Bel sekolah berdentang, menandai berakhirnya jam pelajaran. Siswa berhamburan keluar kelas, menuju parkiran. Ega hampir sampai di motornya, tetapi sebuah suara menghentikannya.
"Ega… tunggu!"
Ega menoleh. Fikri berdiri di sana, wajahnya tegang. "Ega, ada hubungan apa kamu sama Fizri? Dia lengket banget sama kamu, aku yang bener-bener suka aja nggak seintens itu."
"Dia itu—" Penjelasan Ega terpotong. Fizri muncul tiba-tiba, seperti siluman. "Kadang aku mikir, punya pacar kok kayak jelangkung, datang nggak dijemput, pulang nggak diantar," batin Ega, terkekeh kecil.
"Kau ngapain di sini?! Jangan-jangan yang dibilang orang itu bener, kau suka sama pacar aku dan sengaja ganggu dia?!" Fizri menggebrak, amarahnya membuncah. Tatapannya tajam menusuk Fikri.
"Waduh… di balik sikap puitisnya, ternyata ada jiwa singa yang siap menerkam mangsanya," Ega mengamati kedua lelaki itu dengan hati-hati.
"Eh, ingat! Selama ijab kabul belum terucap, Ega masih bisa jadi milik siapa pun!" Fikri membentak, tak mau kalah.
Untungnya, suasana parkiran sedang sepi. Hanya mereka bertiga yang tersisa. Kalau tidak, pasti sudah jadi tontonan gratis dan siap-siap masuk ruang BK. Finattalia sudah pulang duluan. Fikri dan Fizri beradu mulut, seperti dua ayam jago yang siap berkelahi. Dan akhirnya… Bukk! Bukk! Dua pukulan mendarat, meninggalkan luka lebam di wajah mereka.
Kesabaran Ega habis. Plak! Plak! Tamparan mendarat di pipi Fikri dan Fizri, membuat mereka meringis kesakitan. "Auuhh!"
"Mau kutambah lagi, hah?! Heran sama kalian, sudah besar juga! masih aja suka berkelahi!" Ega geram, dia menaiki motornya dengan kesal, melaju kencang. Meninggalkan mereka berdua yang kini saling menatap tajam satu sama lain.
"Awas lo! Gue bakal rebut Ega dari lo…" Fikri mengancam, tapi Fizri mengabaikannya, lebih memilih mengejar Ega yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.
Konflik antara Fikri dan Fizri tidak terselesaikan sepenuhnya, tetapi meninggalkan dampak yang signifikan pada hubungan Ega dengan kedua orang tersebut. Fikri tetap menyimpan rasa sakit hati, sementara Fizri menjadi lebih protektif terhadap Ega.
Dari kejauhan, Fizri menyusul Ega. Ia khawatir terjadi kecelakaan. Ega sering mengalami kecelakaan kalau sedang emosi.
Titit… titit… Suara klakson motor Fizri memecah kesunyian. Ega melirik dari spion, kemudian mengurangi kecepatan motornya, lalu menepi. Fizri datang mendekat.
"Yangg, jangan ngebut lagi, deh! Jantungku mau copot! Tenang, sayang!" Fizri menenangkan Ega yang hampir lepas kendali.
Fizri selalu menjadi penenang Ega, meski terkadang kata-katanya terdengar konyol. Tapi selalu tepat sasaran. Setelah beberapa saat, mereka berpisah, masing-masing pulang ke rumah.
...ΩΩΩ...
Angin sopoi-sopoi menenangkan jiwa dan ragaku. Dalam lamunan sambil menatap langit biru, kini jendela jadi tempat kehangatanku, disinilah aku meluapkan keluh dan kesahku, menulis kisah-kisah hidupku.
Sejenak aku berpikir, Fizri itu orang baik dan dia sangat menyayangimu, sampai kapan kamu menipu dengan kata cinta kepadanya. Padahal semuanya bullshit! Mari kita sudahi dia pantas bahagia dan dicintai. Tapi dia penyamangatku! Egois sekali bukan, tapi aku bisa apa? Terkadang aku berfikir kenapa ia harus datang di waktu yang tidak tepat.
"Fiz, apa yang harus kulakukan? Apakah kejujuran ini masih bisa membahagiakanmu? Kalau iya, aku akan jujur. Selama ini… aku sebenarnya tidak pernah punya perasaan apa-apa denganmu."
Ega telah bergumul dengan perasaannya selama beberapa waktu. Ia merasa bersalah karena telah membohongi Fizri dan menyadari bahwa hubungan mereka tidak sehat. Pengakuan kejujurannya adalah puncak dari proses pergulatan batinnya.
Triiing!
Suara ponsel membuyarkan lamunanku. Dengan malas, kuambil ponsel di sudut meja. Siapa sih, ganggu aja!
"Wah, panjang umur! Baru juga disebut, dia langsung terkoneksi aja. Kayaknya sinyalnya emang kuat banget, hahaha…," gumamku.
Video call terhubung
"Assalamualaikum, ukhti sayang," sapa Fizri, tersenyum tipis.
"Ih… tumben. Pasti ada maunya nih, hayo… apa?" balasku, sedikit curiga.
"Jawabnya kok gitu sih?"
"Iya, iya. Waalaikumsalam. Ada apa, sayang?"
"Hahaha…"
"Emang ada yang lucu, ya?"
"Maaf..."
"Terserah."
"Sayang… jangan gitu, nggak baik loh," tegarnya lembut. Aku suka sikapnya yang satu ini.
"Maaf, Fizri sayang!" Fizri tersenyum terpaksa, nada bicaranya sedikit menggoda.
"Wow! Akhirnya… aku nggak pernah sebahagia ini! Duh… mimpi apa aku, ya? Cubit dong!" Kegembiraan Fizri terlihat jelas, meski karena hal yang sepele.
"Ya Allah… sederhana sekali, ya," gumam Ega.
"ngomong apa, yang? Nggak jelas."
"Ah, nggak papa. Kamu salah dengar, huft."
"Udah dulu, ya? Aku mau istirahat."
"Siap, Bu Bos. Selamat beristirahat yang tenang, Sayangku."
Melihat wajah Fizri saja sudah membuatku merasa bersalah. Berbohong dan berpura-pura seolah sudah menjadi keahlianku. Sampai kapan aku akan menjalani drama ini? Fizri terlalu baik untuk disakiti seperti ini.
Di sisi lain, ada Fikri. Ia terus berusaha menjadi orang ketiga dalam hubungan kami. Keobsesiannya padaku sangat kuat, ia tak mau mundur meski tahu aku sudah berpacaran dengan Fizri.
Waktu berlalu begitu cepat sehingga Ega hampir saja melewati waktu Magrib. Ia bergegas mengambilnya wuduh. "Aku merasa lelah, baik secara fisik maupun mental, memikirkan situasi ini. Kisah cinta macam apa ini?"
...ΩΩΩ...
Suasana kelas dipagi hari terlihat masih sepi. Di dalam kelas yang dihuninya saat ini, hanya terlihat beberapa siswa yang melakukan piket kelas. Ega pun menoleh ke arah bangku di sebelahnya, sudah cukup lama ia berada di dalam kelas tapi belum ada tanda-tanda kedatangan sahabatnya. Akhirnya Ega memilih mengambil buku novel dari dalam tasnya. Baru beberapa kalimat dibacanya, seseorang memanggilnya dengan keras dari luar kelas.
"Ega…!" Suara Finattalia nyaring, memecah kesunyian.
Ega meletakkan novelnya di atas meja, lalu berjalan menghampiri Finattalia. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum berbicara.
"Ada apa, Finatt? Kayaknya serius banget," tanya Ega, raut wajahnya cemas.
"Itu, Ga… itu…," Finattalia ragu-ragu, suaranya sedikit gemetar.
"Apa sih, Finatt? Jangan bikin penasaran!" Ega mendesak, kecemasannya semakin terlihat.
"Itu, Ga… Fizri tadi pulang mendadak. Katanya keluarganya ada yang sakit, dia harus pulang kampung. Dia minta aku sampaikan ke kamu," Finattalia akhirnya menjelaskan.
Ega menghela napas lega. "Oh… kirain ada apa. Hampir saja jantungku copot gara-gara kamu, Finatt!"
"Hehehe… maaf," Finattalia meminta maaf sambil mencubit kedua pipi Ega.
"Hem…"
"Gak marah, kan?"
"Nggak."
"Beneran?"
"Iya."
Ega memeluk Finattalia erat-erat. "Makasih."
"Dia bilang bakal tinggal berapa lama di sana?"
Ega menggeleng pelan. "Nggak ada."
Kriiiing… kriiiing…
Bel berbunyi. Mereka berdua menuju kelas. Hari ini jam kosong hingga akhir pelajaran, karena para guru mengadakan rapat mendadak.
"Yes! Bebas tanpa beban pikiran, hahahah!" Ega berseru girang, suaranya cukup keras hingga membangunkan beberapa siswa yang sedang tidur.
"Ega! Berisik banget sih!" Seseorang menegurnya.
"Maaf," kata Ega sambil tersenyum.
"Finatt, ke kantin yuk… bosan di sini," ajak Ega.
"Hm, boleh juga. Oh iya, kamu bawa novel yang mau kupinjam?"
"Ada kok. Bentar, aku ambil dulu, ya."
"Oke…"
"Kenapa tiba-tiba aku merasa akan ada yang hilang dariku, tapi apa, siapa?" Ega mematung, jantung berdebar kencang. Melihat sesuatu yang terjadi pada diri Ega, membuat Finattalia menepuk punggungnya dengan pelan.
"Ga, kamu kok diam aja."
...ΩΩΩ...
"SELAMAT TINGGAL EGA. AKU AKAN SELALU MENCINTAIMU."
"Kini dia milikmu sepenuhnya, jaga dia. Tolong jangan sakiti hatinya."
"Hatinya memang batu tapi tidak dengan perasaannya."
"Meski dia tidak mencintaiku, dia tetap memperlakukan dengan baik."
"Kukira kita-kan, selalu bersama selamanya. Ternyata takdir berkata lain."
"Meski begitu, namamu akan selalu terukir di hati ini."
"Jaga kesehatanmu ya… aku tidak bersamamu lagi."
...ΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments