Bapak dan Anis bergantian melihat dengan seksama gambar design calon rumah kami nanti. Sengaja aku biarkan mereka memilih juga meskipun aku juga sudah punya pilihan model sendiri. Sementara aku asyik melahap goreng bakwan yang tadi ku beli saat melintas perjalanan pulang dari padepokan.
"Mas ini bagus bagus semua...aku bingung." Keluh Anis sembari mengambil gambar yang baru saja habis di lihat bapak.
"Ini semua model rumah berlantai dua ya nak?" Tanya bapakku.
"Ya begitulah pak." Jawabku singkat sambil mengunyah sepotong bakwan yang baru saja ku gigit.
"Ini setidaknya butuh anggaran lebih dari setengah milyar untuk masing masing rumahnya. Memang kamu ada duit segitu." Tanya bapak lagi sementara aku asyik mengunyah.
"Ya ada lah pak, kemarin aza aku sudah habis 4 milyar lebih di Krajan, untuk beli beberapa properti dan renovasinya." Jawabku.
"Mas rasanya aku mantab sama yang ini deh." Ujar Anis menimpali sambil menyodorkan gambar yang sedang ia pegang padaku.
Gambar itu pula design rumah yang aku pilih dalam hati dan ternyata sesuai dengan pilihan adikku pula.
"Iya seleramu bagus dek..." Balasku menanggapi dengan santai, setelah meneguk air mineral dalam botol plastik bermerk.
"Gimana pak...kalo yang ini bapak setuju kan?" Ujar Anis merajuk pada bapak.
"Iya itu bagus kok, semua bagus bapak terserah kalian saja." Kata bapak sambil tersenyum, tampak terpancar sebersit kebahagiaan dari raut wajahnya yang mulai menua meski masih tampak segar.
"Duit sisa sawah masih ada 150 juta nak jika kamu mau pakai." Lanjut bapak.
"Nggak pak, tenang aza duit kita berlebih kok pak." Jawabku santai.
"Memang mas ngapain seh kerjanya di Jepang, ngga ngerampok kan mas?" Timpal Anis sambil mengunyah sepotong goreng ubi yang habis ia gigit.
"Hush kamu itu sembarangan, aku hanya beruntung saja kemarin pas di Jepang jadi ada tambahan rizky yang bisa kau pakai buat jajan bocil." Tukasku.
"Terus kapan mau di mulai rencananya?" Tanya bapak.
"Secepatnya pak, soalnya yang di Krajan juga sudah mulai di garap, kalo di sana rampung aku harus segera kesana." Jawabku.
"Baiklah berarti kita borongkan saja pembangunannya pada Kang Bejo, jadi dia tenaganya trus kamu beli alatnya sendiri biar agak irit." Kata bapak memberikan sebuah saran yang cukup baik menurutku.
"Iya pak aku nurut, tapi Kang Bejo itu siapa ya pak?" Tanyaku.
"Suaminya Mbak Yeni mas." Timpal Anis yang menjawab pertanyaanku. Yeni tetangga kami termasuk kakak kelasku dua tingkat saat kami masih bersekolah.
"Dia cukup bagus kok garapannya dan rapi juga cepat, biasanya seh kerjanya di kota kota, tapi kalo ada garapan di rumah dia juga mau." Ujar bapak menambahi.
"Baiklah pak nanti tolong bapak yang atur yah, terus nanti kalo rumah di rombak kita gimana pak?" Tanyaku.
"Gampang itu, nanti biar di bikinkan bedeng sementara dari bekas rumah yang di bongkar." Ujar bapak.
"Okey boss siyap klo gitu." Ujarku.
"Ya biar nanti malam bapak ke tempatnya Bejo, trus besok kita harus segera toko matrial untuk beli alat alatnya." Kata bapak menambahi.
Dua hari kemudian pengerjaan rumah kami benar benar di mulai dengan di awali dengan membongkar rumah lama yang sebenarnya berdinding kayu jati lawas yang sayangnya sudah tampak kusam karena di makan usia.
Sementara kami menyerahkan urusan konsumsi kepada Bude Marni yang di bantu oleh Mbak Sari menantunya meski aku mulai paham jika keduanya sering tidak cocok satu sama lain atau biasa yang disebut sindrom mertua dan menantu.
Aku dan bapak sendiri juga ikut repot serabutan dengan semua urusannya. Kang Bejo sendiri kulihat memang cukup profesional dalam mengatur anak buahnya meski dia sendiri ikut berperan sebagai tukangnya.
Sementara dari Krajan, Aceng juga selalu ngasih update info tentang progres proyek, sekaligus untuk meminta pertimbanganku mengenai detail yang harus di benahi ataupun di kerjakan yang sesuai seleraku.
Beberapa hari berlalu, dan hari masih sangat pagi ketika bedeng yang kami tinggali di ketok ketok oleh Bude Marni.
"Ada apa Yu kok kaya orang titir?" Tanya bapakku setelah membukakan pintu untuk Bude Marni yang ternyata juga ada Mbak Sari di sebelahnya.
"Ini mau minta tolong Agung untuk nganter Sari ke halte bis, tadi dia telpon katanya mamanya jatuh di kamar mandi." Ujar Bude Marni, dengan agak ketus.
"Hahhh...trus gimana keadaan Mama kamu sekarang nduk? baiklah biar Agung nganter kamu nduk." Ujar bapak sambil menoleh ke belakang hendak memanggil ku, namun urung karena aku sudah bersiap saat mendengar permasalahannya.
"Ada ada saja orang lagi sibuk selalu ada gangguan." Gerutu Bude Marni lirih namun sangat ketus terdengar lalu ngeloyor pergi.
"Baiklah mbak...silahkan bersiyap aku mandi sebentar yah nanti aku akan antar mbak sampai Ambarawa saja sekalian." Ujarku tak tega saat melihat wajah ayu istri sepupuku itu tampak sembab habis menangis sambil menjinjing sebuah tas travel kecil di tangannya.
"Ya sudah buruan!" Perintah bapak yang ikut jadi panik.
"Lagi di pakai Anis kamar mandinya." Ujarku mengacu pada sumur yang ada di belakang bedeng, yang justru berada di depan rumah lama kami.
"Tunggu sebentar ya nduk! Nisss!! buruan tow nduk mandinya!!" Ujar bapak yang justru menjadi heboh membuatku mau tak mau jadi tersenyum melihat rempong nya bapakku.
"Mbak Sari kalo gitu ayo masuk dulu saja, tenang saja begitu selesai aku mandi kita langsung otw kok. Berdoa saja semoga ibu mbak tetap baik baik saja." Ujarku menenangkan Mbak Sari yang sepertinya sangat bersedih hingga tak menghiraukan apapun kecuali air dari mata indahnya yang terus mengalir hingga memaksanya untuk menyekanya.
"Iya nduk ayo masuk dulu!" Ujar bapakku yang akhirnya membuat Mbak Sari mengangguk dan masuk ke dalam bedeng rumah darurat kami.
Bersamaan dengan Anis yang dengan cueknya masuk bedeng dari belakang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Aku pun segera bergegas menyambar handuk di sampiran dan pergi ke kamar mandi. Dan sebentar kemudian dari kamar mandi ku dengar giliran Anis yang heboh setelah memahami yang terjadi.
Sejam kemudian Aku dan Mbak Sari yang duduk di sebelahku telah sampai jalan pinggiran kotamadya yang penuh pepat dengan berbagai kendaraan yang ikut menggunakan jalan raya yang sebenarnya juga sudah di perlebar itu, membuat perjalanan kami terpaksa merayap.
"Mbak...kuharap ibu mbak ga kenapa kenapa yah." Ujarku menghibur Mbak Sari yang hampir selalu diam saja.
"Iya mas terimakasih, sedihnya kenapa justru kalian yang sangat baik padaku." Ucap Mbak Sari lirih.
"Oh maaf mbak atas sikap bude, aku harap jangan di ambil hati yah. Anggap saja masih kena penyakit sindrom mertua menantu." Ujarku yang membuatnya menatapku.
"Iya mas... gapapa kok kalo itu sudah biasa." Ucapnya dengan tatapan mata kedepan yang kosong seperti menyiratkan masalah yang begitu pelik yang sedang di hadapinya.
"Pokoknya jangan pernah sungkan dengan kami ya mbak, kali butuh bantuan kami apapun itu selama bisa kami pasti akan selalu ada untuk mbak." Ujarku lagi.
Mbak Sari hanya terdiam namun tiba tiba saja terdengar isak tangisnya yang entah kenapa terasa mengiris hatiku.
Jalanan mulai agak lancar ketika kami sudah melewati pabrik garmen besar yang masuk dalam wilayah administrasi daerah kabupaten ku meski letaknya justru dekat dengan kotamadya. Namun tetap saja aku tak bisa memacu mobil lebih cepat karena semrawutnya lalu lintas, dan juga banyaknya traffic light di hampir persimpangan jalan, membuatku memilih menggunakan jalan tol.
Dan hanya butuh sekitar 40 menit saja untuk sampai di daerah Bawen sekaligus lepas dari jalan tol dan kembali menghadapi semrawutnya jalan raya.
"Mbak tolong di pandu yah." Ujarku saat kami berhenti di sebuah lampu merah persimpangan.
"Kita belok kanan saja mas, kata kakak mama di rawat di RS Ungaran." Jawab Mbak Sari yang telat ngasih info, pikirku andai tadi ngomongnya kan kita masih bisa lewat tol.
"Maaf yah mas aku sengaja tak ngomong lebih awal, biar jangan terlalu cepat sampainya." Ujar Mbak Sari cuek tanpa dosa membuatku hanya tersenyum bias entah apa maksudnya dia begitu.
"Iya slow aza mbak itung itung healing buat kita. sibuk ngantri jalanan Semarang." Ujarku mulai mencoba berdamai dengan sumpeknya lalin jalanan menuju Ungaran.
"Hihihi maaf ya mas..." Ujar Mbak Sari mulai tersenyum.
"Oh ngapain minta maaf mbak...wanita cantik itu ngga pernah salah kok aturannya." Ujarku yang bisa kulihat dari kaca membuat wajah ayunya itu merah merona dan menyunggingkan senyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments