Aku terdiam, tak bergerak, tubuhku tiba tiba menjadi kaku. Laki laki ini mengaku sebagai ayahku. Haah..lelucon apa ini?
Jantungku berdetak sangat cepat, dadaku jadi terasa sesak, sakit sekali,perih dan...pahit.
Seperti tulisan alamatku, isi surat ini juga diketik dengan rapi. Semua laki laki didunia ini bisa saja mempunyai kemampuan mengetik, dan mereka bisa saja melakukan tipuan murahan seperti ini, walaupun aku tak bisa memkirkan motif mereka apa melakukan hal ini pada ku.
Aku akui, aku tak punya memori sedikitpun tentang seorang laki laki yang hadir dalam hidupku untuk bisa ku panggil ''ayah''. Aku bahkan tak bisa walau sekedar hanya membayangkan wajahnya saja, tak pernah kulihat ibuku dengan seorang lelakipun. Seumur hidup aku hanya tinggal dengan ibuku.
Tak ada kata ''ayah'',''bapak'', ''papa'' dan sejenisnya, tidak ada dalam kamus hidupku dan aku merasa baik baik saja. Maksudku, aku memang tidak pernah tau seperti apa rasanya punya ikatan dengan laki laki dewasa, jadi aku sedikitpun tidak merana. Kurasa hal ini sama seperti bertanya pada situli, ''apakah suaraku merdu?'' atau bertanya pada sibuta '' bagaimana cuaca hari ini'' atau pada simiskin ''bagaimana rasanya kehilangan kartu kredit''.
Yah..begitulah kehidupan, kita takkan pernah merasa kehilangan akan sesuatu hal yang tak pernah kita miliki. Yang sering kita lakukan hanyalah selalu membanding bandingkan situasi dengan orang lain dan akibatnya malah merugikan diri sendiri, merana sendiri.
Kulirik ibuku, dan dia masih pada posisinya dari pertama aku melihatnya, diam tak bergerak, sedikitpun tidak. Persis seperti seorang pertapa. Hanya jari telunjuknya yang bergerak menekan nekan tombol remote control.
Uuuhh..tiba tiba kerongkonganku terasa kering, aku menjadi sangat haus, seperti seorang pengelana yang tersesat digurun pasir yang kering, akunharus minum sesuatu.
Aku segera beranjak dari tempat dudukku, menimbulkan bunyi berderit ketika memggerser kutsi, lalu bergegas berjalan ke lemari pendingin yang berada didapur, aku mengeluarkan es, lalu memgambil gelas dan membuat teh manis, lalu kumasukkan es tadi..
aaaahh..rasanya sangat lega dan segar lagi, setelah ku teguk es teh manis itu.
Lalu aku berjalan kembali ke kulkas, memgambil beberapa potongan buah apel dan pir , lalu kubawa kembali ke meja makan dan duduk ditrmpatku semula.
Sambil mengunyah buah yang kuambil tadi, aku kembali memikirkan surat tadi.
Ayahku terdengar seperti orang baik dan menyenangkan. Aku jadi penasaran, seperti apakah dia?, apa dia juga sama sepertiku yang suka membaca?, buku apa kira kira yang dibacanya? Aku sangat menyukai buku buku tentang kejiwaan, apakah dia juga sama?. Aku sungguh tak keberatan punya ayah yang suka membaca sepertiku. Dan ya, dia memintaku untuk mengunjunginya di kota B, aku pernah mendengar tentang kota itu, tapi aku belum pernah pergi kesana.
Aku meraih amplop yang kuletakkan dimeja makan didepanku, mencari kartu nama trman yang fikatan ayahku disuratnya.
Anthony, ada alamat dan juga nomor teleponnya.
Aku membaca nama perusahaan dibagian atas kartu. Hmmm..mungkinkah itu perusahaan ayahku?
Didalam amplop itu selain kartu nama, ada selembar lertas berukuran lebih besar dari kartu nama dan aku memgeluarkannya. Wah..ini ternyata selembar photo seukuran kartu pos. Seorang lelaki menggendong anak perempuan berusia sekitar dua tahun sambil duduk diatas sofa berwarna merah. Lelaki dalam photo itu berambut panjang sebahu, dengan kumis dan jenggot tipis, mengenakan kemeja polos berwarna krem dengan celana potongan ala ala cowboy. Lelaki itu tersenyum ceria, menatap ke kamera sambil memeluk si anak perempuan yang sedang tertawa lebar. Anak perempuan itu mengenakan baju gaun tanpa lengan dengan motif bunga bunga berwarna kuning dengan kaus kaki setinggi lutut dan sepatu hitam berpita. Tangan mungilnya memegang erat baju si lelaki.
Butuh beberapa menit sevelum aku menyadari bahwa anak perempuan didalam photo itu adalah diriku. Aku menatap photo itu lama sekali, sambil mengingat ingat kejadian itu. Tapi aku malah menjadi frustrasi karena tak ada dalam ingatanku peristiwa dalam photo itu.
Dan lagi menurut suratnya, dia pergi ketika aku belum genap berusia 1 tahun. Lalu kapan photo ini diambil? Aku menggali memoriku lagi dan lagi, tapi tak satupun kutemukan gambar ayahku didalamnya. Saat ini aku mulai ragu lagi. Aku menjadi bimbang. Surat ini bisa saja bohongankan? atau hanya kerjaan orang orang iseng yang tak punya pekerjaan.
Atau bisa jadi memoriku yang menipuku?
Ah..entahlah, lebih dari segala galanya, aku sangat berharap kemungkinan untuk bisa bertemu dengan ayahku bukanlah kebohongan semata. Aku sangat ingin melihat wajahnya, apakah benar aku mirip dengannya? karena seperti yang sudah kukatakan, aku tak mewarisi wajah cantik ibuku sama sekali.
Sekali lagi, kupandangi photo yang sedang kubpegang itu. Aku tak bisa mengingat kapan dan dimana photo itu diambil, dan melihat kenyataan anak didalam photo itu tertawa bahagia, nyaris membuatku sangat iri dan merasa bersalah padanya, karena jika bemar dia seceria itu dulu, aku akan sangat menyesal telah membiarkan dia tumbuh besar menjadi orang yang seperti aku sekarang ini.
Aku tidak bisa membayangkan kekecewaan gadis kecil didalam photo itu, apabila dia tau kalau dia yang dewasa akan menjadi seperti diriku... ''ah..maafkan aku gadis kecil'' ucapku sambil mengusap usap wajah gadis kecil diphoto itu.
Dan aku pun tak pernah membayangkan kalau aku punya ayah yang berambut panjang, seperti seorangb rock star.
Aku menyesap minumanku, lalu berdehem.
''eheem....mama, apa benar ayah dulu berambut panjang?'' tanyaku pada ibuku.
Tidak ada jawaban, aku menunggu ibuku membuka mulutnya dan menjawab pertanyaanku. Aku tetap bersabar setelah menunggu sekian menit berlalu. Karena aku sangat ingin tau, apakah benar dia berambut panjang?
Aku jadi ingat, disalah satu buku yang aku baca yaitu buku sejarah, negara ini dulunya punya cerita yang sangat absurd menurutku tentang pria yang berambut panjang. Bahkan dikantor urusan publik, mereka menempelkan pengumuman yang memuat larangan bagi pria berambut gondrong untuk melakukan pengurusan berkas berkas kenegaraan dan tidak boleh memakai pakaian yang kedodoran.
Karena bagi pemerintah jaman dulu, pria pria berambut gondrong adalah manusia yang acuh tak acuh.
Aku sungguh merasa lucu dengan peraturan itu. Apa mereka lupa kalau Yesus sendiri berambut panjang?, bahkan para nabi yang digambarkan pun kerap divisualkan sebagai lelaki yang berambut panjang.
Sungguh ironi bukan?
Jika saja aku katolik, maka kau akan marah besar dan akan berkata ''hanya orang yang tidak waras yang memgatakan pria berambut gondrong bersifat acuh tak acuh''
Pikiran tentang pria pria berambut gondrong, tiba tiba menjadi suatu ketertarikan bagiku. Sehingga aku pun tak bisa lagi menahan diriku untuk tidak mengulangi pertanyaanku pada ibuku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments