Sinar matahari menyinari seisi kamar hotel membangunkan sang pengantin wanita masih tersenyum manis sejak semalam.
Seketika membuka mata, bola mata Vallerie melotot memandangi pemandangan indah di sebelahnya yang tidak terduga. Sang suami yang bersikap ketus di malam pernikahan mereka, tiba-tiba bisa berniat tidur seranjang. Padahal sebelumnya mereka sempat bertengkar hanya karena tidur berpisah.
Vallerie melupakan soal masalah semalam. Tatapan matanya tidak berkedip memandangi wajah tampan suaminya terlihat menggoda, sama seperti di kehidupan sebelumnya. Hanya saja ada sedikit perbedaan, Vallerie merasa raut wajah suaminya menampakkan kegelisahan sampai sedikit membengkak. Vallerie mulai penasaran apa penyebabnya, meski sebelumnya bersikap dingin.
‘Kamu … menangis? Sebenarnya apa yang terjadi padamu?’
Lengan kekar sang suami hampir menonjok wajah mulusnya tanpa sengaja. Dengan cepat Vallerie langsung menjauhkan wajahnya dan bersikap seperti tidak mengetahui apa pun daripada dibentak suami dingin lagi.
Belum berbicara satu kata, raut wajah Elliot terlihat datar seperti biasa. Ia sedikit mencurigai istrinya melakukan sesuatu padanya, jika dilihat raut wajah sang istri seperti orang bodoh.
“Kamu tidak melakukan aneh-aneh, ‘kan?” Nada bicaranya seperti sedang menginterogasi seorang tersangka sambil menjauhkan tubuh lincah.
“Maksudmu … apa?” Vallerie bertanya balik dengan wajah polos.
“Siapa tahu kamu menciumku diam-diam!” Elliot mengamati langit-langit kamar dengan tatapan gugup.
Dahi Vallerie mengernyit. Masih pagi, tapi sudah dikompori sampai darahnya mendidih. “Aku bukan tipe wanita seperti itu. Kenapa kamu mencurigaiku terus? Kamu masih belum memercayaiku?”
Erangan penuh kekesalan membuat seisi tubuh Elliot kepanasan. Pada akhirnya menyerah juga berdebat dengan istri di pagi hari. Apalagi soal kegelisahannya sepanjang malam, entah kenapa terus menghantuinya, tapi ia malas bertanya langsung pada istrinya.
“Lupakan saja!” Elliot membuang muka tapi kepalanya ditahan Vallerie.
“Omong-omong, kemarin bukankah kamu sendiri tidak ingin tidur seranjang? Kenapa kamu berubah pikiran tiba-tiba?” Vallerie penuh penasaran mendongakkan kepala hanya berjarak berbeda tipis, sehingga sepasang bibir hampir bersentuhan.
Saliva Elliot lagi-lagi sulit ditelan seketika memandangi pemandangan indah di pagi hari terlihat menyegarkan, membuat sikap dinginnya langsung memudar dalam sekejap. Terutama senyuman indah yang ditampilkan sang istri, hatinya sangat tersentuh seolah-olah menganggap istrinya akan membawakan masa depan yang indah baginya.
Namun, tetap saja ia berpegang prinsip selalu bersikap dingin pada semua orang. Lagi-lagi wajah tanpa senyuman kembali terpampang, perlahan menjauhkan wajahnya dari bibir sang istri.
“Jangan salah paham! Sebenarnya … aku tidak bisa tidur di sofa. Maka dari itu, akhirnya aku … tidur seranjang denganmu.”
Vallerie tidak memedulikan alasan apa pun. Hatinya terngiang-ngiang melihat suaminya bisa berinisiatif menemaninya tanpa perlu perjuangan merayu dengan segala cara.
Dengan menampakkan senyuman usil, Vallerie sengaja memajukan kepala mendekati bibir suaminya, menggoda hati sang suami akhirnya mudah meleleh hanya karena sikap manisnya. “Kamu bisa menyuruhku tidur di sofa.”
“Kamu seorang wanita, tidak pantas tidur di tempat tidak nyaman.” Elliot memeluk bantal gugup.
Bola matanya terbelalak. Tanpa sengaja Elliot bisa mengucapkan perkataan manis dari mulutnya, padahal semalam sudah berpegang prinsip akan bersikap dingin demi memberikan pelajaran untuk istrinya. Entah apa yang merasuki bibirnya hanya karena sepotong ingatan itu berhasil mengubah sikapnya menjadi lembut atau karena dua bulan sikap perhatian istrinya yang berhasil membuat hatinya luluh.
Vallerie tertawa anggun. Tangan kanannya mengelus kepala suaminya dengan tatapan penuh kasih sayang. Perkataan sang suami baru saja, sebenarnya pernah diucapkan di kehidupan sebelumnya. “Ternyata seorang direktur dingin bisa juga memiliki sikap perhatian pada wanita.”
Melihat jarum jam terus berjalan di hadapannya, Elliot teringat rencana bulan madunya terkesan menyebalkan karena bukan ia yang memilih tempat, melainkan istrinya yang bertindak seenaknya memilih tempat tanpa berdiskusi dengannya.
“Kamu tidak mandi dulu? Nanti kita bisa ketinggalan pesawat!”
Awalnya Elliot berharap ingin berbulan madu di Paris, Italia, Kanada, Selandia Baru atau Santorini. Namun, realita di luar dugaan sampai suasana hatinya sedikit kesal saat di tengah penerbangan menuju tempat tujuan bulan madu. Pulau Jeju adalah destinasi bulan madu sengaja dipilih Vallerie. Karena sebenarnya di kehidupan sebelumnya, mereka berbulan madu di sana dikarenakan kondisi keuangan mereka tidak memungkinkan berlibur di negara Eropa.
Seketika mendarat di negeri yang sangat terkenal di kalangan generasi muda sekarang, wajah Elliot terus cemberut apalagi ia tidak terbiasa bergaya hidup sederhana. Hanya saja ia bahagia menginap di salah satu hotel termegah di Pulau Jeju dengan pemandangan laut sangat indah di depan mata saat matahari terbenam.
Baru menaruh barang di hotel, Vallerie langsung mengajak Elliot terburu-buru pergi ke pantai. Sebelumnya ia menyewa sepeda dulu di sekitar hotel, namun justru ekspresi wajah Elliot semakin murung dan dahinya berkerut, rasanya ingin melampiaskan amarah meledak karena bulan madu mereka terkesan tidak menyenangkan.
“Kamu serius ingin kita bersepeda di sepanjang pantai?” Elliot ragu melihat situasi cahaya matahari sangat terik kemungkinan bisa merusak kulit mereka dalam sekejap.
“Jangan meremehkan dulu! Kalau sampai kamu suka, siap-siap aku akan menertawakanmu.” Vallerie menaiki sepeda dengan santai.
“Aneh sekali. Baru pertama kali aku melihat wanita tidak mencemaskan kulitnya rusak karena sinar matahari. Kamu tidak takut kulitmu rusak?” Elliot mengernyitkan dahi dan berkacak pinggang.
“Kita kan sudah pakai sunblock dan sunscreen. Tenang saja, kamu ikut arahanku saja. Aku yakin nanti kamu tidak akan cerewet lagi.”
Elliot memutar bola mata bermalasan. Terpaksa ia menaiki sepeda, kemudian mengikuti arahan sang istri bersepeda di sepanjang pantai cukup sepi, karena ini bukan musim berlibur bagi wisatawan asing datang berkunjung.
Angin laut sepoi-sepoi di tengah siang terik matahari. Entah kenapa Elliot merasa tidak asing bersepeda di tempat seperti ini. Bukan karena potongan ingatan kembali lagi, tapi ia merasa pernah melakukan bersama seseorang yang sangat istimewa dalam hidupnya. Namun, entah kapan pernah melakukannya dan siapa orang istimewa itu.
Posisi Elliot bersepeda kini bersebelahan dengan istrinya. Vallerie tersenyum ceria mengamati pemandangan laut jernih di sebelah kanannya membuat pipi Elliot mulai memerah. Urusan galak pada istri belakangan. Lagi-lagi hatinya sangat tersentuh menikmati pemandangan senyuman terindah istrinya justru melebihi pemandangan indah pantai.
‘Kamu manis, Vallerie.’
Untungnya hanya memuji dalam hati. Mungkin ia tidak akan berbicara selama seminggu jika memuji istrinya terang-terangan secara langsung, sedangkan sepanjang malam pernikahan nada bicaranya selalu ketus.
Setelah bersepeda hampir tiga puluh menit, Vallerie dan Elliot beristirahat sejenak di pesisir pantai duduk di atas pasir putih. Tatapan mata Elliot semakin candu memandangi wajah Vallerie semakin terlihat bersinar meski berkeringat dan terkena sinar matahari cukup lama. Jika dilihat wajah Vallerie lebih lama, Elliot semakin yakin Vallerie adalah wanita yang pernah mengajaknya ke tempat seperti ini. Namun, ia sulit menjelaskannya dalam perkataan.
Elliot merasa sedikit canggung, untuk menghilangkan rasa canggungnya, ia akhirnya mengalihkan pikiran pada topik utama yang ingin diperbincangkan soal destinasi bulan madu.
“Kenapa kamu memilih Pulau Jeju? Aku kan kaya, aku bisa mengajakmu ke negara Eropa atau Selandia Baru.” Elliot meregangkan kedua kaki di atas pasir.
Vallerie meregangkan kedua tangannya ke atas, kepalanya menoleh pada suaminya berwajah kebingungan. “Bulan madu di negara Eropa bisa membahagiakan semua orang, tapi aku tidak bahagia. Dulu kita tidak kaya, maka dari itu, kita bulan madu di sini. Bagiku, berbulan madu di mana saja akan terkesan bermakna jika kita sungguh menikmatinya penuh bahagia.”
