Bab.2 Putusan

Rupanya, pena takdir benar-benar menuliskan nasib Alle untuk menjadi seorang janda. Apa yang malam itu Fadil ucapkan kini pria itu wujudkan. Tak berselang lama, surat gugatan dari pengadilan Agama datang untuk Alle. Demi mengetahui alasan Fadil menceraikannya, dengan hati yang dipaksakan Alle mendatangi agenda sidang tersebut.

Awalnya Alle ingin mempertahankan rumah tangga yang dirasanya baik-baik saja. Namun, setelah melihat Fadil datang bersama seorang perempuan menggunakan mobil sedan merah yang dulu membawa Fadil keluar dari rumah kecil mereka, niat itu Alle urungkan.

Ia mulai sadar jika ada wanita idaman lain dalam biduk rumah tangganya. Di saat itu juga, Alle tak lagi ingin berjuang untuk pria yang dulu dicintainya. Ia menerima semua dengan ikhlas, termasuk talak yang diucapakan Fadil di sidang akhir perceraiannya.

Sejak itulah, status baru dalam hidupnya tercipta. Janda beranak satu. Yah ... Fadil tak mengajukan gugatan atas hak asuh anak, ia serahkan Chilla yang masih di bawah umur itu dalam pengasuhan Alle, juga rumah yang ditempati Alle sekarang. Fadil pun memberikan rumah tersebut untuk Alle dan membiarkan Alle membayar angsuran ke depannya.

"All ...," sapa Fadil setelah sidang perceraian berakhir.

"Mas ... ayo!" ajak wanita yang selalu menemani Fadil selama sidang ini berlangsung.

Alle yang masih berdiri menunggu angkutan untuk pulang hanya bisa berpura-pura tak melihat dua mahkluk yang telah menorehkan luka dalam hidupnya itu.

"Ish ... Mas Fadil, ayo!" Wanita itu menarik lengan Fadil yang semula ingin berbicara sebentar dengan Alle—mantan istrinya. Nampaknya pria itu tak berdaya di depan wanita bergaun biru tersebut. Buktinya ketika si wanita menarik dan mengajak Fadil untuk segera masuk ke mobil, pria itu hanya pasrah dan menurut.

Alle tak ambil peduli dengan mantan suaminya tersebut, bahkan ketika Fadil menatapnya dari balik kaca mobil yang melaju untuk terakhir kalinya, Alle memilih untuk melengos.

Bersamaan dengan itu, kembali lagi air mata Alle mengalir. Namun kali ini ia berusaha menahannya agar tak semakin menderas. Ia hapus air yang baru beberapa titik keluar dan mengangkat wajahnya ke atas. Satu tangan yang memegang berkas perceraian menyadarkan dirinya akan status baru dan juga perbuatan Fadil padanya.

"Jangan menangis lagi All, semua sudah berakhir. Kamu akan memulai takdir barumu. Fadil sudah hilang dari kisah hidupmu. Sekarang kau harus menulis takdir barumu dengan Chilla. Buat ia bahagia dan raih kebahagiaanmu sendiri," ujar Alle dalam hati untuk menguatkan dirinya sendiri.

Kini ia benar-benar menghapus air matanya dan tak ingin lagi menangis untuk seorang pengkhianat seperti Fadil. Ia harus jadi wanita dan ibu yang kuat untuk Chilla.

Tak lama angkot yang ia tunggu datang, dengan memeluk berkas perceraiannya ia menaiki angkot tersebut dan kembali pada Chilla.

"Assalamualaikum," ucapnya sebelum memasuki rumah.

Di rumah memang ada Mbak Imas, tetangga yang ia minta untuk menjaga Chilla selama ia pergi ke pengadilan.

"Waalaikumsalam ... eh, Mama udah pulang," jawab Mbak Imas seakan mewakili Chilla.

"Anak Mama pinter 'kan di rumah sama Budhe Imas?" Alle mengambil alih Chilla dari Mbak Imas. "Nggak rewel, kan, Mbak?"

"Nggak lah, Chilla kan anak pinter. Ya Sayang, ya. Dari tadi kita mainan aja ya chilla."

Alle tersenyum lega mendengar penuturan Mbak Imas. "Makasih ya, Mbak, udah bantuin aku jaga Chilla. Maaf juga udah ngerepotin Mbak Imas akhir-akhir ini."

"Ish ... Kamu ini ngomong apa sih. Kita ini tetangga, aku bahkan udah anggap kamu kayak saudara. Nggak usah lah kamu mikir kayak gitu. Lagi pula aku seneng kok jagain Chilla, sapa tahu nanti aku juga bisa ketularan." Mbak imas nyengir sembari mengusap perutnya yang rata. Sudah delapan tahun Mbak Imas berumah tangga tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan momongan.

"Aamiin," ucap Alle mendoakan.

Alle langsung mengajak duduk Chila di sofa kecil di ruang tamunya. Tanpa diminta, Mbak Imas justru mengambilkan air putih untuk janda baru itu.

"Setelah ini apa rencana kamu, All?" ujarnya sembari mengulurkan segelas air putih.

Alle menerima gelas tersebut dan tak lupa berterima kasih. Kemudian meminum setengah dari isinya. "Belum tahu, Mbak, yang pasti aku akan cari kerja. Karena mulai sekarang nggak ada lagi yang kasih aku nafkah."

Mbak Imas mengangguk paham. "Oh ... Kalau begitu, selama kamu cari kerja biar aku saja yang jaga chilla."

Sedikit kaget mendengar tawaran Mbak Imas, tapi di hati merasa lega juga. Tanpa diminta, Allah membuka jalan pertama untuknya agar bisa sedikit lebih tenang. "Mbak, serius?"

Mbak imas mengangguk yakin.

"Terus gimana dengan mas Dito?"

"Mas dito nggak akan keberatan kalau cuma jagain chilla. Mungkin malah dia akan seneng aku punya kegiatan, dari pada tiap pagi cuma tiduran melulu."

Alle dan Mbak Imas sama-sama tertawa.

"Kalau Mbak Imas nggak keberatan, aku setuju saja Mbak. soalnya aku juga butuh orang untuk jagain Chilla biar aku bisa kerja."

Alle juga menceritakan putusan pengadilan tentang rumah yang ia tempati, juga tentang nafkah untuk Chilla. Fadil berjanji akan memberikan nafkah untuk chilla setiap bulan dan nafkah iddah untuk Alle akan diberikan sekaligus. Sementara rumah yang masih dalam angsuran akan diberikan pada Alle dan memberikan tugas mengangsur pada mantan istrinya itu.

"Yang sabar ya, All." Mbak Imas mengusap punggung Alle.

Wanita itu kini sudah tak lagi menangis kala harus bercerita tentang Fadil. "Ya, Mbak, aku udah ikhlas kok. Sekarang aku akan berjuang untuk chilla."

________________

Sejak hari itu, Alle mulai mencari lowongan pekerjaan dan mengirimkan surat lamaran ke beberapa perusahaan yang dirasa cocok dan sesuai ijasah yang ia miliki. Tentu juga yang dekat dari rumah.

Setiap pagi Alle berangkat dan memasuki gedung-gedung perkantoran demi mendapatkan pekerjaan. Ternyata semua tak segampang dalam pikirannya, tak memiliki pengalaman kerja menjadikannya harus berusaha lebih.

Ini adalah kantor ketiga yang ia datangi hari ini sejak sebulan yang lalu ia mencari pekerjaan. Di kantor ketiga ini, Alle juga mendapatkan penolakan.

Rasa letih dan haus membuatnya harus beristirahat sejenak. Ia berhenti di sebuah warteg pinggir jalan untuk membeli segelas es teh manis. Banyak karyawan yang juga makan di sana karena saat itu memang bertepatan dengan jam makan siang. Pandangan Alle mengedar menatap beberapa orang yang sedang menyantap menu warteg tersebut.

Hingga seseorang menepuk bahunya dan membuatnya harus menoleh.

"Alleyah?" sapa orang itu.

"Iya ...," jawab Alle bingung.

"Lupa, ya, sama aku?"

"Maaf, siapa, ya?"

Orang itu menggeleng. "Ya ampun, apa kita lama banget nggak ketemu, sampai kamu lupa. Aku Wina, temen satu kampus dulu. Inget, nggak?"

Alle berusaha mengingat-ingat wajah Wina. "Oh, Wina mantannya Agung?"

Wanita itu mencebik kesal. "Kok malah itu sih yang diinget. Nggak ada apa kenangan baik yang lain gitu? Misalnya Wina si cantik dari jurusan manajemen, atau Wina si baik hati yang suka neraktir."

Alle tertawa. "Maaf, soalnya yang aku ingat soal kamu itu yang kemana-mana selalu jalan sama Agung."

"Ya udah ... Ya udah nggak apa. Ngomong-ngomong, kamu apa kabar?"

"Aku baik sih, tapi lagi bingung cari kerjaan," aku Alle jujur.

"Kamu lagi nyari kerja?"

Alle mengangguk.

"Wah pas banget, di kantorku lagi ada lowongan pekerjaan jadi sekretaris. Pas banget kan sama jurusan kamu dulu."

Alle tersenyum bahagia mendengarnya. "Beneran? tapi ...." Mendadak raut wajah Alle sedikit muram mengingat pengalaman kerja yang tak ia miliki.

"Kenapa?" tanya Wina yang menyadari perubahan ekspresi Alle.

"Aku belum ada pengalaman kerja," jawab Alle tak menutupi kenyataan.

"Wah ... sayang sekali, soalnya yang dicari yang udah pengalaman."

Wina pun menceritakan semua tentang info lowongan pekerjaan itu.

"Dia itu CEO baru di kantorku. Sudah satu bulan ini lowongan sekretaris dibuka tapi pas ada yang ketrima pasti nggak bertahan lama. Ada yang baru masuk satu hari, eh ... udah dipecat aja. Orangnya rewel banget."

Wina menilik jam tangannya. "Eh, gue balik dulu ya. Udah jam masuk, nih."

Alle mengangguk.

"Nanti kalau ada lowongan lain aku kabari deh. By the way, ini kartu namaku." Wina mengambil selembar kartu nama dari dompetnya dan menyerahkannya pada Alle. "Jangan lupa hubungi aku biar aku nanti save nomor kamu," ujar Wina sebelum meninggalkan Alle.

"Makasih, ya." Alle melambaikan tangannya pada Wina yang keluar dari warteg.

Alle menghela napas kasar. Ketika ada lowongan pekerjaan, selalu yang berpengalaman yang dicari. Kembali ia memutar otak, bagaimana caranya agar segera mendapatkan pekerjaan sebelum nafkah iddahnya habis.

Terpopuler

Comments

Dewi Sri

Dewi Sri

hadir... ceritanya bagus tulisan nya gak ada yg tipo💪

2023-11-23

1

zian al abasy

zian al abasy

dsar lki"biadab ..smngaat all rjkimu akn lbih baik dr mantan suamimu justeu sblikny suamimu akn mnyesal krna telah mnceraikanmu All .Allah mha adil dn mha melihat hmmm trima ajh All jd sekertris itu

2023-11-23

1

Rowiyati Yati

Rowiyati Yati

semangat alle demi chila

2023-11-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!