Fikri berfikir sejenak. Hal menyenangkan? Senyumnya perlahan merekah ketika nama seseorang terlintas dipikirannya. Dengan terburu-buru, ia mengambil ponsel di nakas. Jari jemari pria itu menari-nari di atas layar ponsel ia mencari nama seorang gadis di salah satu kontak WhatsAppnya. Ha ini dia! Setelah menemukan apa ia cari, Fikri mengirim pesan singkat ke gadis itu.
Pukul 21.00 WIB. Ega merebahkah tubuhnya di atas kasur single-nya. Ia menatap ponselnya belum ada notifikasi masuk dari seorang yang di tunggu, sudah beberapa minggu ini dia sudah lost contact. Suara notifikasi dari ponselnya kembali mengalihkan perhatiannya. Dahi berkerut ketika melihat nomor whatsApp yang tidak dikenal. Penasaran, Ega membuka sebuah pesan. "Good Night Ga!" Ia berfikir sejenak sebelum akhirnya membalasnya. Hem! Bukan Fizri terlintas begitu saja difikirannya.
Tanda 'sedang mengetik' muncul di page atas. Sehingga ia mengurungkan niat untuk membalas, dan memilih menunggu pesan selanjutnya.
Sebuah pesan singkat masuk.
Ega lebih memilih nge-read daripada membelas pesan itu. Meski Ega tidak memiliki perasaan ke Fizri, ia tetap menghormatinya. Fikri merasa diabaikan, setelah sepuluh tahun berlalu akhirnya ia bisa menghubungi Ega. Sebelumnya dia telah berusaha ingin menghubungi Ega meski lewat chat. Setelah mengetahui Ega sudah berpacaran dengan Fizri, Fikri merasa terhianati. Ia pun berusaha merebut hati Ega, yang sebelumnya ia pendam dan melindunginya dari jauh, karena ia tahu Ega tak pernah mau berpacaran. Apalagi soal cinta.
"Kenapa Ega bisa berpacaran dengan Fizri, sejak kapan?" Fikri merenung di sudut kamar.
Ega kembali melihat ponselnya, mencari nama Fizri berharap ada respon dari lelaki yang beda lokasi saat ini. "Fizri apa kabar ya?" Diam sejenak, lalu Ega meletakan ponsel di atas meja belajarnya.
"Kenapa perasan ini terlihat janggal? Aku tidak mungkin jatuh cinta. Cinta hanya
membuatku bodoh."
"Arrggh! Tidak boleh, ini hanya status tanpa melibatkan perasaan. Ok!"
"Tunggu, air mata? Pipiku basah?"
"Hahaha… tidak. Tidak mungkin, cinta itu hanya kebodohan. Huft."
"Tapi, kenapa aku begitu merindukannya…"
"Akui saja bestieku…"
"Finatt? Sejak kapan kamu berdiri disana?"
"Sejak kamu berputar-putar seperti bianglala. Hahaha…"
"Arrggh! Finatt!"
"Heuks…"
"Finatt-aku-takut…"
"Takut jatuh cinta? Atau takut kehilangan?"
"Entahlah Finatt, sepertinya senjata makan tuan. Aku–"
"Apa?"
"Huff… sepertinya sudah–"
"Ahhh, ribet banget punya bestie konyol seperti kamu ini. Mana sok-sok akan
mencobalangi aku dengan kapten basket. Padahal dia sendiri goblok."
"Fizri…! aku kangen banget! Kamu ngerti nggak sih?! Rasanya aku udah jatuh cinta deh sama kamu! Pasti kamu seneng banget, kan?" ujar Ega, senyumnya merekah sembari memandangi foto mereka berdua di pantai, debur ombak dan langit senja menjadi latar belakang foto yang berhasil Finattalia jepret diam-diam. Foto itu menangkap momen ketika mereka tertawa lepas, rambut Ega diterbangkan angin.
"Hahahah, lucu banget sih! Bestie aku satu ini kalau lagi jatuh cinta."
Tak ada yang menyangka, study tour semester itu akan menjadi pertemuan terakhir Ega dengan Fizri. Namun, kesempatan singkat itu mereka manfaatkan sepenuhnya. Sepanjang hari itu, di Pantai Losari dengan pasir putihnya yang lembut dan angin laut yang sepoi-sepoi, di bawah langit biru cerah yang sesekali dihiasi awan putih, mereka tak pernah lepas dari satu sama lain, menciptakan kenangan yang begitu berharga. Meski hanya sehari, waktu yang mereka habiskan bersama terasa begitu intens dan bermakna, meninggalkan jejak mendalam di hati Ega yang tak akan pernah terlupakan. Suara debur ombak dan kicau burung menjadi latar musik alami bagi kisah singkat namun berkesan ini.
Tiba-tiba suasana menjadi sangat hening, ia mengabaikan pesan yang tak bernama itu. Ega pun kembali menatap layar ponsel dengan tatapan kosong, ia mengulang kembali kemesraannya dengan Fizri lewat pesan-pesan di sebuah aplikasi WhatsApp. Sudut bibir gadis manis ini perlahan naik keatas ketika membaca kembali pesan itu. Fizri mengatakan hal seperti itu seolah-olah ia adalah belahan jiwa yang begitu didambakan olehnya.
Flashback
Video call terhubung
"Yang... azan isya sudah berkumandang. Sholat, dulu sana. Kapan ya? kita bisa sholat berjamaah di satu atap, denganku menjadi imammu, dan kau mencium tanganku? Ah, itu mimpiku," bisik Fizri, rindu membuncah.
"Iya, kamu juga sholat. Jangan cuma ingatin aku terus, ih! Mulai halu kamu!" sahut Ega, namun senyumnya tak bisa disembunyikan.
"Gak papa, sesekali bermimpi boleh, kan? Semoga terwujud, Aamiin. Bye sayang, besok kita lanjut lagi, ya. See you, mmuach…" ucap Fizri, suaranya penuh harap.
"Jangan lupa sholat dan jangan begadang, nanti penyakitmu kambuh lagi. Aku yang repot, kesepian, dan diabaikan," peringat Fizri, namun nada cemberutnya terdengar manja.
"Iya, iya. Assalamualaikum, Abi," jawab Ega, menahan tawa. Panggilan itu meluncur spontan, membuat pipinya merona.
"Wahh, panggilan baru nih! Waalaikumsalam, Umi." Fizri menyahut, menunjukkan senyum manisnya yang mempesona.
...ΩΩΩ...
Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Seorang gadis menatap ke arah jendela tatapannya begitu penuh rasa kehilangan. Awan hitam perlahan menjatuhkan air ke bumi, dinginnya malam begitu membuat jiwa sesak. Sosok yang terlintas di pikirannya membuat malam itu begitu sakit.
"Fiz…," lirih Ega sambil mengusap air mata yang sedari tadi menetes begitu saja. "kamu dimana, aku butuh kamu."
Tuhan, sakit sekali?
Kenapa aku mencintai orang di waktu yang salah?
Inikah balasan?
Ataukah karma.
Pertanyaan yang begitu bertubi-tubi di dalam pikirannya. Pertahanan Ega kembali runtuh. Air mata kembali mengalir deras diwajah cantiknya itu, ia mengusap air mata dipipinya dengan tatapan kosong.
Tanganya memeluk dirinya sendiri yang sedang kedinginan karena hujan di malam itu. Pikiran gadis itu sedari tadi melayang ke sana-kemari. Semua hal tentang Fizri memenuhi isi kepalanya. Meskin momen kebersamaannya tidak begitu banyak, sebagai siswa pindahan dari kota lain, dengan status blackstreet. Sosok Fizri dapat mengukir kisah-kisah indah dimemori ingatannya.
Sudah beberapa minggu Fizri tidak masuk ke sekolah. Semenjak itu juga ia tidak berhubungan sama sekali dengan Ega. Meski lewat via WatshApp, laki-laki itu hilang tanpa meninggalkan jejak sebelum berlalu.
...ΩΩΩ...
Hembusan angin yang tertiup menyentuh kulit membuat Fikri semakin mengeratkan pelukannya. "Jadi gimana? Kamu masih mau pertahanin Ega? Ucapnya yang perlahan duduk di samping tempat tidurnya.
Pertanyaan itu membuat laki-laki ini tersadar dari lamunan panjangnya. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan menuju sudut balkon. Finattalia menatap Fikri dari belakang dengan raut wajah datar. Kalimat yang dikeluarkan olehnya itu membuat Fikri sedikit tertegun.
"Apakah Ega bisa kumiliki meski sebentar saja?"
"Pasti,"
"Jika kamu ingin bersabar."
Ia memutarkan badannya menuju ke arah suara tersebut. "Berapa lama lagi?"
Finattalia cuman bisa tersenyum mendengar penuturan Fikri. Tatapan begitu menyakitkan dirinya.
"Akan tiba saatnya kamu yang akan mengobati lukanya."
"Semoga takdir, mempersatukan kalian berdua."
"Ega. Kuharap suatu saat nanti ada ruang untukku."
"Kamu tu aneh Fik, banyak tingkah saat berhadapan dengan Fizri, giliran ketemu Ega gemetar. Hahahaa."
"Finatt!"
"Iya, iya. Aku tahu Ega cinta pertamamu-kan?"
"Hmm…"
"Finatt, kamu-kan sahabatnya. Pasti tahu kan? hubungan mereka berdua gimana."
"Finatt! Aku bertanya lo ini!"
"No comment..."
"Woy! Aku bertanya bukan minta komentar?! Dasar bocah tengil..."
...ΩΩΩ...
Panggilan seseorang dari belakang membuatnya tersadar dari lamunannya. Seorang paruh bayah melangkah perlahan kearahnya, meski sudah memasuki kepala empat, wajah cantiknya tetaplah terpancar seoalah tidak termakan oleh usia.
Spontan jari jemari Ega mengusap bekas air mata dipipinya. "Emm. Iya Ma!"
"Kok belum tidur? jendala kenapa dibuka lebar seperti itu nanti kamu masuk angin." Mamanya melangkah cepat menutup jendela yang sudah menganga besar, angin-angin malam disertai rintikan hujan telah membasahi wajah paruh baya itu.
"Ega, kenapa? cerita sama Mama." Elusan pelan mendarat di atas kepalanya.
Pertanyaan dari Mamanya tidak membuatnya mengeluarkan ucapan sepatah kata pun, tatapan begitu nanar sambil mematung ke arah jendala.
"Tidurlah sayang sudah malam, besok kamu sekolah." Ega cuman mengangguk pelan seraya tersenyum. Ia kini sudah di posisi berbaring diatas kasur.
"Mama keluar ya?"
"Hem."
Memperbaiki selimut di atas tubuh Ega. "Assalamualaikum."
Tersenyum sekilas sebelum ia memejamkan matanya. "Waalaikumussalam." Balasnya dalam batin. Suara isakan tangis dibalik selimut yang perlahan memecah keheningan di dalam kamar.
...ΩΩΩ...
Udara yang berembus di balkon kamar, terasa menusuk kulit. Suara itu kembali mengejutkan Fikri. "Sampai kapan kamu di sana, ini sudah malam? Nanti kamu sakit, Kalau Bunda tahu pasti marah."
"Hem, dasar bocah cerewet," gumam Fikri, ia perlahan menutup pintu balkon kamarnya, suara desisan engsel pintu terdengar samar. Aroma khas parfum Finattalia masih tercium samar di udara. Ia berjalan menuju meja rias di sudut kamar, matanya tertuju pada cermin yang memantulkan bayangannya yang lelah.
"Aku mau tidur. Keluar sana!" ujarnya, mengusap pelan keningnya. Ia mendorong pelan Finattalia yang masih betah bertengger di ambang pintu. Sentuhan tangannya terasa dingin.
"Awas, ya! Kalau kamu nggak tidur, aku laporin ke Bunda!" ancam Finattalia, nada suaranya sedikit meninggi.
"Bodoh! Sana, sana, tukang lapor! Aku mau tidur. Pintu jangan lupa ditutup!" Fikri sedikit meninggikan suaranya, rasa kesalnya mulai muncul.
"Wekk!" Finattalia terkekeh pelan, suara itu terdengar seperti rengekan anak kecil
Sebuah bantial melayang mengenai wajah Finattalia, bantal terlempar kembali namun tidak mengenai sasaran. "Aku ngantuk, pergi sekarang dan tutup pintu yang benar."
"Iya, iya. Ribet banget sih!" Finattalia berdecak kesal, lalu melangkah keluar.
Brukk! Suara pintu tertutup dengan keras membuat Fikri tersentak. Ia menghela napas panjang, hampir saja kata-kata kasar meluncur dari bibirnya. Sikap Finattalia yang manja sekaligus menyebalkan itu benar-benar menguji kesabarannya.
"Bisa-bisanya Bunda memungut bocah tengil kayak dia sih?" Gerutu Fikri sebelum mematikan lampu tidur.
"Jika cinta kita. Tidak ditakdirkan untuk bersama, maka biarkanlah perasaan ini selalu berlabuh didalam hati ini."
_Fikri
...ΩΩΩ...
Untuk sejenak, Ega kembali menarik napas dalam, mengisi stok oksigen yang memulai menipis. Ia terbangun dan duduk diatas kasur. Rasa sesak semakin mendominasi didalam dirinya. Jantungnya bedetak tak karuan. Nama dan wajah sosok laki-laki itu benar-benar membuatnya sesak.
"Fizri...," lirihnya, suaranya begitu senduh dan menyakitkan.
"Aku sayang kamu."
"Maaf, Fiz…!" Merutuki diri sendiri.
"Fiz," tangisan Ega terdengar begitu memilukan. "Fizri… sakit…!"
Senyum hangat terukir di wajah laki-laki itu, senyum yang mampu mencairkan es di kutub sekalipun. Dengan gerakan hati-hati dan penuh kelembutan, ia menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil Ega yang telah kembali terlelap dalam tidurnya. Jejak air mata masih terlihat jelas di pipi gadis itu, bukti nyata betapa lelahnya ia menangis. Bantal di sampingnya basah kuyup, saksi bisu tangis yang telah menguras seluruh emosinya.
"Fizri..." bisik Ega, suaranya masih bergetar, serak karena menangisi sesuatu yang tak terlihat. Jemari mungilnya, masih gemetar, berusaha menghapus buih-buih air mata yang membandel di pipinya.
Fizri membalasnya dengan senyuman—senyuman yang lebih hangat dari mentari pagi di ufuk timur. Ia duduk di tepi kasur, jarak sedekat nafas, dan dengan lembut sekali mengusap air mata Ega. Sentuhan tangannya memang dingin, kontras dengan hangatnya tatapan mata yang penuh kasih sayang. Namun, sentuhan dingin itu justru terasa menenangkan, seperti sentuhan yang menenangkan jiwa yang terluka. Di ruangan sunyi itu, hanya ada suara nafas mereka berdua, saling berbagi kehangatan di tengah malam yang dingin.
Cup!
Sebuah kecupan cukup lama mendarat di dahi Ega. "Selamat tidur Ega sayang, aku pamit pergi untuk selamanya."
"Tidak… Jangan tinggalin aku lagi! Aku mohon…!"
Keringat didahi bercucuran nafasnya sudah tidak beraturan, panas dingin sudah menyerbak tubuhnya.
"Fizri…"
Mata Ega terbuka, namun bukan cahaya pagi yang menyambutnya, melainkan kegelapan malam yang mencekam. Ha! Hanya mimpi. Namun, mimpi itu begitu nyata, sentuhannya masih terasa hangat dikulit, senyuman manis itu masih terpampang jelas di retina matanya, seakan-akan nyata. Napasnya tersengal-sengal, dada sesaknya terasa seperti terhimpit beban berat. Tangisnya pecah, menggelegar di keheningan malam, tangis yang lebih menyayat dari semua duka yang pernah ia rasakan.
"Sungguh kepalaku terasa sampit untuk memahaminya."
"Aku rindu, sungguh. Ternyata begini rasanya jatuh cinta huhuhu…"
"Ternyata benar, suatu saat nanti. Hal sederhana yang kamu lakukan, ternyata begitu berarti bagiku."
"Kamu baik-baik disana ya…"
"Aku tidak tahu seperti apa itu cinta, yang aku tahu saat ini hanya kehilangan yang menyakitkan."
-Ega
...ΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Gaga
mampir nih thor, kalau sempet mampir juga di cerita aku. Kasih saran dukungan juga kritik🕊🕊
2022-10-20
1