Aku yang sebenarnya ingin segera pulang mudik ke kampung halaman lagi lagi harus tertunda karena urusan pembelian properti dan ***** bengek hal hal lanjutannya yang melibatkan notaris dan pamong desa setempat.
Dua tempat yang terdiri atas tanah dan bangunan telah berhasil aku beli, dua lahan perkebunan dengan total luas 1500 meter persegi dan sebidang tanah sawah seluas dua bahu di lokasi yang strategis dekat jalan, adalah tangkapan besar untuk investasi bagiku meski harus merogoh kocek lebih dari 2 milyar.
"Gila ini luar biasa Gung bentar lagi bisa di pastikan kau akan segera meledak...heheheee..." Ujar Aceng sambil menepuk lenganku dengan kerasnya. Sesaat setelah acara tanda tangan untuk balik nama atas aset aset itu sekaligus pembayaran di balai desa Krajan.
"Ceng urusan persekot untuk pihak desa beres ?" Ujarku menanyakan urusan uang lelah buat pamong desa yang ikut terjun mengurusi urusanku.
"Beres boss semua sudah tertransfer pada yang berhak menerimanya." Jawabnya.
"Kalo gitu ayo anterin sekalian ke kantor Polres." Ujarku.
"Mau bikin SIM kan? ayo siapa takut. Jika perlu ke showroom sekalian kan...tapi yang penting makan minum juga bbm dan rokok gratisnya jangan lupa wokey...?" Ujar Aceng.
"Silahkan sampe perutmu meledak juga ga masalah." Jawabku sambil tertawa.
Hari itu juga hampir semua urusan kelar sim A sekaligus kendaraannya. Mobil berjenis suv seharga hampir 600 juta telah ku miliki. "Sekarang waktunya untuk membahagiakan keluargaku," Pikirku.
"Ceng...nah sekarang waktunya kamu bekerja, tolong hitung biaya untuk memoles gudang Haji Iim jadi tempat yang nyaman berkonsep mall untuk jualan sandang? Dan sekalian rumah yang di dekat Cijengkol rombak bikin model seperti kos an!" Ujarku saat kami tiba di parkiran restoran minang di daerah Kalijati.
"Gampang itu mah sekarang waktunya makan malam dulu kan." Ujarnya enteng.
"Ya udah buruan pesen aza samain aza pesenannya!" Kataku.
"Jadi gini Gung kalo kubilang elu nemu emas kalo beli gudang terbengkalai Haji Iim itu tak sepenuhnya salah, itu bangunan sebenarnya tinggal finishing saja yah paling butuh sekitar 200 an juta lagi untuk menyulapnya jadi model mall, itu juga banyaknya untuk pengeluaran cat." Ujar Aceng saat kami nunggu pesenan makanan kami.
"Kau yakin? itu tiga lantai loh. Dan lantai paling atas rencananya untuk gudang, bukankah itu memerlukan jalan untuk akses langsung dari bawah." Ujarku namun segera terjeda karena makanan yang kami pesan sudah datang.
"Ya sudah ayo kita santap dulu. Btw ceng nanti Dewi dan bonyokmu kamu bungkusin aza sekalian yah itung itung buat oleh oleh." Ujarku melanjutkan.
"wayah segini mah mereka sudah kenyang atuh Gung, entar aza di Pwd berhenti sebentar nyari gehu, dan pisang molen." Kata Aceng lalu mulai menyantap hidangannya.
Keesokan paginya kami kembali membahas tentang rencana usaha yang akan kujalankan dengan melibatkan orang tua Aceng, lagipula mereka juga sudah bersedia untuk mengelola sawah dan perkebunanku dengan sistem bagi hasil fifty fifty.
Barulah setelah menyempatkan istirahat siang, malamnya aku berpamitan untuk pulang ke kampung halamanku di central java. Tak lupa kuberikan cek senilai 1,5 milyar pada Aceng untuk proyek renovasi gudang dan rumah dengan model yang kuinginkan. Rumah yang terletak di dekat kali cijengkol itu rencananya untuk digunakan sebagai akomodasi karyawan yang akan kubawa dari kampung nantinya.
Sedangkan aku yang sangat memerlukan privasi tentu akan menempati rumah keluargaku yang berdekatan dengan kediaman keluarga Aceng.
Setelah semalaman di perjalanan, aku akhirnya sampai di desaku ketika fajar telah menyingsing di ufuk timur dengan temaram cahaya merah perlahan lahan makin lama makin menyebar menerangi bumi yang alamnya begitu indah dan ku rindukan itu. Melintasi jalan persawahan menuju kampungku, aku melihat ada aktivitas di sawah keluargaku yang letaknya memang persis di pinggir jalan dan hanya berselang tiga lahan sawah saja dari tanah kampung.
Tapi saat aku melihatnya dengan lebih jelas, orang yang sedang mencangkul bikin galengan sawah itu bukanlah ayahku melainkan Lik Yono yang juga adik kandung Pakde Joyo yang juga kakak ipar bapakku atau lebih tepatnya Pakde Joyo adalah suami dari Bude Marni kakak kandung bapakku.
