Meski rasanya cukup berat buat melakukan aktifitas seperti sebelum masalah yang dia dan suaminya alami. Tapi ingat akan tanggung jawab yang dia emban, Anggun berusaha sekuat tenaga melakukan tugasnya sepenuh hati.
Beberapa jam kemudian. Akhirnya makanan yang Anggun buat siap di sajikan. Memang belum waktunya makan siang, tapi rasanya, dia sudah tidak sabar lagi buat membangunkan Dion untuk dia ajak makan bersama.
Meski hatinya sedang sakit, tapi kedatangan Dion setelah dua bulan tidak pulang, membuat Anggun merasa sedikit terobati. Ingin rasanya dia segera melepaskan kerinduan yang selama dua bulan ini dia pendam.
Saat rindu, dia tidak bisa datang ke rumah orang tua suaminya. Karena di sana, orang tua kandung suaminya tidak pernah menganggap Anggun ada. Alasannya adalah, Anggun bukan perempuan pilihan yang cocok dengan anak satu-satunya yang mereka miliki.
Anggun terlahir dari keluarga miskin yang sudah tidak punya apa-apa. Meski dulu perempuan itu adalah anak orang kaya, tapi karena bangkrut, mereka sudah jadi keluarga sederhana yang hidup di kalangan menengah ke bawah.
Entah itu adalah alasan satu-satunya, atau mungkin ada alasan lain yang tidak Anggun ketahui. Yang jelas, orang tua kandung suaminya tidak pernah bersahabat dengan dia.
Sempat Anggun berpikir, jika saja orang tua kandung suaminya tidak muncul, maka kehidupan rumah tangganya tidak akan jadi berantakan seperti saat ini. Karena orang tua angkat suaminya sangat-sangat baik. Berbanding terbalik jauh dari orang tua kandung suaminya.
Ingatan itu tiba-tiba teralihkan dengan ponsel yang Anggun pegang berbunyi. Anggun mendadak panik karena kaget dengan bunyi deringan tersebut.
"Ah ... ya Tuhan. Kaget aku," ucap Anggun sambil mengelus dadanya sambil satu tangan membalikkan layar gawai itu dengan cepat.
"Mama." Anggun kembali berucap lirih ketika dia melihat nama yang tertera di layar gawai tersebut.
Tidak menunggu waktu lama lagi. Anggun langsung menggeser layar tersebut untuk menjawab panggilan dari mama mertuanya.
"Halo, Ma."
"Gun. Kamu di mana, Nak? Di rumah, kan ya?"
"Iya, Ma. Aku di rumah. Kenapa, Ma?"
"Mama dengar, Dion pulang. Benar gak sih?"
Anggun terdiam. Bukan pertanyaan yang membuat dia langsung diam seketika. Tapi nada pertanyaan yang penuh dengan kerinduan itu yang membuat Anggun diam karena merasakan hal yang sama. Rindu, sekaligus sedih karena rasa rindu itu.
"Gun. Kamu masih ada di sana, kan Nak? Kamu masih bisa dengar apa yang mama katakan, kan?"
"Eh iy--iya, Ma. Aku masih ada kok. Masih dengar apa yang mama katakan. Kak Dion ada di rumah. Di kamar sekarang. Sedang istirahat, Ma."
"Oh ... gitu ya, Nak? Mm ... nanti ajak dia ke rumah ya. Mama kangen banget sama dia soalnya. Dia udah jarang pulang. Jarang juga menghubungi mama. Mama mau ke sana, gak enak badan sekarang. Mama sedang flu berat soalnya."
"Ah ya ampun ... flu nya masih belum sembuh, Ma? Kok kayaknya lama banget deh mama mengalami flu itu."
"Mama udah tua, Gun. Anak-anak jauh semua. Efek kangen mungkin. Tapi kalo kangen sama Dirly dan keluarganya, nggak deh. Soalnya, mereka itu hampir tiap minggu selalu menghubungi mama. Bukan tiap minggu lagi, hampir tiap hari tuh, Amelia dan Dirly menghubungi mama buat nanya kabar."
Seketika, ada yang berdenyut perih di hati Anggun. Dia merasa kasihan dan sangat iba dengan orang tua itu. Merindukan anak yang sudah dia rawat sejak bayi. Meski tidak dia lahir kan dari rahimnya, tapi tetap saja, dia yang sudah membesarkan dengan sepenuh hati sejak masih belum tahu apa-apa.
