Beberapa saat mereka berlima menunggu setelah Silvi masuk ke ruang CEO dan akhirnya ia keluar untuk memanggil satu per satu dari semua untuk masuk.
Alle mendapatkan giliran terakhir.
"Alleyah Syarif," panggil Silvi.
"Saya, Bu." Bergegas Alle masuk ke ruangan yang sejak tadi membuatnya berdebar-debar menunggu.
Sedikit tersentak saat melihat wajah pria yang duduk di bangku CEO, tapi Alle segera berusaha menguasai diri. "Selamat pagi, Pak," ujar Alle menyapa pria tersebut. Ia semakin gugup kala tatapan tajam pria itu terus terarah padanya.
"Silakan duduk," ujar Silvi membuat kegugupan Alle sedikit terdistract.
Sebisa mungkin Alle berusaha menutupi kegugupannya. Ia harus menampilkan rasa percaya dirinya untuk bisa mendapatkan pekerjaan.
"Katakan, kenapa aku harus memilihmu menjadi sekretarisku?" Pertanyaan sang CEO membuat Alle sedikit tercengang. Walau begitu ia berusaha untuk tenang.
Sedikit berdehem dan mengatur napas, Alle dengan percaya diri menjawab, "Saya seorang yang pantang menyerah, saya juga orang yang bisa cepat belajar tentang sesuatu yang baru. Meski saya belum memiliki pengalaman kerja, tapi saya yakin saya mampu bekerja dengan baik untuk Anda."
CEO bernama Aksara Bumi tersebut tersenyum sinis, seolah meremehkan apa yang baru saja Alle ucapkan. Namun, ia menghargai kepercayaan diri Alle.
"O ... ya, satu hal lagi, jika Anda memberikan pekerjaan untuk saya, itu akan sangat membantu untuk janda seperti saya dan rasa syukur saya akan mendatangkan pahala yang besar untuk Anda," imbuh Alle tanpa rasa malu.
Setelah mendengar status yang Alle sebutkan, CEO tersebut kembali menilik berkas CV milik Alle yang ada di hadapannya. Tatapannya tertuju pada status yang baru saja Alle katakan.
Sejenak ia menatap Alle, memperhatikan wanita yang baru saja mengaku sebagai janda tersebut. Lalu mengambil cangkir kopi yang Alle buat dan sedikit meneguknya. "Ini kamu yang buat?"
"Iya, Pak," jawab Alle yakin.
"Apa seperti ini selera mantan suami kamu?" Sang CEO mengangkat cangkir itu ke atas sejajar dengan dagunya.
Alle menggeleng. "Tidak, mantan suami saya tidak suka kopi, dia hanya menyukai minuman manis."
"Lalu kenapa kamu membuat kopi dengan cita rasa seperti ini?"
"Saya tidak tahu selera Anda, tapi saya pikir bagi seorang pekerja keras rasa pahit lebih familiar untuk mereka."
Aksa kembali menyunggingkan senyum sinis.
"Baiklah, kamu boleh keluar."
Setelah itu Silvi mengantarkan Alle sampai ke depan pintu. Alle kembali bergabung dengan keempat orang lainnya untuk menunggu Silvi yang masih ada di dalam ruang CEO.
Tanpa diskusi dengan Silvi, Aksa langsung membuat keputusan dan meminta HRD-nya tersebut untuk segera memberitahu pada kelima orang yang tengah menunggu hasil dari lamaran mereka.
Mereka semua diajak Silvi ke ruangannya. "Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kesediaan kalian menunggu. Bapak Aksa selaku CEO PT. Bumi Sentosa Damai telah memutuskan siapa yang beliau tunjuk untuk menjadi sekretaris beliau.
Pengumuman ini sengaja kami sampaikan langsung agar kalian tidak terlalu lama menunggu."
Mereka berlima sama-sama gugupnya menunggu Silvi mengatakan siapa yang akan diterima oleh CEO PT. Bumi Sentosa Damai.
"Bapak Aksa memutuskan untuk menerima Alleyah Syarif sebagai sekretaris barunya, dan bagi yang lain, kami mohon maaf belum bisa mengajak kalian bergabung dalam perusahaan kami," lanjut Silvi.
Semua menatap heran pada Alle tapi tak bisa berbuat apa pun sebab keputusan mutlak ada di tangan sang CEO. Alle sendiri tak percaya jika namanya yang disebutkan oleh Silvi.
Antara bahagia dan bingung, Alle justru termenung. Bahkan ia tak menyadari ketika keempat orang yang bersaing dengannya tadi memberikan ucapan selamat sebelum mereka keluar dari ruangan HRD.
"Kamu sudah siap?" tanya Silvi saat di ruangannya tinggal mereka berdua.
Alle mengangguk yakin. "Siap, Bu."
Silvi pun mengantar Alle kembali ke ruangan Aksa. Di sana, di depan sang CEO Silvi menjelaskan akan tanggung jawab yang harus dipikul Alle. Ia juga memberi tahu di mana meja kerja Alle.
"Baiklah, Pak, saya pamit undur diri, jika ada yang Bapak butuhkan silakan menghubungi saya," pamit Silvi.
Kini hanya tinggal Alle dan Aksa di ruangan itu. Alle belum tahu banyak tentang pria ini, ia belum sempat mencari tahu pria seperti apa yang telah menjadi bosnya.
Sedari tadi Aksa hanya terdiam menatap Alle yang terlihat bingung.
"Apa kau hanya akan berdiri saja di situ?" ujar Aksa.
"I ... iya, Pak ... Eh ... ti-tidak maksud saya," jawab Alle gugup.
"Aku menerimamu untuk bekerja bukan untuk menjadi patung." Perkataan pria ini memang selalu terdengar ketus di telinga Alle. Membuat Alle harus meningkatkan level sabarnya.
"Maaf, Pak," sesal Alle, dan kembali terdiam.
"Tunjukkan apa yang tadi kamu katakan agar aku mau menerimamu bekerja, atau mungkin itu hanya sebuah omong kosong untuk menarik simpatik supaya kamu bisa diterima di kantorku."
Alle semakin bingung. Di hari pertama saja pria ini seakan sudah mengintimidasinya dengan perkataan-perkataan yang begitu tajam.
"Maafkan saya, Pak. Saya hanya belum tahu saja apa yang harus saya kerjakan."
"Bukankah tadi Silvi sudah menjelaskannya!"
"Baiklah, kira-kira apa tugas yang harus saya kerjakan untuk saat ini." Tak ada pilihan, Alle pun memberanikan diri untuk mengambil inisiatif bertanya.
Tidak langsung menjawab, sang CEO justru mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tatapan terakhirnya jatuh pada pintu toilet yang tertutup.
"Aku belum melihat petugas cleaning servis datang dan membersihkan toiletku. Aku tidak suka dengan toilet yang tidak bersih, dan tugas pertamamu adalah membersihkan toilet."
Sedikit kaget dan ingin protes adalah ekspresi pertama yang ditampilkan Alle.
"Kenapa, kamu mau menolak?" tanya Aksa.
"Ti-tidak, Pak." Akhirnya Alle urungkan niatnya untuk protes. Ia tidak tahu tipe manusia seperti apa pria di depannya ini. Tapi ia yakin pria ini pasti sedang ingin mengujinya. Buktinya tes sebelumnya saja tidak seperti tes untuk posisi sekretaris pada umumnya.
"Baiklah, Pak. Akan segera saya kerjakan," jawab Alle tanpa protes. Ia segera menuju toilet.
Baru saja membukanya dan tidak melihat alat kebersihan di sana. Alle kembali dan memohon ijin untuk mengambil alat kebersihan terlebih dulu.
"Kalau boleh tahu, di mana departemen kebersihan berada, Pak, saya akan mengambil alat-alat kebersihan di sana."
Masih dengan raut datar dan dingin, Aksa memberitahu di mana departemen kebersihan berada.
Sesegera mungkin Alle pergi untuk menjalankan tugas. Tak sampai disitu, Aksa ternyata benar-benar bos di luar nalar. Selain membersihkan toilet, seharian ini Alle hanya disuruh untuk mondar-mandir foto copy dan membeli makanan untuk si bos. Hal yang paling menjengkelkan itu adalah beli makanannya di tempat yang jauh dari perusahaan.
Bahkan Aksa menyuruh Alle lembur di hari pertamanya kerja. Barulah ketika jam sudah menunjuk angka tujuh, Alle diijinkan untuk pulang.
Lelah. Tentu saja Alle lelah. Namun, ia harus tetap bertahan dan berjuang demi dirinya dan juga anaknya.
Ia tak akan tahu nasib kedepannya, tapi ia yakin lelahnya hari ini akan mendatangkan kebaikan baginya kelak.
Dengan menggunakan kendaraan umum akhirnya Alle sampai juga di rumah kecilnya. "Assalamualaikum," sapa Alle ketika masuk ke rumah.
"Waalaikumsalam," jawab Mbak Imas yang sedang menonton televisi di ruang tamu.
"Maaf ya, Mbak, jadi tambah ngerepotin," ujar Alle saat baru masuk dan bertatapan langsung dengan Mbak Imas.
Sebelumnya Alle memang sudah mengirimkan pesan untuk Mbak Imas kalau ia diterima kerja dan lansgung disuruh kerja hari itu juga. Alle juga meminta mabak Imas untuk menjaga Chilla lebih dulu karena ia lembur.
"Nggak apa, All ... denger kamu ketrima kerja aku ikut seneng."
Alle yang tadi langsung duduk di sofa di samping mbak Imas, tubuhnya serasa begitu lelah karena seharian ini si bos seakan mengerjai dirinya atau mungkin karena ia belum terbiasa bekerja sebelumnya, jadi terasa sekali lelahnya.
Tanpa diminta, lagi-lagi Mbak Imas mengambilkan air putih untuk Alle.
"Gimana kerjaan kamu, enak nggak?"
"Enak nggak enak aku harus tetep bertahan, Mbak, karena susah buat cari kerja. Aku yakin semua hanya karena aku belum terbiasa."
"Bener, yang penting kamu jangan menyerah, ingat selalu Chilla biar terus semangat," ujar Mbak Imas memberi dukungan.
Dari obrolan itu Alle bercerita tentang apa saja yang ia kerjakan hari ini. Tentang sibuk dan lelahnya ia menuruti keinginan bos anehnya itu.
Mbak imas justru tertawa mendengarnya.
"Ngomong-ngomong bos kamu itu ganteng nggak, All?" seloroh mbak Imas disela-sela kekesalan Alle mengingat kelakuan bosnya hari ini.
Alle mendadak terdiam. Memutar kembali memori tentang raut tampan sang CEO.
"Sama Fadil gantengan mana?" goda Mbak Imas.
"Ih ... Apaan sih, Mbak." Rona malu langsung tercipta kala Mbak Imas menggodanya.
"Hati-hati lho, nanti si bos naksir kamu lagi." Mbak Imas cekikikan, gemas sendiri menggoda janda baru itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Nendah Wenda
ganteng Aksa dong tapi dingin kaya kulkas
2023-11-15
1
Ruthsolkhni Rutin marliyah
/Rose/
2023-11-08
1
Mas Sigit
ganteng ga nya ga msalah yg pnting bnyk duit dan setia🤭😘
2023-11-07
1