Setelah memikirkan panjang lebar karena belum juga mendapatkan pekerjaan, Alle pun mengubungi Wina dan menanyakan tentang lowongan pekerjaan di kantornya apakah masih dibuka atau tidak. Beruntung, CEO yang dulu Wina ceritakan belum menemukan sekretaris yang pas dan lowongan masih dibuka lebar.
Tekadnya untuk segera mendapatkan pekerjaan membuat Alle pada akhirnya memberanikan diri untuk melamar pekerjaan di kantor Wina meski tanpa pengalaman. Ia yakin, jika itu rejeki yang tertakdir untuknya pasti Tuhan akan memudahkan jalannya.
Pagi ini, dengan balutan kemeja formal berwarna putih dan pencil skirt hitam dengan panjang di bawah lutut, serta rambut yang disanggul rapi dengan harnet, Alle dengan mantap melangkahkan kaki ke gedung PT. Bumi Sentosa Damai.
"Bismillah, semoga hari ini Engkau mudahkan jalanku untuk mendapatkan pekerjaan, Ya Allah." Doa Alle ketika melangkah masuk ke gedung pencakar langit tersebut.
Bermodal tanya pada satpam di depan tadi, Alle berniat mendatangi ruangan HRD di mana ia akan memasukkan berkas lamaran pekerjaannya. Untaian doa tak lepas dari bibirnya, berharap hari ini ia akan diterima kerja. Pandangannya mengedar mencari di mana elevator yang akan membawanya naik ke lantai tujuh seperti arahan satpam tadi.
"Itu dia!" ucapnya dalam hati saat matanya menangkap pintu berwarna silver tersebut tengah terbuka disusul dengan orang-orang yang segera masuk ke dalam.
"Tunggu!" teriak Alle berharap ada orang yang masih mau menunggunya untuk bisa masuk ke dalam elevator. Ia berlari secepat mungkin menjangkau elevator yang hampir tertutup tersebut. "Tunggu, aku!" teriaknya lagi.
Secepat mungkin Alle berlari agar bisa terangkut bersama orang-orang yang lebih dulu masuk. Meski dengan napas yang ngos-ngosan, Alle berhasil masuk ke dalam elevator berkat bantuan dari seseorang yang menahan pintu agar tak segera menutup.
Sedikit menubruk orang tersebut karena Alle terlambat menghentikan laju kakinya membuat Alle berkali-kali meminta maaf pada orang yang telah membantunya untuk bisa masuk dalam elevator. "Maaf, maafkan saya, Pak," ujar Alle dengan menundukkan sedikit kepalanya.
Pria yang tadi membantu Alle hanya diam tak menggubris apa yang Alle katakan. Justru orang-orang di sekitarnya memperhatikan Alle yang tengah minta maaf. Alle masih dalam kebingungan karena diabaikan saat denting elevator berbunyi dan membawa beberapa orang yang ada di dalamnya keluar termasuk pria yang telah membantunya tadi.
Melihat floor designator yang berada di atas pintu elevator menunjukkan angka tujuh Alle segera bergegas. Ia lupakan kebingungannya dengan sikap pria tak dikenalnya tadi. Fokusnya sekarang adalah mencari ruangan HRD yang akan ia tuju. Karena ragu harus melangkah ke mana, Alle pun memberanikan diri untuk bertanya pada seseorang. Kebetulan yang ada di depannya dalah pria yang membantunya tadi.
"Pak, tunggu!" panggil Alle dengan suara yang keras.
Pria tadi tak mengubbris panggilan Alle. Ia terus saja berjalan seolah tak mendengar.
Alle kembali berlari agar bisa menyamai langkah pria itu, dan ... berhasil. "Pak, saya memanggil Anda," ujar Alle begitu berada tepat di depan pria tadi.
Alle mengatur napasnya lebih dulu sebelum bertanya. "Saya cuma ingin tahu di mana kantor HRD berada," tanyanya kemudian.
Pria itu tak langsung menjawab. Ia justru memperhatikan penampilan Alle dari kepala hingga ujung kaki. Tanpa suara pria itu menunjuk sisi kiri Alle, dimana terdapat tulisan HRD yang menggantung dengan jelas.
Alle terlihat malu sendiri ketika melihat tulisan itu. Kenapa ia tak berusaha dulu mencari baru bertanya. Rupanya ruangan yang ia cari tak jauh dari elevator yang membawanya naik tadi.
Sedikit nyengir Alle berkata, "Te-terima kasih banyak, Pak."
Pria itu kembali meninggalkan Alle tanpa menjawab apa pun ucapan alle.
"Kenapa sih dia, dari tadi aneh banget sikapnya. Aku kan cuma bilang terima kasih, jawab kek. Ini malah cuek." Alle menggedikkan bahu, tak ingin lagi memikirkan hal itu.
Segera ia mendekati pintu bertuliskan HRD tersebut dan mulai mengatur napas. Berusaha merapikan penampilannya dengan mengelus rambut serta membenahi kemeja yang ia kenakan agar terlihat lebih rapi. Tangan kanannya mengetuk pintu dengan sopan.
"Selamat pagi, Bu," ujar Alle menyapa seorang wanita yang tadi mempersilakan dia masuk.
Alle duduk di depan wanita yang menyandang status sebagai Human Resource Department tersebut setelah dipersilakan. Ia mengutarakan niatnya untuk melamar pekerjaan dan menyerahkan berkas lamaran pekerjaan yang dibawanya dari rumah.
Wanita yang memperkenalkan diri bernama Silvi tersebut langsung membaca berkas milik Alle juga mempehatikan penampilan Alle. Tak lupa menanyakan beberapa hal berkaitan tentang pengalaman kerja Alle.
"Saya belum pernah bekerja sebelumnya, Bu, sebab setelah saya menyelesaikan pendidikan D3 saya, saya langsung menikah dan belum pernah mendapatkan pengalaman kerja kecuali ketika praktek kerja lapangan waktu pendidikan dulu. Meski begitu, saya berjanji akan belajar dengan giat untuk mempelajari pekerjaan saya nanti." Alle mengatakan semuanya dengan jujur, termasuk status janda yang tertulis dalan curriculum vitae yang ia bawa.
Awalnya, Silvi sang HRD ragu dengan Alle yang tak memiliki pengalaman kerja. Tapi karena sudah banyak yang tertolak ia pun memberikan kesempatan kepada Alle untuk mencoba.
"Kamu tunggu di ruang tunggu dulu, ya. nanti akan ada panggilan dan tes langsung dari atasan untuk kamu," ujar Silvi.
Alle merasa senang meski belum diterima setidaknya ada kemajuan dalam lamarannya kali ini, yaitu mengikuti tes. Tidak langsung ditolak seperti sebelum-sebelumnya.
"Kalau begitu, saya pamit keluar dulu, Bu. Terima kasih sebelumnya."
Setelah mendengar arahan dari Silvi di mana Alle harus menunggu, ia pun segera keluar dan menuju ruangan yang tadi Silvi sebutkan. Rupanya di sana sudah ada beberapa orang yang juga menunggu seperti dirinya.
Ada empat orang yang sedang duduk dan menanti hal yang sama dengan Alle. Tak ada satu orang pun yang Alle kenal, mereka semua juga nampak diam saja dan menunjukkan muka tak ramah seolah Alle adalah musuh yang harus dikalahkan. Memang saat ini mereka tengah bersaing untuk mendapatkan pekerjaan ini.
"Selamat pagi semuanya," sapa Silvi pada kelima orang yang sedang menunggu di ruang tunggu tersebut. "Sudah siap untuk tesnya?"
"Siap!" jawab mereka berempat kompak, kecuali Alle. Jujur Alle sedikit takut juga ragu karena melihat penampilan keempat orang yang ia temui terlihat sudah berpengalaman.
"Kenapa kamu diam, kamu nggak siap?" tanya Silvi yang menyadari jika hanya Alle yang tak menjawab.
"Eh ... nggak kok, Bu, saya siap," jawab Alle meyakinkan. Ia harus mencoba, ia harus berusaha. Semua demi masa depannya dan juga Chilla. Begitu yang ia katakan dalam hatinya.
"Ok, kalau sudah siap kita semua ke pantry," ajak Silvi.
Keempat orang tadi saling tatap. Merasa heran dan bingung kenapa harus ke pantry. "Bu kita mau melamar pekerjaan sebagai sekretaris, bukan OG. Kok, disuruh ke pantry?" ujar salah satunya.
Silvi hanya tersenyum menanggapi. "Ini adalah tes kalian untuk menjadi sekretaris di kantor ini. Kalau kalian tidak siap, pintu keluar di sebelah sana!" ujar Silvi tegas, menunjuk ke arah pintu.
Semua menatap ke arah pintu yang ditunjuk Silvi, tak terkecuali Alle. Ia juga menatap ke sana tapi tak sekalipun punya pikiran untuk keluar tanpa mencoba tesnya.
"Ada yang mau keluar?" tanya Silvi mempertegas.
Semua terdiam bahkan menunduk.
"Bagus, kalau masih tetap ingin ikut tes mari ikut ke pantry."
Semua mengikuti Silvi berjalan menuju pantry.
"Di sana ada cangkir dan juga bahan-bahan membuat kopi. Silakan kalian semua membuat kopi sesuai kemampuan kalian."
Mereka kembali bingung untuk apa tes membuat kopi. Sekali lagi mereka merasa aneh karena mereka tak ingin menjadi OG.
"Kopi ini bukan untuk kalian, tapi untuk Bapak Aksa, selaku CEO PT. Bumi Sentosa Damai. Kalau saya boleh bilang ini adalah tes termudah untuk menjadi seorang sekretaris, karena sebelum-sebelumnya tesnya tidak semudah ini, jadi lakukan yang terbaik," ujar Silvi.
"Bu, pak Aksa itu suka yang manis atau yang pahit?" ujar salah satu pelamar.
Silvi tersenyum ramah. "Itulah yang harus kalian cari tahu, karena kopi buatan kalian akan menentukan terpilihnya kalian atau tidak."
Silvi kemudian mempersilakan mereka membuat kopinya masing-masing. Dengan warna cangkir yang berbeda, kelima orang itu mulai membuat kopi. Setelah selesai seorang OB membawanya ke ruangan CEO. Sebelumnya Silvi sudah mencatat warna cangkir dan siapa yang membuatnya.
Silvi mengajak Alle dan keempat orang lainnya untuk pergi ke ruang CEO dan meminta mereka untuk menunggu panggilan dari sang bos. Sementara Silvi masuk lebih dulu ke ruangan itu.
"Aneh nggak sih, kita ngelamar untuk posisi sekretaris, tapi tesnya suruh buat kopi?" ujar salah satu dari kelima orang yang sedang menunggu. "Kayak kita mau jadi OG aja," sambungnya.
"Iya sih aneh, tapi ya suka-suka bosnya lah. Kan dia yang punya perusahaan," jawab yang lainnya.
Alle hanya jadi pendengar saja tanpa ingin menyambung percakapan mereka. Ia tak peduli harus di suruh bikin kopi atau apa yang penting ia dapat pekerjaan. Kalau pun tak bisa jadi sekretaris jadi OG pun akan ia jalani asal ia bisa kerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Nurr Amirr🥰💞
Hadir thorrr...
2023-12-01
1
zian al abasy
sbnrnya gk pngin komen krna dh ktingglan tp gpp lh..
smngaaatt buat Alle
2023-11-23
1
Nendah Wenda
demi anak apapun akan kerjakan semangat 💪👍 ale
2023-11-15
1