Pesona Sekretaris
Bab.1 Talak
Hujan turun dengan deras di luar sana. Sesekali petir menggelegar disertai kilat yang cukup membuat hati menciut karena takut. Untunglah, meski hanya tinggal di sebuah perumahan kecil bertipe 36, Alleyah sudah sangat bersyukur karena memiliki tempat untuk berlindung.
Di rumah yang tak terlalu luas ini, karena hanya memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, dan ruangan kecil untuk menerima tamu, Alleyah tinggal bersama suami dan putri semata wayang mereka yang usianya hampir dua tahun.
Alleyah hanyalah istri dan ibu rumah tangga pada umumnya. Ia tak memiliki pekerjaan lain selain mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Memiliki bayi membuatnya harus tetap berada di rumah.
Daster adalah pakaian kebesarannya, yang hampir setiap hari ia kenakan. Menggendong anak ke sana ke mari tanpa mekap sudah menjadi hal wajar baginya. Ia tetap santai dan tenang dengan semua yang melekat pada dirinya. Baginya kebahagiaannya adalah suami dan anaknya.
Ia tak perlu bermewah-mewah apalagi harus bermekap tebal hanya demi gengsi semata. Suaminya juga tak pernah komplain dengan penampilannya yang bersahaja. Ah ... Mas Fadil memang suami idaman seperti yang dulu ia harapkan. Tak pernah sekalipun pria itu rewel dan mempermasalahkan penampilan Alleyah yang sudah sangat berubah sejak memiliki bayi.
Namun, semua itu ternyata hanya sangkaan semu belaka. Sebab diam-diam, suaminya mendua dengan wanita yang lebih pandai bersolek dari pada dirinya. Malam itu menjadi saksi hancurnya mahligai rumah tangga yang ia bangun bersama Fadil selama hampir tiga tahun lamanya.
"Kamu mau ke mana sih, Mas, kok semua baju kamu dimasukin ke koper gitu?" Alle—panggilan Alleyah—mengancingkan kembali kancing dasternya setelah selesai menyusui Chilla—putri semata wayangnya—dan memastikan jika anak itu sudah benar-benar terlelap.
Ia bangkit kala tak mendapatkan jawaban dari sang suami. Pria yang menurut Alleyah tampan tersebut terus saja menata baju-bajunya ke dalam koper besar yang dulu mereka gunakan untuk memindahkan baju-baju mereka dari rumah orang tua Fadil ke perumahan bersubsidi yang dibeli Fadil dengan sistem KPR tersebut.
"Mas." Alle menyentuh tangan pria itu. Menyadarkan bahwa sejak tadi ia mengajaknya berbicara.
Fadil hanya memicing, lalu lanjut menata baju terakhir yang ia ambil dari dalam lemari. Menutup resleting koper dan kemudian membawanya berdiri. Alle yang masih berada di samping Fadil mengikuti gerakan Fadil berdiri.
"Mas, kamu ini kenapa, sih. Kenapa diam saja, aku ngajak kamu ngomong lho dari tadi." Alle berharap penjelasan dari Fadil. Bukan hanya sikap diam pria itu, tapi juga untuk apa pria itu mengemas bajunya ke dalam koper.
"Aku ingin kita pisah."
Bagai disambar petir, pernyataan mengejutkan Fadil membuat Alle terdiam seketika. Tak mau berlama-lama dalam kebingungan, Alle pun bertanya, "Maksud kamu apa sih, Mas. Kalau mau bercanda, ini nggak lucu, tau!"
"Aku tidak bercanda, aku serius. Aku ingin kita bercerai," jawab Fadil dengan raut tegas.
Alle mundur selangkah, menjauh dari Fadil. "Nggak ... kamu bohong, ini bercanda, kan?" Alle tidak terima dengan pernyataan Fadil. Ia menyangkal apa yang baru saja suaminya utarakan.
"Aku serius, aku akan pergi malam ini. Mulai hari ini, aku ... Fadil Nugraha, menceraikanmu Alleyah Syarif. Mulai saat ini kamu bukan lagi istriku." Setelah ucapan itu Fadil menarik kopernya dan menyeretnya keluar kamar.
"Kamu, mentalak aku, Mas?" Alle tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut suaminya.
"Ya, mulai sekarang, kita berpisah."
"Mas, aku mohon jangan seperti ini, kita bisa bicarakan lagi semuanya baik-baik, Mas." Kini Alle menahan lengan Fadil yang tengah menyeret kopernya keluar kamar.
Tanpa perasaan, Fadil menghempaskan tangan istrinya. "Aku akan segera mengurus perceraian kita."
Alle semakin tak percaya. Suaminya serius. Seserius tatapannya sekarang ini.
Beberapa detik Alle tertegun, berusaha memahami situasi ini. Diceraikan secara mendadak tanpa tahu apa salahnya membuat ia syok seketika.
Alle menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha menyangkal kenyataan. "Nggak, kamu bohong ... kamu bercanda ... nggak mungkin kamu mau ninggalin aku dan juga Chilla begitu saja. Ini prank, kan, Mas?" sangkal Alle.
Dengan sorot yang tajam Fadil menatap Alle, tapi enggan memberikan keterangan. Ia justru mengambil sikap untuk segera pergi dan meninggalkan rumah kecil yang belum lunas ini.
"Mas, kamu mau ke mana?" sergah Alle, dan tak mendapatkan jawaban apa pun dari suaminya tersebut.
"Mas, aku mohon ... Mas, tolong pikirkan lagi. Pikirkan Chila yang masih kecil, Mas." Alle terus mengejar Fadil, berharap suaminya itu berubah pikiran dan mau kembali padanya. "Lagi pula apa salahku. Kenapa kamu bersikap kayak gini. Kalau ada masalah, kita bisa bicarakan semuanya baik-baik, Mas." Alle terus berusaha mencegah kepergian Fadil.
Pria itu seperti orang tuli saja. Ia tak menggubris sedikit pun omongan Alle. Fadil terus berjalan keluar rumah dan segera masuk ke mobil sedan merah yang sejak tadi menunggunya.
"Mas ...." Alle berteriak keras ketika mobil mewah itu melaju meninggalkan halaman rumah mereka. Alle ingin terus mengejar jika saja ia tak mendengar suara tangisan anak kecil dari dalam rumahnya.
Mengurungkan niatnya untuk mengejar sang suami, Alle memilih untuk masuk ke dalam dan melihat Chilla. Putri kecilnya itu ternyata terbangun dan sudah terduduk di atas rajang dengan tangis yang kuat.
Segera Alle menggendong anak berusia hampir dua tahun itu. Mencoba menenangkannya.
Berkali-kali juga Alle membujuk sang putri agar tenang, tapi tetap saja anak kecil itu meraung tak berhenti. Entah karena memiliki perasaan karena sang ayah telah meninggalkannya atau memang ia hanya terjaga biasa. Sebab, memang Chilla masih suka terbangun di jam-jam seperti ini untuk minta susu.
Sudah satu jam lebih Chilla tak mau diam. Alle juga sudah memberikannya susu tapi anak itu menolak meminumnya. Anak itu hanya terus saja menangis.
Alle semakin panik menghadapi tangis Chilla yang tak biasa. Perasaan sedih langsung melingkupi hatinya kala teringat kini ia hanya sendiri. Air matanya terus mengalir mengingat kepergian Fadil yang meninggalkannya tanpa rasa kasihan.
Tangis Chilla yang semakin kuat membuat Alle harus berjuang lebih keras untuk menenangkannya. Ia berusaha menggendong anak itu dan mengajaknya berkeliling kamar agar terdiam sembari mengucapkan kata-kata bujukan.
Setelah berjuang cukup lama untuk menenangkan Chilla, anak itu akhirnya jatuh tertidur karena lelah menangis. Ia pun mendudukkan dirinya di tepi ranjang untuk mengurangi rasa lelah.
Ia menatap putri kecil dalam dekapannya dengan derai air mata yang tak kunjung surut. Beberapa kali mengecup dahi sang putri yang terlelap.
Hatinya bergejolak. Bayangan tentang masa depannya dan juga sang anak memenuhi benak. Setelah ini bagaimana nasib dirinya dan Chilla.
Mampukah ia bertahan sendirian tanpa suami?
Bagaimana ia akan mendidik dan membiayai Chilla tanpa Fadil di sisinya.
Banyak tanya yang menjejal di otaknya tentang kepergian Fadil. Rasanya ia sudah bersikap dan berusaha menjadi istri sebaik mungkin untuk Fadil. Ia tak pernah menuntut banyak dari pria itu. Ia bahkan tak pernah mengeluh dengan berapa pun uang yang diberikan Fadil untuknya.
Ia juga menyelesaikan semua pekerjaan rumah dengan baik. Melayani suaminya itu tanpa pernah menolak sekali pun sejak mereka menikah. Lalu di mana salahnya?
Semua terasa janggal bagi Alle yang sudah menjalankan semua tugasnya tapi masih saja ditinggalkan. Dengan kejam, Fadil meninggalkannya tanpa kata dan penjelasan kenapa ia harus diceraikan.
"Mas Fadil ...," jerit Alle dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Uba Muhammad Al-varo
awal ceritanya menyesakkan dada 🤧 tentang kisah hidupnya seorang istri yang dikhianati suami.
2024-01-11
0
Ymir
Fadil oh Fadil
2023-12-14
1
Ksatria_90
mampir Thor 👍👍👍👍
2023-12-09
1