4. Kediaman Sang Gadis

Bruak!!!

Praja terkejut walau hal itu tak terlihat dari mimik wajahnya jika ia sedang terkejut ketika melihat gadis paling depan yang memegang layang-layang itu terjatuh hingga menghantam dan menenggelamkan tabuh bagian depannya ke lumpur sawah.

Gadis kecil itu bangkit membuat wajahnya tak terlihat karena ditutupi oleh lumpur. Gadis itu menangis hingga yang terlihat hanya gigi putihnya saja. Semua teman-temanya tertawa sementara gadis lumpur itu menangis.

Praja melipat bibirnya berusaha untuk menahan tawa. Gadis kecil itu terlihat sangat lucu. Seperti itu kah anak kecil? Setelah ia tertawa maka ia akan menangis sekencang-kencangnya setelah terjatuh, bahkan Praja yang telah cukup jauh itu mampu mendengar suara tangisannya.

Hah, gadis kecil yang cengeng. Jika saja Praja ada di sana mungkin ia akan membungkam mulut gadis kecil itu agar berhenti menangis.

Praja menggelengkan kepalanya lalu kembali menatap ke arah depan yang memperlihatkan sebuah pemukiman warga dengan rumah yang terlihat begitu sederhana.

Mobil mewahnya kini berhenti tepat di pekarangan rumah kayu sederhana bercat biru yang terlihat usang. Praja melangkah turun disusul Digo yang melangkah sempoyongan seperti habis minum-minuman beralkohol.

"Tuan Praja," ujar Digo yang kini menyentuh bahu Praja.

Praja mengendus saat Digo sangat dekat dengannya hingga ia mampu mencium bau muntah yang menyengat pada indra pembauannya.

"Hem, menyingkir dari aku!" pinta Praja lalu mendorong Digo hingga terhempas ke tanah.

Praja menggeleng dengan wajahnya yang masih menatap jijik pada sekertarisnya itu. Pria ini sangat lemah. Praja merapikan jasnya yang kini agak kusut membuatnya semakin tak suka dengan keadaanya sekarang.    

"Praja!" panggil Sumbawa membuat Praja menoleh. 

"Ayo masuk!"

...🍃🍃🍃...

Suara tawa terdengar begitu hangat di sela-sela percakapan antara Sumbawa dan seorang wanita berumur 50 tahun. Penampilannya sederhana dengan baju daster dan wajahnya yang tak berpoleskan makeup layaknya seorang wanita pada umumnya.  Di meja tua itu terdapat tiga cangkir teh hangat serta kerupuk bekas kaleng besi biskuit yang sedikit berkarat.

Praja tak henti-hentinya mendongak dan menoleh kiri dan kanan untuk melihat suasana di dalam rumah ini. Dinding berpapan kayu lapuk itu nampak berwarna biru dengan warna cat yang tak rata. Kain gorden merah yang terlihat usang seakan tak pernah menyentuh air. Tak ada lemari di dalam ruangan tamu ini, bahkan Praja tak menemukan sebuah foto atau hiasan dinding terlihat sangat kosong.

"Maaf kalau rumahnya jelek," ujar wanita itu membuat Praja menoleh cepat.

Praja tersenyum tipis dan kembali menunduk sambil meremas jari-jari tangannya yang tak pernah menyentuh gelas berisi teh itu.

"Fatia, perkenalkan ini Praja, cucu aku," ujar Sumbawa memperkenalkan.

"Oh ini yang akan dijodohkan untuk putriku? Tampan sekali," ujarnya sembari tersenyum.

"Iya betul. Praja!" panggil Sumbawa membuat Praja menoleh.

"Ini Fatia, em istri dari Barjan," ujar Sumbawa dengan hati-hati dan dibalas anggukan dan senyum dari Praja.

Walau ia tersenyum, tetapi saja ia terlihat datar.

"Bu, apa masih ada teh?" tanya Digo sambil mengangkat gelasnya yang kosong.

Suara tawa terdengar lagi sementara Praja menggeleng tak menyangka jika Digo sangat menikmati teh itu.

"Sepertinya Tuan sangat menyukainya. Tunggu, yah, biar saya ambilkan!" ujarnya dengan lembut lalu melangkah masuk dan tak terlihat lagi setelah ia melewati sehelai kain merah usang yang menutupi jalan menuju dapur.

Digo tertawa tipis setelah niatnya untuk meminum teh lebih banyak akan segera terwujud. Rasanya sangat nikmat setelah muntah lalu meminum teh hangat membuat lambungnya terasa nyaman. Senyum Digo lenyap ketika ia menoleh menatap Praja yang nampak menatapnya dengan tajam.

"Apakah kau sangat haus sampai meminta teh lagi?" tanya Praja dengan nada tegas ciri khasnya.

"Sudah! Sudah!" tegur Sumbawa lalu menepuk bahu Praja.

Tak lama Fatia melangkah keluar sambil membawa pipa berisi teh panas lalu duduk kembali ke kursi bekas duduknya setelah  menuangkan teh ke dalam gelas kosong milik Digo.

"Terima kasih, Bu. Jujur ini adalah teh yang sangat nikmat," ujar Digo begitu bahagia.   

Praja hanya terdiam dengan wajah datarnya, sekertarisnya ini sangat suka memuji hal yang tak penting. Praja mendecapkan bibirnya dan mengalihkan pandangannya setelah menatap Digo yang nampak menyeruput tehnya yang sengaja dikeraskan.

"Em, ngomong-ngomong di mana putri kamu itu?" tanya Sumbawa.

"Putri ku, emmm." Fatia terdiam sejenak seakan memikirkan sesuatu. Di satu sisi Sumbawa dan Praja ikut terdiam menanti wanita ini bicara.

"Em, dimana dia?" tanya Sumbawa.

"Tunggu sebentar!" suruhnya.

Fatia bangkit dari kursi lalu melangkah menuju jendela yang terbuka dan pandangannya nampak merambah ke seluruh arah, entah mencari siapa tapi tatapannya sangat begitu serius.  

Praja menghela nafas berat. Sepertinya gadis yang akan ia nikahi adalah gadis yang suka keluyuran hingga Ibunya pun tak tahu dia dimana. Tapi menurutnya itu tak penting, yang penting adalah ia menikahinya dan membebaskannya dari Opahnya yang setiap hari selalu menganggu dan merayunya agar  mau menikahi anak dari pria yang telah Opahnya tabrak.

"Sedang mencari siapa?" tanya Sumbawa membuat Fatia menoleh.

"Em, aku sedang mencari putri ku," jawabnya yang tersenyum walau wajahnya terlihat gelisah.

"Oh, apa dia suka keluyuran juga?" tanya Digo membuat Sumbawa menoleh menatap tajam pada Digo yang kini tersenyum kaku.

Apa ia salah bicara?

"Maaf, maksudku-"

"Putriku memang suka keluyuran jika jam seperti ini dia masih sibuk bermain dengan teman-temannya," jelas Fatia membuat Sumbawa dan Digo melongo sementara Praja hanya diam dengan ekspresi wajah datar.

"Bermain?" tanya Sumbawa tak mengerti.

Sumbawa meneguk salivanya. Bola matanya melirik menatap Praja yang kini sedang menatapnya denan pandangan tajam.

"Tuan, apa Tuan menikahi anak kecil?" bisik Digo.

Praja memejamkan kedua matanya saat hembusan udara dari mulut Digo masuk ke dalam lubang telinganya.

"Digo!" tegur Sumbawa yang menarik Digo agar menjauh dari cucunya. Sumbawa hanya tak mau jika cucunya itu semakin kesal.

"Mamaaaaa!!!"

Fatia menoleh menatap ke arah pintu setelah suara teriakan seorang gadis terdengar. Sumbawa dan Digo ikut menoleh menatap pintu dimana suara itu berasal. Suara yang masih berteriak itu lebih mirip dengan suara anak kecil yang ingin mengadu pada Mamanya.

Tak lama suara langkah kaki yang menaiki tangga terdengar dan berlari hingga suara pintu yang terbuka terdengar membuat Fatia, Sumbawa dan Digo terbelalak kaget dengan bibir yang terbuka sempurna.

Seorang gadis dengan pakaian kotor bercampur lumpur bahkan mengotori seluruh tubuhnya muncul dari pintu utama tanpa mengetahui jika ada Sumbawa, Digo dan Praja yang kini sedang menatapnya.

Kedua bibir Fatia terbuka menatap dari ujung kaki sampai ujung rambut Putrinya yang penuh dengan lumpur bahkan yang terlihat hanya bola mata dan giginya yang putih saat gadis itu berbicara.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!