Berkali kali aku membunyikan klakson mobil untuk sekedar menyapa dan memberi salam pada orang orang yang mulai sibuk beraktivitas.
"Asalamualaikum!!!" Ucapku pada bapakku yang tengah tertegun memandang ke arah mobilku yang sengaja kuparkir di luar pagar, kulihat ayahku langsung tersenyum semringah dan setengah berlari menghampiriku. Saat itu beliau tengah sibuk memberi makan ayam ayam peliharaannya.
"Pak apa kabarnya." Ujarku sambil mencium buku tangannya yang mulai agak keriput lalu justru bapakku lah yang memelukku. Kulihat matanya berkaca kaca.
"Pak...ibu masih di rumah? kata Aceng ibu sudah 6 bulan belum kembali ke Krajan." Ujarku sambil tersenyum namun justru bapakku tampak muram.
"Bapak baik baik saja kan, Anis mana kan sudah kukirim duit untuk beli hp kenapa ga pernah hubungi aku." Ujarku lagi yang kulihat bapakku makin tertegun bingung.
"Masss Agunggg....!!!" Ujar Anis sambil berlari menghambur ke arahku dan memelukku erat erat lalu menangis tersedu sedu.
"Heiii.... kenapa nangis bocil...mas kan sudah datang dan bawain kamu banyak oleh oleh." Ujarku sambil mengusap usap rambut kepala adikku yang sangat kusayangi itu.
"Ibuk mas...ibuk ..." Ujar Anis sambil terisak isak dalam tangisnya.
"Ibuk kenapa dek...beliau sehat sehat saja kan? Ibuk lagi sibukkah? masak yah....apa...?" Ujarku.
"Ibuk sudah tiada mas...." Ujar Anis semakin tersedu tangisnya. Aku sendiri tertegun, specless. Aku harap Anis ngeprank aku. Ya Allah.
"Sudahlah ayo masuk dulu...ga baik bicara di luar." Ujar bapakku sambil berlalu ke dalam tanpa menoleh ke arahku.
"Benarkah dek? Tapi dulu itu kan ibuk sehat sehat saja...." Gumamku, lalu melangkah perlahan karena Anis menarik tanganku.
Setelah duduk di dalam mengalirlah cerita dari bapakku dan Anis yang menceritakan keadaan terutama setahun terakhir yang berat kondisinya bagi mereka yang puncaknya adalah ibuku meninggal lima bulan yang lalu.
"Jadi sawah kita di jual ke Mas Harno, pak?" Tanyaku.
"Terpaksa nak saat itu bapak butuh banyak duit untuk perawatan ibumu, meskipun Alhamdulillah duit 2 juta tiap bulan yang rutin kamu kirimkan sangat berarti bagi kami." Ujar bapakku, yang lagi lagi membuatku tertegun.
"2 juta pak..jadi bapak hanya terima 2 juta saja dari Mas Harno, tapi aku kirimnya paling tidak sedikitnya 5 jutaan pak tiap bulan, bahkan dua bulan yang lalu aku lebihin 5 juta lagi supaya di belikan hp buat Anis, apakah Mas Harno tidak ngasih kamu hp dek?" Ujarku mulai pepat dadaku apalagi saat Anis hanya menggelengkan kepalanya.
"Bangsat Harno...beraninya dia menipu aku." Gumamku lirih, sementara Anis dan bapak serempak hanya menatapku penuh tanda tanya.
Tiba tiba terdengar ketukan pintu di iringi ucapan salam dari luar rumah.
"Asalamualaikum...paklik....Aniss...!" Ucap merdu suara seorang perempuan, yang serempak kami langsung menoleh ke arahnya.
Perempuan itu sangat cantik sempurna dengan hijabnya, di tangan kanannya membawa piring yang aku tak tau apa isinya karena tertutup selembar daun pisang.
"Mbak Sari masuk mbak...!" Ujar Anis lalu berdiri menyambut wanita yang terlihat sebaya denganku itu.
"Masuk nduk Sar!" Timpal bapakku juga.
"Maaf ganggu dek sedang ada tamukah?" bisik perempuan cantik yang di panggil Sari oleh bapak dan adikku itu kepada Anis namun terdengar jelas di telingaku.
"Oh bukan tamu mbak...itu Mas Agung kakakku, mari kenalan dulu." Jawab Anis sambil tertawa kecil.
Aku pun berdiri dan melangkah menghampiri bidadari di hadapanku itu dengan senyumku yang terkembang.
"Kenalin Mbak Sari aku Agung putra Bapak Marno, kakaknya bocil ini." Ujarku sambil mengusap rambut Anis.
"Enak aza bocil aku sudah SMA mas..." Balas Anis sewot dengan muka cemberut lucu membuat adikku itu terlihat semakin manis.
Kami pun bersalaman dengan erat sambil mata kami saling bertatap dan bibir saling tersenyum.
"Namaku Sari mas...istri Mas Farhan." Ucapnya lembut.
"Ohhh...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments