“Sindi,” gumam Lina lirih....
Sindi berkaca – kaca menatap mereka yang seolah mengabaikan dirinya sejak tadi. Apakah mereka tak mendengar Sindi tadi bercerita apa? Ataukah dirinya sekedar radio rusak yang berisik.
Sindi terpaku beberapa detik setelah itu dia berlari pergi meninggalkan mereka. Menghentikan taksi lalu pulang.
Lina sempat berlari mengejarnya namun semua sudah terlambat. Apakah persahabatan mereka akan putus secepat ini?
David menyusul Lina. “Seharusnya dia sudah tahu dari awal hubungan kita.”
Lina menatap David. “Tidak sekarang Mas David, keluargaku sangat berhutang budi pada tuan Adam. Dan aku sudah berjanji untuk mengalah demi kebahagian Sindi.”
“Mengalah katamu? Bahkan kamu rela menjadi kacung dari gadis manja seperti dia. Cih, kalau aku jadi kamu aku akan mempertahankan cintaku tak perduli siapa pun orang lain yang menghalangi.”
“Mas David, aku sejak kecil sudah hidup susah, tuan Adam datang dan memberikan apa pun yang sebelumnya tidak pernah aku miliki. Hanya mengalah yang bisa aku lakukan untuk membalas hutang budi mereka.”
“Lina, pikiran kamu terlalu sempit. Seharusnya kita bisa terbuka dengan hubungan kita, tidak seperti ini yang sembunyi -sembunyi.”
“Bertahanlah, aku yakin jika kita berjodoh pasti kita akan bersama.”
David menarik Lina dalam pelukannya.
Sementara Sindi sudah sampai di istana nya. Kebiasan buruknya terulang kembali. Baru saja vas bunga yang berada di pojok ruangan itu ditaruh oleh mami Zahara, dengan penuh amarah dan tanpa dosa Sindi memecahkan semua benda termasuk vas itu. Dia membanting vas bunga kecil pada meja kaca.
“Argggg....!” teriak Sindi histeris saat pergelangan tangannya terkena pecahan kaca.
Mami Zahara yang baru saja selesai mandi mendengar teriakan Sindi dan setengah berlari ke sana.
Beberapa asisten rumah tangga juga dibuat heboh. Mereka berlari ke sumber suara.
“Non Sindi!” pekik mereka serentak saat melihat darah segar mengalir deras.
“Nyonya! Nyonya!” teriak Surti menghampiri Zahara.
“Suara apa tadi, Bik?”
“Nona Sindi, tangan nya berdarah.”
Zahara melihat sendiri keadaan putri semata wayangnya. Benar saja, Sindi tengah merintih kesakitan. Pergelangan tangannya berdarah. Mata Zahara mengedarkan pandangan. Guci dan vas pecah semua tak ia hiraukan lagi. Yang ada dalam pikirannya hanya nyawa putrinya.
“Cepat hubungi tuan Adam!” titah Zahara.
“Baik Nyonya!” sahut Darma.
“Sindi,”
“Mami, tangan aku sakit,” rintih Sindi.
Zahara sendiri bingung harus berbuat apa. Bang Sukir datang melihat kondisi Sindi.
“Cepat Bang Sukir, bawa nona Sindi ke rumah sakit!” titah Zahara sambil mengangkat tubuh Sindi dan dibantu para asisten rumah tangga.
“Sakit Ma,” rintih Sindi lagi.
“Nona Sindi kenapa Nyonya?” tanya bang Sukir panik.
“Percobaan bunuh diri, cepat !”
“Baik Nyonya!” bang Sukir segera ke garasi mengeluarkan mobil.
Sindi dilarikan ke rumah sakit dan segera mendapatkan penanganan.
“Sindi kenapa lagi Mi?” tanya papi Adam begitu tiba di rumah sakit.
“Papi, Sindi mau bunuh diri Pi, mami takut jika kehilangan Sindi,” Zahara begitu cemas dan masih saja menangis. Dia salah sangka jika Sindi telah melakukan percobaan bunuh diri, padahal terkena pecahan kaca.
“Ini pasti ulah David. Sekarang bagaimana keadaan Sindi?” terka papi Adam mengingat ancaman Sindi tempo hari.
“Sindi masih pingsan, Pi,” mami Zahara masih sangat cemas.
Karena jarang bahkan tak pernah melihat darah begitu banyak, apalagi darahnya sendiri, Sindi pingsan saat perjalanan menuju ke rumah sakit.
Papi Adam segera bertindak. Sat set, wat wet.
David datang ke rumah sakit menemui keluarga Adam.
“Tuan Adam, Anda memanggil saya?” David tak tahu untuk apa dia dipanggil datang ke sana.
“David, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatan kamu terhadap putriku, Sindi!” ujar papi Adam tegas.
“Bertanggung jawab soal apa, bahkan kami jarang bertemu.” David belum mengerti juga.
“Sindi menginginkan kamu.”
“Saya tidak mencintai putri Anda.” Sahut David dengan jujur. Karena cintanya hanya untuk gadis berkacamata, Lina.
“Persetan dengan cinta. Ini soal nyawa yang menjadi taruhannya.”
“Nyawa? Apa maksud Anda?” tanya David tak mengerti.
“Sindi tengah terbaring di rumah sakit ini karena percobaan bunuh diri. Dan semua itu karena kamu!” Sentak papi Adam yang membuat David kaget.
“Sindi bunuh diri?” dalam benak David itu hal mustahil, mereka baru saja bertemu dan bagaimana bisa Sindi melakukan itu dengan begitu cepat.
Melihat David yang hanya diam, papi Adam mengancam David.
“Aku akan menjebloskan kamu ke penjara jika terjadi sesuatu pada putriku lebih dari ini. Nikahi Sindi sekarang juga!”
“Hah, menikah!” David tercengang.
Tentu saja dia tak mau masuk penjara, nama baiknya bisa tercemar dan itu bisa menurunkan citra perusahaan yang ia pimpin.
Pernikahan terjadi sudah antara David Setiawan dengan Sindi Puspita pada hari Minggu, pukul 19.00 di rumah sakit Medical Wiyata.
Lina yang mengetahui kabar Sindi masuk rumah sakit dari Zahara yang menghubunginya, Lina segera ke sana dan tak tahu kalau ada David juga.
“Mas David,” pandangan Lina sedikit kabur, kepala nya pun seperti di hantam benda keras. Hatinya pun hancur seketika itu juga. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh kalau saja dia tak berpegangan pada ranjang pasien.
David terdiam seribu bahasa, ia tak bisa menjelaskan ikrar suci yang baru saja ia lontarkan, tentu Lina sang kekasihnya tak bisa menerimanya. David tertunduk lesu tak berani melihat gadis yang dicintai sedang terluka hatinya.
Penghulu segera pergi setelah menjalankan tugas.
Sindi yang masih terkulai lemas tampak bahagia karena statusnya sudah menjadi istri dari David Setiawan. Kebahagiaan yang ia rasa saat ini mengalahkan rasa sakit di tangannya. Beberapa jam lalu ia selalu merintih sakit dan perih. Tapi semua itu sudah sirna diterpa hadirnya seorang suami.
Sindi menoleh ke arah Lina, “Aku kira kalian menyimpan hubungan rahasia di belakangku, tapi dugaanku ternyata salah. Mas David mau menikahiku dan memilihku sebagai istrinya.”
Lina masih tercengang dengan peristiwa ini. Sebisa mungkin ia memaksakan senyuman bahkan rasa sakit di hati yang menderma.
“Tidak mungki aku ada hubungan rahasia dengan mas David. Dia pria dewasa yang terlalu sempurna untuk kacung sepertiku. Selamat Sindi atas pernikahan kamu. Semoga kamu bahagia. Maaf, aku tidak bisa lama -lama di sini, asma ibu kambuh. Aku harus segera ke apotik.” Lina tak sanggup melihat mereka. Dia beralasan agar bisa pergi.
David terjeda hendak berkata. Ia tak bisa berbuat sesuatu untuk mencegah Lina pergi.
“Ibu kamu kambuh lagi?” tanya Zahara simpati.
“Ia Nyonya, saya harus buru-buru pergi.” Lina sudah sampai di ambang pintu.
“Kenapa tidak kamu bawa ke rumah sakit saja?” tanya papi Adam.
“Tidak Tuan.”
“Masalah biaya, jangan khawatir. Kesehatan ibumu yang utama.” Ujar papi Adam.
“Ibu baik-baik saja setelah minum obat. Saya permisi dulu.” Pamit Lina yang segera pergi meninggalkan mereka. Sepanjang jalan air matanya mengucur deras. Bagaimana bisa pria yang berstatus kekasihnya bisa menikah secepat itu dengan sepupunya sendiri.
Di malam pernikahan mereka, David menjaga Sindi yang tertidur lelap. Hal ini membuat David jenuh. David beberapa kali menghubungi Lina tapi ponselnya tak diangkat. Setelah yakin Sindi tidak akan terbangun, David pergi meninggalkan Sindi menemui Lina di apartemennya.
“Lina, aku bisa menjelaskan ini!” ujar David setelah tiba di apartemen Lina.
“Untuk apa Mas David datang ke sini, sana pergi dan temui istri kamu!” usir Lina tak suka.
“Kamu mengusirku? Bukan ini yang aku inginkan.” David menerobos masuk dan menarik Lina dalam pelukan.
“Kamu sudah menikah.”
“Aku tak mencintai dia. Hanya kamu yang aku cintai.”
Kemudian David melahap bibir Lina. Keduanya pun melakukan hubungan yang tak sepatutnya dilakukan.
Disisi lain, Sindi membuka matanya. Tampaknya waktu menuju pagi masih lama. Dia mencari sosok David yang tak ada di ruangan itu.
“Mas David, aku haus, bisakah kamu mengambilkan aku minum?” Sindi mengedarkan pandang mencari sosok David lagi, mungkin dia sedang berada di kamar mandi. Sindi menunggu namun tak keluar juga. Jarum jam masih menunjuk pukul 2 dini hari. Sindi ingin mengambil ponselnya namun ia lupa tak membawanya. Sindi mencoba tidur lagi.
Keesokan paginya, David sudah kembali ke rumah sakit. Karena luka goresan tak begitu dalam, dan sudah membaik. Sindi diperbolehkan pulang.
“Pagi,” sapa David dengan ekspresi dinginnya.
“Mas David, kamu sudah datang, semalam kamu kemana Mas?” tanya Sindi.
“Ke apartemen. Ada berkas yang harus aku kerjakan.” Sahut David dengan datar.
Sindi memaklumi kesibukan David dan tak menduga yang aneh-aneh.
Office boy masuk ke ruangan Sindi untuk membereskan kekacauan kecil.
“Pecahan gelas?” David memperhatikan office boy yang sedang membersihkan lantai.
“Semalam aku haus dan memanggil kamu, tapi karena kamu nggak ada aku menggapai gelas di meja itu. Tanganku tak sampai, gelas terdorong hingga jatuh.”
Ada sedikit penyesalan menyergap hatinya, segera David mengabaikan rasa itu. Ini bukan salahnya. Pernikahan karena keterpaksaan lah penyebabnya.
Sindi dan David tinggal di apartemen.
“Malam ini kita tidur terpisah.” Ujar David memberitahu.
“Kenapa? Kita kan suami istri sekarang, di malam pertama pasangan suami istri akan menikmati malam mereka. Tapi kamu malah memintaku untuk tidur terpisah. Pernikahan macam apa ini?” protes Sindi tak terima.
“Ini bukan pernikahan yang aku inginkan. Orang tua kamu yang memaksaku untuk menikahi kamu. Sekarang pergilah ke kamarmu.” Seolah David mengusirnya.
“Kamu jahat, aku sudah dandan secantik ini kamu malah tak tergoda. Apa kamu tak memiliki sy@hw@t, hah!” ledek Sindi yang membuat David terpancing emosi.
“Jangan menghinaku! Tak pernah seorang wanita pun yang menghinaku, kamu baru sehari menjadi istriku sudah berani padaku.” David berjalan cepat ke arah Sindi dengan tatapan beringas. Menarik kasar tangan Sindi dan membawanya masuk ke dalam kamar. Menghempaskan tubuhnya di atas kasur.
“Aww ...!” pekik Sindi, pergelangan tangannya yang masih berbalut perban berdarah.
“Ini kan yang kamu inginkan, baik akan aku penuhi. Tapi camkan dan dengarkan baik-baik ucapanku. Aku tak menginginkan pernikahan ini dan sama sekali tak mencintai kamu.” David merobek lingerie hingga terlihat jelas bentuk tubuh Sindi.
Bukan ini yang Sindi inginkan.
David melakukan penyatuan dengan kasar hingga membuat Sindi meringis kesakitan. Setelah memberikan nafkah batin, David segera keluar kamar pindah ke kamarnya.
Sindi merasakan nyeri di kewanitaannya. Air matanya mengucur deras. Hatinya sakit, ia seperti kapas yang sudah ternoda. Suaminya tak menghargai dia sebagai istrinya.
“Pernikahan macam apa ini, bukan seperti ini yang aku harapkan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
🔵◡̈⃝︎☀MENTARY⃟🌻
Jahat kali David Dan Lina
Sama2 Pengkhianat
2022-10-21
0