Waktu sudah beranjak sore ketika mereka tiba di rumah, dan saat itu rumah masih dalam keadaan kosong karena kedua orang tua Nico masih di kantor. Aira pun sudah mulai membiasakan diri dengan keadaan itu setelah selama seminggu menjadi salah satu penghuni di rumah itu. Sesaat dia berfikir, bahwa Nico pasti kesepian selama ini.
Nico membawakan belanjaan Aira, sementara Aira berjalan di depannya. Saat tiba di kamar Aira, Nico meletakkan belanjaan Aira dengan hati-hati di atas meja.
"Makasih, Nic." Gumam Aira.
Nico tersenyum lebar, lalu mengangguk. "Sama-sama."
Saat Nico akan beranjak keluar dari kamar Aira, Aira tiba-tiba menahannya sebentar. "Oya, Nic. Kamu suka Pasta?"
Nico sedikit memiringkan kepalanya, masih dengan seulas senyum di wajahnya, "emmm... aku suka semua makanan, hehehe..." Jawab Nico dengan kekehan kecil di akhir kalimatnya.
Aira mau tidak mau akhirnya terkekeh juga mendengar jawaban Nico. "Aku tadi lihat ada bahan-bahan di kulkas. Aku akan masak buat kamu."
"Hmm boleh." Ujar Nico dengan lembut. Jauh di dasar hatinya yang terdalam, satu perasaan yang tidak ia pahami, tiba-tiba hadir dan menimbulkan percikan hangat di sana.
Lalu mereka berdua menghabiskan sisa hari itu dengan makan malam berdua yang menyenangkan. Nico terlihat menyukai masakan Aira, dan sesekali menggoda Aira bahwa jangan-jangan saat Nico sedang di kamar tadi, Aira diam-diam memesan makanan ini. Aira mendengus setengah kesal. Lalu ketika Aira hendak mengambil piring milik Nico, Nico menahan tangannya. "Becanda, Nanaaa..."
Aira tiba-tiba membeku. Ini kali pertamanya lagi Nico memanggilnya dengan panggilan Nana setelah sekian lama. Nico yang baru saja menyadari perkataannya juga terdiam sejenak, lalu berdehem. Suasana kembali canggung, dan Aira pun berpura-pura sibuk dengan makanannya. Nico yang tidak ingin suasana canggung ini terus berlanjut akhirnya berkata pada Aira, "tapi serius, ini kamu masak sendiri, kan?"
Kali ini Aira melirik tajam kearah Nico. Tawa Nico pun akhirnya pecah melihat betapa menggemaskannya Aira ketika sedang kesal.
...****...
Perhatian Nico tertuju pada Aira yang saat itu tengah duduk di pinggir kolam renang sambil memainkan sebuah Ukulele. Merasa tertarik dengan pemandangan itu, Nico mendekat ke arah Aira lalu duduk di sampingnya. Nico ingat, saat masih kecil dulu ia dan Aira sering bermain Ukulele bersama. Meskipun permainan Aira jauh lebih baik dari Nico saat itu, namun saat ini, Nico berani menyombongkan diri bahwa permainannya akan lebih baik dari Aira.
"Kamu masih mainin itu?"
Aira menoleh ke samping, dan menjawab hanya dengan bergumam, "hmm."
"Coba aku pinjem bentar."
Aira begitu saja menyerahkan Ukulele itu pada Nico. Nico menerimanya dengan raut wajah yang terlihat begitu senang. Menyaksikan hal itu, Aira tertawa tanpa suara. Mungkin Aira tidak menyadarinya, tapi sejak ia pindah, dan tinggal bersama Nico, keceriaannya yang sempat hilang perlahan kembali. Nico yang secara tidak sadar juga, telah menyibak kabut tebal yang melingkupi diri Aira selama setahun terakhir ini, sedikit demi sedikit.
"Kamu inget lagu ini nggak?" Tanya Nico pada Aira sembari memainkan Ukulele itu dengan lembut.
Aira tampak berfikir. Ia merasa ingat, tapi juga tidak ingat. Nico lalu mulai bernyanyi,
"You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray..."
"Inget nggak?" Nico menghentikan sejenak nyanyiannya.
Kali ini, Aira tampak tersenyum setelah berhasil mengingat lagu itu. Ya, saat masih di Sekolah Dasar dulu, mereka berdua sama-sama suka mendengarkan dan menyanyikan lagu itu. Mendiang Ibunya juga sering sekali menyanyikan lagu itu sebagai pengahantar tidur Aira dulu. Untuk sesaat, Aira merasa bahwa perasaan rindunya pada kedua orang tuanya bisa sedikit terobati dengan mendengarkan kembali lagu itu.
Nico melanjutkan, sementara Aira terus saja memandanginya.
"I'll always love you and make you happy,
If you will only say the same
But if you leave me and love–"
Nico menghentikan nyanyiannya saat sadar bahwa Aira terus saja menatapnya. Nico tertegun. Suasana menjadi hening, dan waktu terasa berhenti pada detik itu. Ada perasaan rindu dalam diri masing-masing yang tidak bisa mereka sampaikan.
"Permainan kamu sekarang jadi lebih baik. Dulu kamu payah sekali." Ujar Aira tiba-tiba yang langsung saja berhasil mencairkan suasana yang baru saja membeku.
Aira tersenyum meledek yang langsung dibalas dengan dengusan sinis Nico.
"Kamu juga dulu cengeng sekali. Kamu lebih payah dari aku." Balas Nico tidak mau kalah.
"Cengeng? Memangnya siapa dulu yang nangis-nangis terus ngadu ke aku gara-gara digangguin Kakak Kelas?"
Skak mat! Kali ini Nico tidak bisa mengelak lagi. Ia pun berdehem cukup keras. Untuk menutupi rasa malunya, ia kembali memainkan Ukulelenya.
"Kamu malu, kan? Iya, kan?" Goda Aira seraya memiringkan posisi wajahnya agar dapat melihat wajah Nico yang sudah semerah tomat sekarang.
Kini Aira tidak lagi menahan tawanya. Ia tertawa begitu lepas. Sementara Nico memutuskan untuk tidak mengatakan apapun untuk membalas ledekan gadis itu. Bagi Nico begini saja cukup. Ia berhasil membuat Aira tertawa lagi. Tidak ada yang lebih penting dari itu. Dan untuk seterusnya, Nico akan terus menjaga tawa dan senyuman Aira.
...****...
Seminggu pertama tinggal di rumah keluarga Nico, Aira perlahan mulai menemukan kenyamannya. Kedua orang tua Nico benar-benar memperlakukannya seperti anak mereka sendiri. Sementara dari sisi Nico, meskipun di awal kedatangan Aira di rumah ini, Nico sempat menunjukkan penolakan yang akhirnya membuat situasi di antara mereka sedikit canggung selama beberapa hari, kini Aira sudah bisa merasakan kalau Nico sudah merasa nyaman berada di sekitarnya. Nico tidak lagi menunjukan gelagat canggung seperti sebelumnya.
"Na, persiapan untuk sekolah sudah siap semua?" Tanya Adryan pada Aira ketika mereka sedang makan malam bersama.
"Sudah, Om. Semuanya sudah siap," Aira melirik ke arah Nico sejenak lalu melanjutkan, "Nico banyak bantuin Nana."
Nico mau tidak mau akhirnya mengangkat wajahnya begitu mendengar Aira menyebut namanya. Ia lalu tersenyum pada Aira.
"Nanti kalau ada kesulitan, atau apapun itu di sekolah, minta bantuan Nico. Dan ya, kenapa kalian berdua terlihat canggung? Padahal dulu saat masih kecil saling menempel." Ucap Regina seraya menatap ke arah Nico dan Aira yang duduk berdampingan secara bergantian.
Nico dan Aira sama-sama terkejut. Bingung bagaimana harus menjawab. Menyadari bahwa kedua anak itu tampak kebingungan, Adryan kembali angkat suara.
"Ya jelas mereka canggung. Mereka udah cukup lama nggak ketemu. Belum lagi kemarin, Nico sempat bikin masalah."
Nico kembali merasa malu. Kenapa lagi-lagi Papanya harus mengungkit masalah itu sih? Tapi mau bagaimanapun, ini bukan posisi yang pas bagi Nico untuk mengelak. Ia salah, dan ia mengakuinya.
Setelah makan malam, Aira terlihat membaca sebuah novel di balkon. Nico yang saat itu akan memasuki kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Aira, seketika mengurungkan niatnya dan berjalan menghampiri Aira.
"Ra, belum tidur? Besok hari pertama sekolah, lho."
"Sebentar lagi, Nic." Jawab Aira singkat.
Nico yang bingung harus mengatakan apalagi, akhirnya memustukan untuk kembali ke kamarnya, tapi panggilan Aira menghentikannya.
"Nic!"
"Iya, Ra?"
"Apa nggak masalah kalau teman-teman kamu tahu kita tinggal serumah? Aku harus jawab apa kalau ada yang nanya?"
Nico berjalan melewati Aira, ia lalu berdiri dan bersandar di besi pembatas balkon, dengan posisi tepat di depan Aira. "Kamu nggak usah fikirin masalah itu, ya? Aku udah ngasih tahu ke temen-temen aku kok. Dan meskipun mereka agak nggak waras, mereka adalah tipe temen yang bisa diajak kerja sama, hahaha..." Nico mengakhiri kalimatnya dengan tertawa. Aira hanya tersenyum, dan kemudian menunduk. Aira sekarang merasa masalahnaya sudah berkurang.
"Jadi, kamu fokus aja sama sekolah. Nggak usah mikirin yang lain."
^^^To be Continued...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments