Tidak terasa tiga tahun sudah berlalu, sejak bosnya melakukan aksi perpeloncoan dengan membuat Alle bekerja seharian waktu itu. Namun kini, ia sudah mengenal sikap seorang Aksara Bumi. Alle bahkan menjadi orang kepercayaan pria itu. Kini tugasnya tak hanya seputar urusan kantor saja, urusan pribadi pria itu pun sedikit banyak ada campur tangan Alle.
Meski begitu, pria itu tak sekali pun menaruh hati pada sekretarisnya tersebut. Bekerja secara profesional adalah prinsip dari seorang Aksara Bumi.
Pernah di suatu kesempatan, Aksa mengatakan tentang alasan ia memilih Alle kala itu. Di antara semua yang melamar pekerjaan, Alle lah yang membuat Aksa merasa bahwa wanita inilah yang cocok untuk menjadi partner kerjanya. Entah dari mana pemikiran itu berasal, tapi rasa tak pernah salah.
Dari segi tampilan, Alle tidak menggunakan mekap berlebih, tidak juga dengan baju yang sering dipakai untuk mengundang perhatian sang bos. Hingga detik ini, penampilan sederhana seperti awal dulu masih Alle pertahankan. Pakaian kantornya selalu formal dan sopan, mekapnya tak pernah menyerupai artis yang hendak tampil di panggung hiburan.
Semua serba sederhana. Dan, satu hal lagi, kenapa Alle terpilih kala itu. Rasa kopi yang Alle buat mampu memikat lidah dan selera Aksa. Ia suka rasa kopi dengan sedikit gula dan lebih dominan rasa pahitnya. Juga, tentang filosofi yang diutarakan Alle kala itu, seorang pekerja keras pasti lebih familiar dengan rasa pahit.
Yah ... Ungkapan Alle itu membuat Aksa teringat pahitnya ia berjuang untuk berada di posisinya sekarang. Meski perusahaan ini milik sang Ayah, tapi Aksa harus meniti karirnya dari bawah sebelum ia bisa duduk sebagai seorang CEO PT. Bumi Sentosa Damai. Perjuangan itu memang terasa pahit, tapi Aksa berhasil melewatinya.
Ditambah lagi ketika ia menguji Alle dengan banyaknya pekerjaan, tak sedikit pun wanita itu membantah. Semua dikerjakan Alle dengan kepatuhan. Entah mengapa Aksa suka pekerja yang seperti itu.
Meski di luar sana beredar kabar tentang seberapa berengseknya seorang Aksara Bumi dengan seringnya bergonta-ganti pacar, tapi tidak sekalipun pria itu berniat menggoda Alle. Apalagi punya pemikiran untuk bermain-main dengan sekretarisnya tersebut.
Prinsip Aksa dalam bekerja adalah tidak boleh menjadikan kantor sebagai tempat untuk bercinta. Tempatnya mencari uang harus steril dari hubungan cinta lokasi dengan karyawannya. Ia tidak mau profesionalitas yang ia junjung tinggi ternodai dengan asmara yang berakibat buruk ketika hubungan itu tidak baik-baik saja.
Selain itu, Aksa juga sangat menghormati status Alle yang merupakan seorang janda. Ia juga ingin ikut menjaga martabat Alle di hadapan karyawan yang lain, tidak pernah mencela apalagi merendahkan status wanita itu.
"Selamat pagi, Pak?" ujar Alle ketika memasuki ruangan bosnya.
Ia mendekat dan duduk tepat di depan meja sang CEO. "Ini adalah jadwal Anda untuk hari ini," ujar Alle kemudian.
Aksa yang masih sibuk dengan ponsel di tangannya tetap fokus pada benda pipih tersebut.
"Jam sepuluh nanti akan ada meeting dengan Rapi Group, perusahaan pengadaan furniture untuk Bumi Sentosa 5. Lalu di jam makan siang nanti, Anda sudah ditunggu oleh Bapak Irwan untuk membahas biaya pembangunan perumahan elite Royal Sentosa di kawasan Serpong. Kemudian malam nanti jam delapan, Nyonya besar mengundang Anda untuk makan malam di hotel Ritz." Alle menuturkan jadwal kegiatan Aksa tanpa diminta.
"Kapan mama mengajukan permintaan untuk membuat jadwal makan malam itu?" tanya Aksa tak beralih fokus.
"Sudah sejak tiga hari yang lalu."
"Batalkan saja, aku sibuk malam ini. Kita lembur."
"Maaf, Pak, tidak bisa. Nyonya sudah berpesan untuk Anda wajib datang atau ...." Alle menjeda kalimatnya.
Aksa yang sedari tadi fokus dengan ponselnya terpaksa mendongak. "Atau ... apa?"
"Atau ... pertunangan Anda akan dipercepat," jawab Alle, ragu.
Aksa mendengkus kesal. "Apa tidak ada ancaman lain selain itu?"
"Anda bisa menanyakannya langsung nanti malam kepada Nyonya besar."
Aksa mendelik mendengar jawaban sang sekretaris. Walau begitu, Alle tak ambil peduli. Ia segera pamit.
"Kalau begitu saya permisi, masih ada tugas yang harus saya kerjakan. Alle keluar diiringi dengan umpatan yang terdengar jelas di telinga Alle.
"Sial!"
Sesuai schedule yang telah dibuat, Alle mengawal setiap kegiatan bosnya bahkan wanita itu juga menemani Aksa untuk acara dinner dengan orang tuanya.
Di sebuah hotel mewah berbintang lima, Alle menunggu di meja yang lain ketika Aksa dan orang tuanya berkumpul dengan seorang wanita yang sangat tidak ingin Aksa temui.
"Bagaimana kabar kamu, Laura?" tanya Sekar—mamanya Aksa.
"Baik, Tante."
"Kok Tante, sih? Kamu lupa ya kalau harus membiasakan diri untuk manggil Mama seperti Aksa."
Wanita bergaun maroon itu tersenyum malu. "Maaf, Ma ... mungkin karena kita jarang bertemu jadi belum terbiasa."
"Bagaimana kuliah kamu, mama dengar tinggal setahun lagi, ya?" Sekar terus mengajak gadis bernama Laura itu mengobrol sementara Aksa hanya tak acuh dengan apa yang mamanya lakukan.
"Sa ... Aksa!" sentak Sekar, membuat Aksa yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya langsung mendongak.
"Terserah Mama saja, bukannya Aksa nggak punya pilihan," ujar Aksa tanpa tahu apa yang mamanya katakan.
"Beneran?" Sekar terkejut, begitu juga dengan Laura dan papanya Aksa.
"Ya, semua terserah mama."
Mendadak notifikasi pesan di ponsel Aksa berbunyi. Segera ia membukanya.
[Bapak yakin, tadi Nyonya besar sedang membicarakan tentang jadwal pertunangan Bapak dengan Nona Laura untuk dipercepat. Setidaknya sebelum Nona Laura kembali ke Amerika.]
Mata Aksa seketika membola membaca pesan dari sekretarisnya.
"Maaf, tadi yang Mama maksud apa, ya?" tanya Aksa gusar.
"Pertunangan kamu, katanya kamu setuju semua sesuai keinginan Mama."
"Enggak-enggak, kalau soal pertunangan biarkan Laura selesaikan pendidikannya dulu. Biarkan dia menikmati masa mudanya dan kebebasannya, Aksa nggak mau buru-buru."
"Loh, kamu gimana sih katanya tadi setuju," protes Sekar.
"Tadi Aksa nggak fokus, Ma. Aksa lagi sibuk kerja."
Sekar menatap Laura seakan merasa bersalah.
"Nggak apa, Ma. Laura juga masih bisa nunggu kok sampai Kak Aksa siap." Gadis berusia 21 tahun itu tersenyum manis kepada Aksa.
Sekar langsung mengusap punggung tangan Laura. "Maaf ya, Sayang, mungkin memang pertunangan kalian harus diadakan nanti setelah kamu lulus."
Laura mengangguk sopan. "Maaf, Ma, Laura pamit ke toilet sebentar."
"Kamu gimana sih, Sa. Mama sudah berusaha supaya hubungan kamu dan Laura semakin dekat, eh ... kamu malah kerja terus yang dipikirin. Mama tuh pengen kamu segera akrab dengan Laura. Kamu nggak lihat betapa kecewanya Laura dengan sikap kamu tadi." Sekar langsung mengomel setelah Laura meninggalkan meja mereka.
"Perjodohan ini kan Mama yang mau, bukan aku. Lagi pula Laura itu bukan tipeku, Ma."
"Lalu tipe kamu yang seperti apa, yang murahan seperti wanita-wanita yang kamu kencani selama ini!" ketus Sekar.
"Ma, sudahlah. Jangan memaksakan sesuatu pada Aksa. Dia pasti bisa memilih pasangannya sendiri."
Aksa langsung menunjuk papanya dengan senyum senang karena mendapat dukungan.
"Pa, kita harus membantu Aksa untuk memilih jodohnya. Apa Papa nggak lihat kalau selama ini wanita yang dekat dengan Aksa itu semuanya nggak ada yang bener. Memang Papa mau punya mantu dari keluarga yang nggak sederajat sama kita?"
Aksa mulai jengah dengan mamanya yang membicarakan soal kasta. "All," panggil Aksa. Segera Alle berdiri dari bangkunya dan menghampiri Aksa.
"Iya, pak."
"Bayar semua tagihannya dan hubungi Deden."
"Baik, Pak." Segera Alle menyelesaikan tagihan dari acara dinner malam ini dan meminta supir Aksa untuk segera meluncur ke lobi.
"Aksa, kamu mau ke mana?" seru Sekar saat putranya memilih walk out dari pertemuan yang sudah diatur olehnya.
"Kerja," jawab Aksa santai tak lagi mempedulikan Mama dan Papanya.
"Aksa, kamu nggak boleh pergi!"
"Ma, sudahlah, nanti kalau Aksa sudah menemukan wanita yang tepat menurut Aksa pasti akan langsung Aksa bawa ke hadapan kita. Tidak usah Mama bersikap berlebihan seolah anak kita ini pria tidak laku saja," ujar Papa Aksa mengingatkan.
Sedikit kecewa dengan suaminya karena tak mendukung usahanya mencarikan pendamping untuk Aksa, Sekar hanya bisa menunjukkan raut masamnya.
Di sudut lain, Laura yang baru kembali dari toilet merasa kecewa saat melihat pria yang akan menjadi calon jodohnya itu pergi meninggalkan acara makan malam ini tanpa pamit, diikuti sekretaris dibelakangnya.
Aksa terus melangkah meninggalkan acara yang sudah direncakan oleh mamanya disusul Alle yang berusaha mempercepat langkahnya untuk bisa mengimbangi langkah atasannya.
Melihat supirnya sudah menunggu, Alle segera membukakan pintu untuk Aksa. Pria itu duduk di bangku belakang, sementara Alle duduk bersebelahan dengan supir.
Segera setelah keduanya masuk, mobil melaju menuju apartemen elite milik sang bos.
Sampai di apartemen Aksa berkata, "Jangan pulang dulu, ikut naik!" titahnya.
Alle menilik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Sudah waktunya ia pulang.
"Akan ada bonus lembur," ujar Aksa yang melihat keraguan di wajah sekretarisnya.
Mendengar kata bonus, raut Alle langsung berubah. "Baik, Pak." Tanpa menolak Alle langsung bergegas mengikuti Aksa naik ke apartemen pria itu.
Tiga tahun bekerja sama, membuat Aksa tahu benar jika sekretarisnya ini mudah dibujuk dengan upah lembur. Yah ... mau bagaimana lagi, Alle memang bekerja demi uang, untuk membiayai hidupnya dan juga anaknya.
Sang supir yang sudah sering melihat kejadian ini, tak heran. Pun tak pernah berpikiran macam-macam.
"Buka!"
Alle yang tidak fokus bingung dengan permintaan Aksa.
Buka?
Memang apa yang mau pria ini lakukan padanya. Tidak mungkin kan, bosnya akan berbuat hal macam-macam dengannya. Sontak Alle melindungi bagian depan tubuhnya dengan kedua tangannya.
"Buka!" sentak Aksa, kali ini lebih memaksa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Nendah Wenda
kira kira ap yang akan terjadi
2023-11-15
1
Euis Herdiana C'mahmud Hyuga
.buka apa hyohhh
2023-11-11
0
widi
ka maaf, tulisan mekap yang betul make-up
2023-11-07
3