MIMPI TERAKHIR

Berita selanjutnya, sebelum fajar pagi ini. Sebuah pesawat dari Makassar menuju Jakarta mengalami kecelakaan tunggal, sampai saat ini belum dipastikan penyebabnya. Puing-puing pesawat maskapai lokal, ditemukan di area pegunungan setempat. Dilaporkan bahwa pesawat itu mengangkut 102 orang saat ini hilang kontak Minggu (29/5) waktu setempat.

Perkiraan, dinyatakan bahwa korban tidak ada yang selamat dari kecelakaan tersebut. Pesawat itu hilang kontak dengan menara kontrol bandara saat hendak mendarat di area sungai yang dalam disekitar puncak pegunungan.

Layar televisi menampilkan para korban kecelakaan pesawat. Wajah-wajah yang tak asing terpampang di sana. Mustahil! Bagaimana mungkin…? Bayangan mengerikan itu menghantuinya. Cengkeraman dingin membekukan jantung Finattalia.

"Ega tidak boleh melihat ini," gumam Finattalia, segera mencari cara agar Ega tak mengetahui berita duka ini.

"Fizri, kau pengecut! Bukan ini yang kumau. Kita sepakat membawa pertarungan ini ke arena balap, bukannya membawa malapetaka!"

"Brengsek kau, Fizri! Kau telah membawa duka mendalam bagi Ega."

"Arrgh…! Ega sungguh naif jatuh cinta pada pria seperti Fizri."

"Ega… maaf. Apakah aku harus bahagia atau berduka? Aku sendiri tak tahu."

Fikri terpaku menatap layar televisi. Matanya memerah, lidahnya kelu. Ia teringat seseorang; bagaimana jika orang itu mengetahui berita ini? Ia tak mampu membayangkan betapa hancurnya orang itu nanti.

"Waalaikumussalam. Ada apa, Finatt?" Ibu Fhimasari, ibunda Ega, menjawab dengan suara yang sedikit gemetar, seakan merasakan gelisah yang sama.

Finattalia tergagap, kata-kata seakan tercekik di tenggorokannya. "Ehm... Ega sudah berangkat sekolah, Bu?" Pertanyaan itu terdengar seperti jeritan yang tertahan.

"Ya ampun, hampir saja aku lupa. Tolong mampir ke rumah ya, mau nitip surat izin. Ega sedang sakit." Suara Ibu Fhimasari terdengar semakin lemah, menambah rasa panik Finattalia.

"Ega sakit apa, Bu? Aku kesana sekarang juga." Finattalia berlari mengambil jaket dan tas, didorong oleh rasa takut yang menggigit. Kecemasan itu membuncah, mengancam akan merenggut akal sehatnya.

"Finatt, sarapan dulu?" Suara terdengar samar, tenggelam oleh badai kecemasan yang menerjang Finattalia.

"Tidak, Bun. Lagi buru-buru! Aku harus ke rumah Ega. Assalamualaikum." Suaranya bergetar, mencerminkan kepanikan yang membuncah.

"Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan, Finatt." Finattalia membalas dengan senyuman yang dipaksakan, sebuah topeng yang menyembunyikan rasa takut yang mencengkeramnya.

Tak lama kemudian, ia tiba di depan rumah Ega. Bunyi bel pintu berdenting nyaring, menambah deru jantungnya yang berdebar kencang. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu dengan senyum yang terasa dipaksakan, menambah rasa takut Finattalia.

"Assalamualaikum." Suaranya hampir tak terdengar, ditekan oleh gelombang kecemasan yang menggulungnya.

"Waalaikumussalam. Silahkan masuk."

Langkah Finattalia terasa berat, seperti berjalan di atas bara api. Ia melangkah cepat, didorong oleh rasa takut yang menggigit, kecemasan yang membutakan.

Tok! Tok! Tok!

"Ega..." Suaranya bergetar hebat, mencerminkan kepanikan yang menguasai dirinya.

Tak ada jawaban, keheningan menyelimuti seisi kamar minimalis itu. Ia perlahan membuka daun pintu, agar tidak mengganggu istirahat sahabatnya. Matanya berkaca-kaca melihat seorang gadis terbaring lemas, wajahnya bagitu pucat dan terlihat sedikit lelah. Finattalia perlahan melangkah ke arah Ega, hatinya begitu ngilu melihat penderitaan sahabatnya itu.

Ia merasakan sebuah usapan di kepalanya. Gadis itu perlahan membuka matanya, Ega masih diam sambil mengangguk pelan. Air mata mengalir di sela-sela matanya, ia tidak sanggup mengangkat tubuhnya sendiri meski hanya sekedar ingin bersandar.

"Finatt …" Lirihnya begitu memilukan.

Tubuh gadis itu perlahan diangkat dengan lembut, lalu menyelipkan sebuah bantal yang empuk di belakang punggungnya.

"Jika tidak nyaman. Lebih baik berbaring aja!"

"Hem. Tidak masuk sekolah?"

"Aku sudah izin ke guru, tidak masuk hari ini."

"Hem. Baiklah."

Menggenggam erat tangan sahabatnya. Ega menghela napas pelan. "Finatt-aku-takut…"

"Takut kenapa?"

"Finatt. Mimpiku tadi malam aneh?"

"Aneh kenapa?" Mengernyitkan dahi, merasa ada sesuatu sudah terjadi kepada Ega, sehingga keadaannya seperti saat ini.

"Aku bermimpi Fizri datang kepadaku. Dia …" Tangisnya seketika pecah yang sudah sedari tadi di bendung.

"Dia … dia …" Mengatur pernafasannya yang sudah tidak terkontrol.

Finattalia mematung, tatapannya kosong. "Apakah dia sudah mengetahui berita pagi ini? Tak mungkin! Ega tidak boleh tahu kalau …"

"Dia pamit untuk pergi selamanya, hiks … hiks!"

"Fi…" Tatapannya perlahan memudar.

"Ega …"

"Bu…!"

"Bu…"

"Iya, ada apa Finatt?"

"Ega tak sadarkan diri!"

"Asstagafirullahazim…"

Usapan demi usapan ditangannya. Belum ada tanda-tanda kesadaran anaknya. Bau minyak kayu putih sudah begitu menyengat di indra penciuman. Ibu Fhimasari sudah merasa putus asa, dimana saat seperti ini. Suaminya lagi keluar kota untuk menjalankan bisnisnya.

Seorang gadis yang masih memakai baju putih abu-abu terduduk di sudut atas kasur memberi sentuhan hangat di tangan Ega. Kurang lebih tiga puluh menit, gadis itu terbaring seolah tidak bernyawa, Ega perlahan membuka kedua bola matanya.

Ia perlahan beranjak dari tempat tidur anaknya. "Finatt, ibu titip Ega ya?"

"Oky. Siap Bu."

Satu tangan gadis itu perlahan naik memijat keningnya yang sedikit sakit, ia perlahan membuka kembali matanya. Sebuah sentuhan di pundak, membuat Ega sedikit merespon dengan senyuman dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Ega."

"Kamu kenapa?" Tanya Finattalia. Ia mengusap air mata diwajah sahabatnya itu. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Ega.

"Ega … aku pulang dulu ya! besok aku sini lagi" Tutur Finattalia sambil beranjak dari kasur gadis itu.

Membuang nafas seraya mengangguk pelan. "Iya. Hati-hati-ya"

...ΩΩΩ...

Gadis ini sontak terbangun ketika mendengar azan subuh, dengan tubuh yang masih sedikit melemah, karena penyakit menyerang imun tubuhnya beberapa jam yang lalu. Perlahan ia melangkah untuk menunaikan sholat subuh. Setelah melaksanakan kewajibannya, baru saja hendak melipat sajadahnya, ia dikejutkan oleh sosok yang tengah berdiri dihadapannya. Senyumnya merekah ia perlahan berjalan kearah gadis itu. Sebuah usapan lembut mendarat di atas kepalanya. Senyumnya hangat, tapi seperti seolah-olah sedang menahan rasa dingin disekujur tubuhnya, terlihat jelas di wajahnya yang begitu pucat.

"Fizri…" Membeku, tatapannya kosong Ega merasa heran. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa berada di dalam kamarnya.

"Jaga dirimu baik-baik ya?"

"Jangan bersedih lagi ya?"

"Semoga kita dipertemukan kembali di…"

"Aku mencintaimu, tapi Allah lebih mencintaiku Ega"

"Ikhlaskan-lah…"

"Janji esok hari jangan bersedih lagi, aku sedih loh!" Ledekan itu mampu mengukir senyum sekilas di wajah Ega.

"Selamat tinggal, Fazri bucinmu pergi."

"Ega…" Sebuah kecupan sekilas mendarat di dahi gadis yang sedang terpaku di atas sejadah, tatapan mereka tertangkap begitu lama.

"Assalamualaikum, Firzahra Ega sayang…" Sosok itu kembali menghilang dari pandangannya.

"Tidak!"

"Fizri, jangan lagi-kumohon …!" Ia terbangun saat ini dia mendapati dirinya masih memakai mukena, tanpa ia sadari Ega sudah tertidur cukup lama di atas sajadah.

"… Aku mencintaimu, tapi Allah lebih mencintaiku Ega." Ega kembali memutar memori dipikirannya yang sempat ia rekam begitu jelas.

Apakah Fizri sudah menemukan penggantiku? Atau mungkin… dijodohkan? Jika memang begitu, aku ikhlas. "Terima kasih, Ya Allah. Akhirnya Kau kabulkan doaku selama ini."

Kata-kata itu terucap dari bibir Ega, polos dan lugu. Ia tak mengerti arti sesungguhnya dari pesan tersirat di balik kata-kata sang kekasih. Kepolosannya itu justru menambah lapisan kesedihan yang menusuk hati. Ia meyakini bahwa doa-doanya telah dikabulkan, tanpa memahami bahwa "kabulkan" itu justru bermakna pelepasan. Sebuah pelepasan yang menyisakan luka mendalam di hatinya yang masih muda.

...ΩΩΩ...

Jarum jam baru menunjukkan pukul enam pagi, namun Ega sudah terbangun. Jauh lebih awal dari biasanya, terutama di akhir pekan yang seharusnya dipenuhi dengan kelembutan dan kemalasan. Ia duduk sendirian di kursi taman, menikmati sentuhan hangat sinar matahari pagi—sebuah upaya untuk mengisi kembali cadangan energi tubuhnya yang beberapa hari terakhir terbaring lemas, tak berdaya.

"Ega…" Suara itu, lembut dan penuh perhatian, membuyarkan lamunannya.

"Ehh… Finatt! Silahkan duduk." Ega tersenyum, sebuah senyuman yang masih terlihat pucat.

"Tumben, datang pagi sekali." Finattalia menatap Ega dengan penuh perhatian, mengamati perubahan yang terjadi pada sahabatnya itu.

"Hem… emangnya nggak boleh, ya?" Finattalia balik bertanya, suaranya terdengar sedikit lesu.

"Bukan begitu maksudku, Finattalia… Kamu bebas datang kapan saja." Berusaha meredakan suasana tegang yang tercipta.

"Hehehe… aku bercanda, sayang. Aku ke sini mau mengajakmu jalan-jalan di taman, sambil olahraga ringan." Finattalia meraih tangan Ega, memberikan sentuhan lembut yang penuh pengertian.

"Hm… boleh juga. Aku pamit sama Mama dulu, ya?" Seulas senyum kembali merekah di wajah Ega, sebuah tanda bahwa ia mulai merasa lebih baik.

"Ok!" Nat mengangguk, mata menatap Ega dengan penuh kasih sayang.

...ΩΩΩ...

Ega berjalan sendirian menuju ke arah taman setelah berpisah dengan Finattalia di parkiran. Ia memasang ekspresi bahagia senyumnya kini kembali terukir yang mana sudah hilang beberapa hari yang lalu. Earphone terpasang di kedua telingannya, menikmati udara segar di pagi, angin lembut menyentuh pipinya. Perlahan ia menutup matanya menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Hm! Lalaaa… lalaaa…! Alunan musik yang begitu indah. Sebuah ayunan di bawah pohon rindang menariknya melangkah ke sana.

Seorang gadis mendekat dengan dua botol minuman di tangan. "Minum dulu, biar nggak lelah," ujarnya lembut, menawarkan kesegaran di tengah suasana yang masih terasa berat.

Ega terkekeh pelan. "Terima kasih, Finatt. Uh!" Ia meneguk minuman itu dengan nikmat.

"Finatt, dorong ayunan ini, tapi pelan-pelan ya?" Sebuah jentikan jari ringan di udara menjadi isyarat. "Oke," jawab Finattalia sigap.

"Siap!" Ia mendorong ayunan Ega dengan hati-hati.

"Ga, gimana keadaanmu sekarang?" Finattalia bertanya dengan nada penuh perhatian.

"Aku sudah jauh lebih baik, kok. Oh iya, Finatt. Besok kita belanja novel baru, yuk…" Seulas senyum menghiasi wajah Ega, menunjukkan secercah harapan yang kembali tumbuh.

"Oke, aman. Besok aku jemput. Khusus besok, aku jadi ojol gratismu, hehehe…" Finattalia menggoda, mencoba untuk mencerahkan suasana.

"Uhhh, terima kasih…" Ega merespon dengan tawa kecil.

Sejenak kemudian, suasana menjadi hening.

"Hai! Apa kabarmu di sana?" Ega memecah keheningan, suaranya terdengar pelan.

"Hai! Kok diam saja?" Ia kembali bertanya, mencoba untuk mencairkan suasana.

"Hmm… nggak papa," jawab Ega lirih. "Aku tenang, tapi nggak sebahagia dulu. Sungguh, aku sangat merindukannya, Finatt." Suaranya bergetar, mengungkapkan kesedihan yang terpendam.

Finatt memeluk erat tubuh Ega. Bulir-bulir bening menetes dipipi pucatnya. Mulutnya terasa keluh untuk mengeluarkan sepatah kata, rasanya sakit. Finattalia hanya bisa memberi pelukan hangat, membiarkan gadis itu meluapkan semua emosinya.

"Jika, ada kesempatan bolehkah aku memilikimu lagi?"

-Ega

...ΩΩΩΩ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!