dan Digo tersentak kaget sementara Praja hanya terdiam memasang wajah datar.
"Uci, kenapa berteriak?" Kesal Fatia yang ikut terkejut sambil menyentuh dadanya.
"Mereka semua siapa?" Tunjuk gadis itu dengan jari tangannya yang penuh dengan lumpur yang hampir mengering.
"Masuk ke dalam dan bersihkan tubuhmu!" suruh Fatia.
"Tapi mereka siapa?" tanya gadis itu.
Gadis itu menoleh menatap Sumbawa, Digo dan berakhir pada Praja yang kini menoleh ke arah lain seakan tak ingin bertatapan dengan gadis yang akan dijodohkan kepadanya.
"Anda semua siapa?" tanya gadis itu.
"Apa kalian datang dari kota yang jauh?" tanya gadis itu lagi sambil tersenyum membuat gigi putihnya terlihat.
"Hahahaha, gadis ini lucu sekali," ujar Digo sambil tertawa cekikan. Rasanya ia tak tahan melihat wajah berlumpur gadis itu.
Fatia dengan cepat menarik lengan gadis yang penuh lumpur itu dan membawanya masuk.
Digo yang masih tertawa itu kini menoleh menatap Sumbawa yang kini menatapnya dengan wajah datar membuat Digo dengan cepat menghentikan tawanya.
"Maaf," ujar Digo lalu berusaha menahan tawanya yang ia tutup dengan telapak tangannya.
Digo merebahkan tubuhnya lebih dekat di samping Praja membuat Praja menoleh.
"Ternyata calon Istri Tuan sangat lucu," bisik Digo lalu tertawa kecil.
"Digo, hentikan itu!" suruh Sumbawa membuat Digo dengan cepat menghentikan tawanya.
"Maaf Pak," ujar Digo walau sejujurnya ia masih ingin tertawa.
Tak lama Fatia kembali muncul sambil berusaha untuk tersenyum, senyum yang terbilang tak nyaman setelah mereka semua melihat penampilan putrinya.
"Saya minta maaf, atas gangguan ini," ujar Fatia.
"Tak apa, ini tak masalah," ujar Sumbawa berusaha untuk tersenyum walau sejujurnya ia agak tak nyaman apalagi untuk melihat Praja yang hanya diam tanpa ekspresi.
Fatia tertawa kaku lalu duduk di kursi kayu sambil berusaha untuk bersikap baik-baik saja. Ia sesekali merapikan ujung dasternya dan mengusap rambutnya yang terlihat kusut.
"Em, silahkan diminum tehnya! Nanti tehnya dingin," tawar Fatia berusaha untuk mencairkan suasana setelah kejadian yang tak mengenakkan itu.
"Oh iya iya," jawab Sumbawa lalu meraih gelas dan meneguk sedikit teh di gelas besi yang sedikit berkarat setelah memperhatikan pinggiran gelas untuk memastikan jika bukan bagian berkarat yang menyentuh bibirnya.
Fatia melirik Praja yang kini hanya terdiam tanpa pernah menyentuh gelas bahkan bibir yang terus tertutup itu tak pernah menyentuh teh.
"Em, Tuan Praja, tolong jangan pikirkan tentang putriku, dia sebenarnya gadis yang baik hanya saja sedikit kekanan-kanakan," jelas Fatia.
Digo melirik Praja sebentar yang tak bicara sedikitpun kepada Fatia.
"Tak masalah, Bu. Sepertinya Tuan Praja akan mengerti, iya kan Tuan," jawab Digo sambil berusaha tersenyum dengan tangannya yang berniat untuk memberikan tepukan hangat pada bahu Praja yang kini melirik tajam ke arah Digo.
Digo menghentikan senyumnya lalu tangan yang berniat untuk menepuk bahu Praja digunakan untuk merapikan rambutnya yang sudah rapi itu. Tatapan Praja begitu sangat tajam.
"Ah, maksudku, yah seperti itu," ujar Digo dengan gugup.
"Tapi sepertinya, Tuan Praja tidak senang."
"Ah, jangan berlebihan, Bu. Tuan Praja memang seperti ini. Dia sangat suka yang serius, hahaha," jelas Digo lalu tertawa.
"Ehm," tegur Sumbawa membuat Digo menghentikan tawanya.
Praja kini meraih ponselnya dan menatap layar telpon yang tak memperlihatkan sinyal sedikitpun membuat Praja menghela nafas.
"Ada apa?" bisik Sumbawa membuat semua perhatian tertuju pada Praja.
Praja bangkit dari kursi kayu hingga rambut Praja yang rapih nyaris menyentuh langit-langit rumah yang hanya dilapisi sebuah spanduk produk mi instan.
"Aku ingin mencari sinyal dan aku akan menunggu di luar," ujar Praja lalu melangkah keluar dari rumah.
"Tuan Praja!" panggil Digo yang kini berusaha bangkit dari kursi namun, dengan cepat dicegah oleh Sumbawa.
"Mau kemana?"
"Aku ingin menemani Tuan Praja."
"Tak usah!"
"Bagaimana kalau dia memarahi penduduk desa karena menyentuh jasnya?"
"Diam lah dan tutup mulutmu itu!"
...🍃🍃🍃...
Fatia terdiam di kursi sambil menatap Sumbawa dan Digo secara bergantian. Sudah sejak tadi Fatia berteriak agar gadis itu keluar dari kamar.
"Mungkin tak usah dipanggil, em kita minta persetujuan dari putri anda lain kali saja," ujar Sumbawa.
"Oh tak perlu menunggu waktu yang lain Pak! Tunggu sebentar lagi! Uci!!!" teriak Fatia saat memanggil nama itu.
"Iya," sahut seorang gadis lalu berlari menghampiri Fatia membuat Sumbawa dan Digo melongo.
Gadis dengan baju lengan panjang berwarna hijau tua serta rok panjang berwarna hitam nampak berdiri di hadapan mereka. Kulit putih, rambut yang diikat kebelakang dengan wajah bulat berparas cantik membuat Sumbawa dan Digo terbelalak kaget. Mereka semua tak menyangka jika gadis yang penuh lumpur itu ternyata adalah gadis yang begitu sangat cantik.
Fatia tersenyum bangga, ia tahu apa yang Sumbawa dan Digo pikirkan setelah melihat wajah putri tirinya itu.
"Ini putri mu?" tanya Sumbawa.
"Iya Pak, ini putri saya. Namanya Suci, tetapi dia lebih sering dipanggil Uci," jelas Fatia membuat Sumbawa mengangguk sementara Digo masih melongo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments