"Waktu berlalu begitu lama. Aku telah melewati rangkaian piknik panjangku tanpamu. Begitu kita bertemu kembali, aku tidak bisa mengelak dari rasa bahagia yang mendera setiap sel dalam tubuhku. Namun, aku terlalu payah untuk menunjukkannya padamu. Tetapi biarkan kutanyakan ini;
apa kabarmu?"
...****...
Juni, 2012....
"RIO! RIO! RIO! RIO!"
Sorakan dari penonton yang memenuhi tribun lapangan outdoor SMA Patuh Karya di pagi menjelang siang itu semakin membahana saat Rio hendak melakukan tembakan di detik-detik akhir pertandingan basket yang dilakukan dalam rangka memeriahkan acara Class Meeting. Ia melakukan lay-up dengan sempurna lalu memasukan bola itu ke dalam ring dengan gayanya yang selalu terlihat elegant.
Semua penonton, terutama penonton dari kelasnya semakin menggila. Dan ketika wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan yang sekaligus juga merupakan tanda kemenangan bagi kelas Rio, semua teman-teman sekelasnya langsung berlari ke tengah lapangan untuk menyerbu Rio.
"ERGH ****!!" Erang salah satu cowok dari tim kelas lawan dengan kesal. Meski kesal, ia juga turut senang atas kemenangan yang diraih oleh sahabatnya itu. Dialah Rakha, salah satu sahabat kental Rio yang juga tergabung dalam tim basket SMA Patuh Karya.
Meskipun Rakha adalah kapten dalam tim inti, tapi tetap saja ia tidak bisa mengalahkan Rio di pertandingan class meeting kali ini.
Rio menatap Rakha, ia tersenyum mengejek ke arah cowok berwajah tampan itu sambil membalik jempolnya. Rakha mendengus. Kali ini Rio boleh sombong, tapi di tim inti, Rakha tetap adalah kaptennya. Awas saja nanti, Rakha akan menghukum Rio atas kekalahannya ini.
Berbeda dengan Rakha, Nico yang juga merupakan salah satu sahabat mereka, berlari ke arah Rio dan memberikan ucapan selamat. Tentu saja, hal itu semakin membuat Rakha yang satu tim dengan Nico agak kesal. Tidak lama Rakha melepas kekesalannya, ia lalu berlari menyusul Rio, Nico, dan Natta yang saat itu sedang berkumpul, dan memeluk ketiga sahabat kentalnya itu dengan penuh suka cita.
Cukup bersikap seperti lawan. Ini saatnya kembali menjadi kawan.
Di tengah selebrasi Empat Sekawan itu, perhatian Nico tahu-tahu tertuju pada seorang Gadis yang tidak mengenakan seragam, yang baru saja turun dari lantai dua. Merasa mengenal gadis itu, Nico pamit pada kawan-kawannya. Ia berkata, "bentar. Gue ada urusan."
Nico berlari agak kencang, dan membuat Rio, Natta, dan Rakha yang belum mengetahui apapun merasa sedikit heran. Tetapi mata elang Rakha, berhasil menangkap sosok gadis yang sedang dikejar oleh Nico sekarang. Rakha tampak berfikir, dan sedikit memiringkan kepalanya. Samar-samar bahkan tanpa ia sadari, gadis itu sudah berhasil menarik perhatiannya.
"Aira!" Panggil Nico dengan nafas agak tersengal.
Aira menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Nico?" Sambut Aira yang sedikit heran melihat Nico sekarang.
"Gimana? Udah beres urusannya?"
"Udah." Jawab Aira sekenanya.
Nico terdengar mengatur desauan nafasnya. Setelah agak terkontrol, ia kembali berkata pada Aira, "tunggu aku bentar, ya? Aku ganti baju dulu. Kita pulang bareng."
Tanpa mendengar jawaban Aira, Nico berlalu dari hadapannya dan segera pergi untuk mengganti pakaiannya. Aira menganggukan kepala pelan lalu mencari tempat yang nyaman untuk menunggu Nico.
Sementara dari kejauhan, Rio, Rakha, dan Natta yang memang sejak tadi memperhatikan Nico mulai bertanya-tanya tentang gadis yang baru saja dihampiri oleh Nico. Rio bertanya pada kedua sahabatnya, apakah ada dari mereka yang tahu siapa gadis itu. Tapi baik Rakha maupun Natta sama penasarannya dengan Rio sekarang. Mereka sama-sama tidak tahu.
Ketika Rio dan Natta berlalu pergi mengikuti teman-temannya yang lain, Rakha justru diam di tempatnya sembari memperhatikan gadis yang baru saja dihampiri Nico. Menyadari bahwa Rakha tidak bersama mereka, Rio menoleh kebelakang dan memanggil Rakha.
"Rakha, ayo!"
"Iya, iya."
Rakha terkesiap sejenak, lalu segera menyusul Rio dan Natta.
...****...
"Harusnya kamu nggak usah repot-repot nganterin aku. Aku nggak suka nyusahin orang lain." Ucap Aira membuka obrolan dengan Nico yang tengah fokus menyetir membelah jalanan.
Masih teringat jelas, bagaimana kemarin Nico terlihat begitu terang-terangan menolak kehadirannya. Tapi tidak sampai berhari-hari, Nico justru bersikap baik padanya. Aira jadi berfikir, apa jangan-jangan Nico memiliki dua sisi?
"Dia Aira. Anaknya Almarhum Tante Shania. Dia akan tinggal bersama kita. Mulai hari ini." Itulah jawaban Mama Nico saat Nico menanyakan perihal kehadiran Aira yang secara tiba-tiba di rumah mereka. Merasa tidak diajak diskusi terlebih dahulu, Nico merasa sedikit kesal.
Bukannya Nico tidak mau menerima kehadiran Aira, tapi semua ini terlalu mendadak bagi Nico. Kedua orang tuanya bahkan tidak memberi tahu Nico dari jauh-jauh hari. Nico yang memang memiliki pemikiran dewasa, merasa perlu diberitahu tentang apapun keputusan kedua orang tuanya. Dia ingin selalu dilibatkan dalam hal apapun yang memiliki sangkut-paut dengan dirinya. Namun Aira yang belum mengenal sosok Nico malah salah memahami maksud Nico. Aira sudah kadung menarik kesimpulan, bahwa Nico tidak menerima kehadirannya secara penuh dan sungguh.
"Mama sama Papa harusnya ngomong dulu sama Nico. Nico juga berhak tahu apapun yang kalian rencanakan selama itu ada sangkut pautnya sama Nico."
"Tapi dia Nana, Nic. Nana temen masa kecil kamu dulu. Mama cuma mikir kalau ini bakalan jadi kejutan buat kamu."
Nico terdiam sejenak. Ia pun mengingat sosok Nana kecil yang dulu pernah sangat dekat dengan dirinya semasa kecil. Bisa dikatakan, bahwa Nico sangat menempel pada Nana dulu. Tapi entah bagaimana caranya Nico bisa tidak sadar sejak awal. Kini dalam hatinya mulai timbul penyesalan. Ia terlalu emosional menyikapi permasalahan kali ini.
Dan lalu, bagaimana bisa ia dengan mudahnya melupakan Nana? Nananya yang dulu sangat dekat dengannya, dan begitu ia sayangi.
"Maaf kalau kamu ngerasa Papa dan Mama tidak melibatkan kamu. Tapi situasinya juga sedang tidak tepat. Keputusan ini kami ambil dua minggu yang lalu. Dan kamu sedang sibuk-sibunya dengan ujianmu. Papa sama Mama cuma nggak mau ganggu konsentrasi kamu."
Setelah tahu yang sebenarnya, Nico terlihat agak melunak meski masih agak sedikit kecewa. Lalu tiba-tiba perhatiannya tertuju pada punggung Aira yang berjalan menjauhi ruang keluarga. Nico yang sudah merasa menyesal sebelumnya, sekarang semakin merasa tidak enak hati. Aira pasti sudah mendengar semuanya.
"Maaf soal kemarin." Ujar Nico dengan penuh penyesalan. "Dan kamu sama sekali nggak ngerepotin aku." Lanjutnya kemudian.
Aira tiba-tiba berfikir, bahwa bisa saja alasan Nico mengantarnya pulang sekarang karena ia masih merasa tidak enak soal kejadian kemarin. Aira mengangguk paham. Kemarin Aira memang mengambil hati perkataan Nico, tapi sekarang tidak lagi. Ia berusaha memahami Nico. Meskipun ada sedikit kecewa di hatinya ketika Nico sama sekali tidak mengenalinya.
"Nggak apa-apa. Aku paham kok. Dan seandainya aku yang ada di posisi kamu kemarin, aku pasti bakalan nunjukin reaksi yang sama." Jawab Aira dengan lapang dada sambil menatap wajah Nico dari samping. Nico menoleh ke arah Aira dan tersenyum kecil. Meski begitu, Nico masih merasa tidak enak.
Saat Nico kembali menatap ke depan, Aira pun mengalihkan perhatiannya ke kaca samping. Ia menghela nafas pelan, lalu bergumam dalam hati, "tapi kamu nggak seharusnya ngelupain aku."
Saat mereka tiba di rumah, dan Aira hendak turun dari mobil, ia sempat berkata pada Nico, "jangan khawatir. Aku cuma setahun di sini. Setelah kuliah nanti, aku bakalan pindah. Dan satu lagi, aku tahu batasan-batasanku."
Aira pun keluar dan menutup pintu mobil. Nico tercenung mendengarkan pernyataan Aira barusan. Tapi rasa bersalahnya, tidak juga mau hilang.
...****...
"Kenapa Papa harus melihat nilai sampah ini, Rakhaditya Arya?" Ujar Arkha dengan nada penuh kemarahan sambil melempar kertas nilai Rakha dengan keras. Seluruh sel dalam tubuhnya dilingkupi oleh emosi yang membuncah ketika mengetahui bahwa Rakha hanya mampu menduduki peringkat ke-3
Ya, beginilah sisi lain kehidupan Rakha yang tidak diketahui oleh banyak orang. Saat di sekolah, atapun di depan teman-temannya, Rakha selalu mengenakan topengnya. Ia bersikap seakan seuluruh hidupnya baik-baik saja, ia terkenal sebagai sosok yang ceria dan humoris. Namun, tidak ada yang tahu, bahwa diam-diam ia menjalani hidup yang penuh tekanan dari Papanya. Papanya selalu menuntutnya untuk jadi yang terbaik, dan ketika Papanya merasa bahwa Rakha tidak memenuhi ekspektasinya, ia akan memuntahkan kemarahannya pada Putra Sulungnya itu, bahkan tak jarang Rakha dihujani pukulan oleh Papanya.
Dan kali ini, Rakha mendapatkan tamparan yang cukup kuat hingga meninggalkan bekas memerah di pipi kanannya.
"Kamu seperti ini sekarang, karena kamu terlalu banyak bermain-main! Semester berikutnya, Papa nggak mau lihat kamu main basket lagi. Fokus pada nilai-nilaimu! Kesenangan yang kamu dapatkan sekarang, tidak akan membantu apa-apa untuk masa depanmu. Paham?"
Dan seperti yang sudah-sudah, Rakha hanya mengangguk dan menyetujui semua perkataan Papanya meskipun pada akhirnya ia tetap memberontak. Setidaknya ia sudah berusaha keras. Rakha melakukan segala yang dia bisa untuk memuaskan Papanya tanpa harus meninggalkan kehidupannya. Tapi pada akhirnya, semua usaha yang dilakukan oleh Rakha tidak satupun mendapatkan apresiasi yang layak dari Papanya.
Rakha terduduk di sofa beberapa saat setelah Papanya pergi. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha menahan kemarahan dan rasa sakit yang selama ini ia pendam. Lalu tiba-tiba saja, adik perempuannya datang dan memegang tangannya yang terkepal untuk menenangkannya. Rakha menoleh ke samping, dan mendadak kemarahannya bisa sedikit mereda ketika melihat senyum menenangkan yang diberikan oleh Ranha,
"Kak Rakha sudah berusaha keras. Ranha bangga sama Kakak."
Rakha tersenyum. Diam-diam merasa terharu dengan hal sederhana yang dilakukan oleh adik manisnya. Ia lalu mengelus lembut puncak kepala Ranha, dan berkata, "sejak kapan kamu tumbuh sebesar ini?"
...****...
Rakha sedang duduk sendiri di Coffee Shop milik Rio. Salah satu tangannya menopang wajahnya, sementara tangan lainnya ia gunakan untuk mengaduk-aduk Ice Coffee-nya tanpa tenaga. Fikirannya jauh melayang. Semester kali ini benar-benar kacau. Kendatipun Rakha tidak menunjukkan rasa takutnya atas perkataan Papanya sore tadi, tapi dalam hatinya ia merasa khawatir.
Di tengah lamunan Rakha itu, Rio tiba-tiba saja muncul dan duduk di hadapannya. Rio memperhatikan wajah Rakha baik-baik, dan begitu ia melihat bekas merah d iwajah sahabatnya itu, Rio langsung mengangkat dagu Rakha. Pandanngan Rio terlihat begitu serius.
"Kali ini karena apa lagi? Karena peringkat lo turun jauh?" Nada bicara Rio terdengar cukup geram.
Rakha yang sejak tadi tampak murung, seketika mengubah mimik wajahnya dan sorot matanya hingga tampak semuanya berjalan baik-baik saja. Ia tersenyum lebar pada Rio, dan menjawab setengah bercanda, "gimana? Gue keren, kan? Lo harus liat muka Papa gue tadi. Dia bener-bener marah, hahaha..."
Rakha mengakhiri kalimatnya dengan tertawa. Tapi hal yang Rakha lakukan itu, justru membuat Rio semakin kesal.
"Rakha, gue serius! Lo nggak boleh kayak gini terus. Lo tertekan, Kha! Lo nggak bisa terus-terusan bersikap baik-baik aja. Seenggaknya di depan gue, Nico, sama Natta lo harus terbuka. Kita mungkin nggak bisa bantuin lo, tapi kita bisa mendengarkan cerita-cerita lo. Dan itu akan ngurangin beban di dada lo sekarang." Rio terdengar melunak di akhir perkataannya.
Beberapa saat kemudian, Rakha menghela nafas panjang. Orang-orang tidak tahu beban apa yang sedang Rakha pendam saat ini, tapi sahabat-sahabatnya tahu dengan benar, bahwa tidak seharipun Rakha dapat bernafas lega, bahwa tidak seharipun ia lewatkan tanpa perasaan cemas dalam dirinya.
"Gue udah melakukan usaha terbaik gue, tapi kenapa Papa gue nggak pernah merasa puas dengan usaha yang udah gue lakuin? Saat gue dapat peringkat pertama, nggak pernah sekalipun Papa muji gue, dan bilang bahwa gue udah ngelakuin yang terbaik. Tapi begitu peringkat pertama gue merosot, Papa gue akan meluapkan emosinya tanpa perasaan. Yang sakit bukan bekas tamparan ini, Yo —" Rakha memberikan jeda seraya menunjuk ke wajahnya.
Rakha menatap Rio dengan seulas senyum. Tapi kedua matanya menggambarkan rasa lelahnya. Dan Rio bisa menangkapnya.
"Yang sakit itu... hati gue." Lanjut Rakha kemudian dengan perasaan perih yang coba ia redam.
Tidak lama setelah itu, Nico dan Natta datang bersamaan lalu bergabung bersama kedua sahabatnya yang mungkin sudah cukup lama menunggu kedatangan mereka. Namun, baru saja Nico dan Natta duduk, Rakha bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah toilet tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Di saat yang bersamaan, Rio memberikan kode pada Nico dan Natta untuk tetap diam dan tidak mengatakan apapun. Saat itu mereka sama-sama mengerti, bahwa Rakha butuh waktu sendiri. Setidaknya untuk saat ini.
Dan nanti, setelah Rakha keluar dari toilet, ia akan kembali bersikap seperti biasanya, mengubur semua rasa takut, cemas, dan kecewanya, lantas kembali menjadi Rakhaditya Arya yang bersembunyi di balik topengnya.
^^^To be Continued...^^^
^^^..^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
teti kurniawati
terus semangat
2022-10-23
1