Tapi setelah besar, dia malah tidak mendapatkan apa-apa. Anak yang dia besarkan malah direbut kembali oleh orang tua kandung yang mau enaknya saja. Menguasai anak itu sesuka hati tanpa berpikir bagaimana perasaan orang lain yang sudah susah payah membesarkan anak itu.
"Anggun. Sudah dulu ya. Mama mau istirahat juga nih. Kamu jangan lupa ajak Dion pulang. Bentar juga gak papa kok, Nak."
"Iya deh, Ma. Aku pasti bawa anak mama pulang ke rumah. Mama tenang saja ya, Ma. Kita akan ke sana nanti."
"Mama tunggu kedatangan kalian ya, sayang." Ucapan penuh harap itu membuat Anggun merasa sangat iba. Tanpa sadar, air mata jatuh perlahan melintasi pipi.
"Aku pasti akan bawa anak mama pulang. Ya Tuhan ... kasihan sekali orang tua yang merindukan anaknya ini," ucap Anggun sambil menyeka air mata yang jatuh.
Selesai membersihkan wajah, Anggun langsung menuju kamar. Dia akan membangunkan Dion sekarang juga untuk dia ajak makan siang.
Sebenarnya, memang agak sedikit cepat buat makan siang. Tapi ada banyak yang ingin dia bicarakan dengan orang yang berstatus suaminya saat ini.
"Kak Dion. Ayo makan! Aku sudah siapkan makan siang buat kamu," ucap Anggun sambil berdiri di samping ranjang. Tanpa menyentuh tubuh kekar suami yang dulunya adalah laki-laki terhangat yang dia miliki.
Sementara sekarang, antara dirinya dan sang suami seperti sudah terasa sangat asing. Ada rasa canggung yang entah kenapa bisa tercipta di tengah-tengah mereka. Jangankan ingin bermesraan seperti dulu. Buat menyentuh bahu saja terasa begitu berat sampai tidak bisa dia lakukan.
"Kak Dion. Bangunlah! Aku ingin mengajak kamu makan bersama. Karena ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu sekarang."
"Kau ingin mengajak aku makan siang? Atau ingin mengajak aku bicara? Jika ingin bicara, maka bicara di sini saja. Jangan merusak suasana makan siang kita nanti."
Dion berucap tanpa menoleh sedikitpun. Dia yang tengkurap, tetap dengan posisi itu dengan wajah yang membelakangi Anggun.
"Bicara sambil makan akan lebih nyaman, kak."
Anggun berusaha tetap tenang. Meskipun dalam hati dia merasakan kesedihan karena sikap Dion yang seperti tak pernah menganggap dia ada lagi sekarang.
Anggun kembali menarik napas dalam-dalam. Lalu menghembuskan napas itu secara perlahan untuk menenangkan gejolak yang sedang ia rasakan saat ini.
Dion yang tidak menjawab apa yang dia katakan barusan, membuat Anggun merasa seperti sampah yang tak dibutuhkan sedikitpun. Karena hal itu, Anggun memilih untuk meninggalkan Dion secepat mungkin.
"Aku tunggu kamu di meja makan. Jika kamu tidak datang dalam waktu lima belas menit, aku anggap kamu tidak ingin makan makanan yang aku sediakan. Kamu bisa makan di luar nanti."
Anggun berucap tegas. Dia sudah tidak sabar lagi sekarang. Sikap Dion yang seolah-olah tidak ingin bersama itu membuat Anggun ingin sekali ngamuk rasanya. Untung saja persediaan kesabaran dalam diri Anggun masih ada. Jika tidak, mungkin dia sudah bersikap gila karena sikap Dion sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Putu Suciptawati
aku sepemikiran sama.anggun jika saja ortu kandung dion ga datang pasti anggun bahagia.. sabar ya gun
2022-10-13
2
Susi Ermayana
suami gk ada ahlak itu dion..
2022-10-12
2
Ani Nur
thor jgn dbkin lma2 skit hati anggun ya ksihan dbkin cerai aja terus ketemu sesorg yg syang bget SMA anggun yg bsa Nerima anggun apa aday
2022-10-12
2