3. Perjalanan Yang Memabukkan

"Tapi maaf Tuan, mengapa harus aku yang mengurus wanita yang nantinya akan menjadi istri Tuan?"

"Istri?"

"Yah, istri. Wanita yang telah menikah dengan seorang pria dinamakan istri," jelasnya dengan bangga karena disaat ini ia tahu karena ia yang telah berstatus sebagai suami beberapa bulan yang lalu.

"Lalu kenapa aku yang mengurusnya Tuan?"

 

"Karena kau yang telah menikah dan kamu tau apa yang dibutuhkan oleh seorang wanita."

"Ah, Tuan ayolah! Mengurus keperluan istriku saja di rumah sangat membuat aku pusing, apalagi jika aku harus mengurus keperluan istri Tuan," ujar Digo. 

"Kamu turuti saja apa mauku, Digo!" Tegas Praja membuat Digo menelan ludah. Jika sudah seperti ini maka tak ada pilihan lain. Digo harus menurut.

"Lalu kapan kita bertemu dengan calon istri Tuan?"

"Besok."

"Besok?" tanya Digo histeris.

"Ada apa? Kenapa terkejut seperti itu?"

"Kita akan bertemu besok lalu apa persiapan Tuan?"

Praja bangkit dari kursinya lalu melangkah ke arah jendela membelakangi Sandigo.

"Kita hanya akan bertemu dengan seseorang jadi tak perlu ada persiapan."

Digo mengangguk. Yah, memang tak perlu ada persiapan jika yang akan datang adalah Tuannya. Semua gadis tentu saja akan setuju jika Tuan Praja yang datang melamar. Beda dengan dirinya yang harus datang ke tukang cukur, ikut lulur dan segalanya agar terlihat memukai saat melamar istrinya, Putri.

...🍃🍃🍃...

 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang melintasi jalan bebatuan yang berhasil membuat seisi mobil berguncang secara bersamaan.  Ini sungguh perjalanan panjang yang buruk bagi Praja. Seumur hidupnya ia tak pernah lewat di jalan seburuk ini.

Namun, di satu sisi Praja merasa sangat terpukau dengan pemandangan di tempat ini. Sebuah pengunungan teh hijau yang begitu sangat menyejukkan mata. Udara yang sangat bersih dan sejuk membuat setiap helaan nafas begitu sangat berarti. Para pemetik teh nampak melambaikan tangan ketika mobil mewah milik Praja melintas melewati mereka.

Di benak Praja yang terlintas adalah baru kali ini ada yang berani melambaikan tangan untuknya. Sekian lama tak ada yang berani melakukan hal itu. Sekian jauh perjalanan yang entah kemana ini, Praja tak pernah menemukan perumahan penduduk membuatnya yakin jika tempat gadis itu masih jauh.

Praja ingin bertanya, apakah rumah gadis itu masih jauh, tetapi suatu kegiatan bertanya bukalah sifatnya. Menurutnya hal itu hanya membuang-buang waktu dan tak berguna.

              

Hari ini adalah perjalanan menuju rumah gadis yang akan dinikahkan kepada Praja sesuai dengan kemauan Sumbawa. Yap, Praja akui ini melelahkan. Setelah beberapa jam naik pesawat menuju kota Bandung dan mendarat di atas gedung perusahaan miliknya, kini ia harus naik mobil mewahnya dan memaksakan mobil mewahnya itu mendaki di pegunungan yang menyimpan segala keindahan yang tiada banding.

Praja menyentuh keningnya, menahan pusing karena guncangan pada mobil. Praja sesekali memejamkan kedua matanya ketika Digo muntah ke dalam kantung kresek putih membuat Praja mengernyit jijik.

Tak kuasa rasanya. Praja ini protes mengapa Digo menggunakan kantong kresek putih. Lihat saja! Isi muntahan itu terlihat dengan jelas.

Kalau saja ia masih punya tenaga, ia akan memukul kepala Digo. Praja sadar jika guncangan mobil ini dapat membuat orang muntah tapi tidakkah boleh muntah ke dalam kantung kresek berwarna hitam agar warna muntahnya yang putih bercampur sayur itu tak terlihat jelas.      

Di satu sisi suara tawa terdengar begitu bahagia, Yap dia Sumbawa, Opah si Praja yang kini duduk paling depan. Rasanya yang begitu bahagia di mobil ini adalah Sumbawa.

"Apa kau mabuk, Sandigo?" tanya Sumbawa lalu kembali tertawa.

"Hanya sedikit, Tuan Sumbawa," ujar Digo lalu kembali memuntahkan isi perutnya ke dalam kantung kresek putih itu yang kini nyaris penuh.

"Apakah boleh kau berhenti untuk muntah?!!" bentak Praja yang sudah tak tahan sejak tadi mendengar dan melihat Digo muntah persis seperti wanita yang tengah mengandung.

"Maaf Tuan, ueeeee!!!" Muntahnya lagi membuat Sumbawa tertawa.

Tak selang beberapa lama Sumbawa menghentikan tawanya ketika sorot mata tajam Praja tertuju kepadanya.  

"Sorry," ujarnya lalu memperelok posisi duduknya.

 

"Oh Tuan! Jalan apa ini? Apa ini jalan menuju neraka?" tanya Digo yang sudah tak tahan.

Praja lagi-lagi menghembuskan nafas panjang dan memilih untuk mengeluarkan kepalanya ke arah jendela. Rasanya ia ingin segera sampai ke tempat tujuannya dan menyingkirkan suara muntahan Digo yang membuatnya jijik.

"Oh Opah, gadis apa yang engkau jodohkan kepada cucu kau ini?"

"Bagaimana bentuk wajah gadis yang akan menikah dengan aku?"

"Bagaimana bentuk wajah gadis yang  tinggal di tempat pegunungan dengan jalan yang membuat aku pusing?"

"Tuhan cobaan apa ini?"

Praja melirik perlahan menatap gerombolan anak kecil berbagai usia yang kini berlari di pinggir sawah berlumpur. Nampak dari ke jauhan ia melihat seorang gadis kecil dengan rambut pajang sampai ke pinggang berlari di pinggir sawah sambil menarik benang yang menerbangkan sebuah layang-layang berwarna merah dengan ekor berwarna-warni.

Dari sini juga terlihat beberapa anak kecil yang ikut berlari dan tertawa mengejar langkah gadis kecil berbaju pink sebatas lutut itu dengan benang layang-layang di tangannya.    

Praja tersenyum, begitu sangat sederhana cara mereka bahagia. Hanya dengan berlari dan sebuah layang-layang telah mampu membuat mereka tertawa dengan lepasnya.

Hal ini sangat berbeda jauh dengan kehidupan anak-anak yang tinggal di kota besar. Jika mereka yang terlihat masih berusia 7 sampai 12 tahun sedang asik bermain layang-layang maka berbeda dengan anak-anak kota yang bahkan telah mengunakan kaca mata minus karena terlalu lama menggunakan handphone dan sejenisnya.

Anak gadis paling depan itu nampak menoleh menatap teman-temannya yang berada di belakangnya lalu sesekali mendongak ke atas menatap layang-layang miliknya yang terbang di atas sana.

Terlihat begitu indah masa anak-anak mereka hingga berhasil membuat Praja tersenyum walau terlihat samar. Yah Praja memanglah pria yang sangat pelit untuk tersenyum.

Bruak!!!

Praja terkejut walau hal itu tak terlihat dari mimik wajahnya jika ia sedang terkejut ketika melihat gadis paling depan yang memegang layang-layang itu terjatuh hingga menghantam dan menenggelamkan tubuh bagian depannya ke lumpur sawah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!