Elliot menunduk malu bertopang di kedua lutut. Jika dipikir-pikir, ada benarnya yang dikatakan Vallerie. Karena sejujurnya, baru pertama kali ia bisa tersenyum lepas seperti tadi.
“Aku malu mengatakannya, tapi aku menyukainya, Vallerie.”
Bola mata Vallerie terbelalak, pertama kali mendengar kata ‘suka’ terucap dari bibir Elliot di dunia ini membuatnya terkejut. Dengan lincah menggeserkan tubuh mendekati sang suami.
“Karena udaranya menyegarkan? Atau kamu merasa ada yang aneh dalam pikiranmu?”
Elliot menggeleng. “Bukan. Tapi aku suka melihatmu bahagia seperti tadi.”
Rona merah menyala pada pipi Vallerie. Akhirnya suaminya mengatakan perkataan manis bukan karena soal ingatan pulih lagi. Apa mungkin hati Elliot mulai luluh hanya karena tingkah sederhana terkesan manis?
“Tumben kamu tidak ketus. Aku suka kamu memujiku seperti tadi. Pertahankanlah sikap lembutmu.”
“Kamu jangan terlalu senang dulu! Kalau seandainya aku ketus seperti semalam, nanti kamu menangis lagi. Aku tahu kamu sempat tidak bisa tidur karena aku menyakiti hatimu.” Elliot memijit kedua betisnya gugup.
Hatinya merasa perih mengucapkan sikap perhatian tiba-tiba. Elliot berusaha menahan air mata, tapi tetap sedikit berlinang di kelopak mata, terutama mengingat utang permintaan maaf untuk istrinya masih terpendam.
“Maafkan aku, Vallerie. Seharusnya di malam pernikahan kita, aku tidak membuatmu menangis. Sebenarnya aku bingung dengan isi hatiku. Terkadang aku ingin perhatian padamu, tapi aku sudah terbiasa bersikap dingin dan cuek terhadap siapa pun. Aku tidak menyangka aturan yang kubuat justru menyakiti perasaanmu.”
Hari ini Vallerie menang. Melihat sikap suaminya sedikit berubah sejak bangun, Vallerie bertekad tidak akan terlalu membenci suaminya di kehidupan sekarang, meski ia tahu sikap dingin sang suami pasti akan kembali suatu saat nanti. Vallerie bertekad mengubah pola pikirnya. Ia berusaha tidak memaksakan suaminya mengingat kenangan masa lalu, tapi ia ingin mencoba memperlakukan suaminya seperti masa lalu. Mungkin perlahan hati suaminya akan meleleh seiring berjalan waktu, meski diperkirakan membutuhkan waktu cukup lama akibat sikap suaminya di dunia ini keterlaluan.
“Aku akan selalu memaafkanmu, Elliot. Meski kamu bersikap dingin terus, tapi aku selalu menghadapimu penuh kesabaran. Aku tidak pernah memaksamu mencintaiku dalam waktu dekat ini.” Vallerie merangkul lengan sang suami dengan tatapan iba.
Tiba-tiba embusan angin laut semakin kencang membuat rambut indah Vallerie menjadi amburadul. Elliot menertawainya puas sambil membantu menyisir rambut istrinya, membuat bibir Vallerie menjadi cemberut.
“Kamu jelek sekali sekarang!” ejek Elliot.
“Lalu, kenapa kamu bantu merapikan rambutku? Aku bisa merapikan sendiri.” Vallerie berlagak jual mahal menahan tangan suaminya dengan tatapan menyeringai, tapi sang suami justru menampakkan senyuman girang masih melanjutkan aksi penyisiran rambut membuat pipi Vallerie sedikit memerah.
“Karena … aku tidak ingin kamu terlihat jelek. Rambut itu adalah sebuah mahkota bagi wanita. Aku ingin memperbaiki mahkotamu kembali seperti semula.”
Entah apa yang merasuki pikiran suaminya pada akhirnya bisa mengucapkan kalimat mutiara. Vallerie bahkan sampai tercengang mendengarnya.
Sampai matahari terbenam, mereka tetap masih betah di pantai. Menikmati matahari terbenam bersama suami adalah keinginan terbesar Vallerie semenjak dulu. Akhirnya keinginannya terkabul juga, terutama sorot mata terfokus pada lengkungan bibir suaminya terlihat manis seketika mengamati pemandangan langit berwarna jingga di depan mata.
Elliot mengakui bulan madu sederhana ini sangat terkesan baginya. Khusus hari ini, ia akan bersikap manis pada Vallerie. Karena berkat Vallerie, segala pikiran negatif berkaitan urusan pekerjaan dan hubungan asmara langsung musnah dalam pikirannya.
“Terima kasih sudah mengajakku ke tempat indah ini, Vallerie.”
Senyuman manis terpampang pada wajah Vallerie, seketika bahagia mendengar ucapan terima kasih dari bibir sexy suaminya sangat jarang selama menjalin hubungan hanya dua bulan. “Aku ingin kita berkencan ke tempat lebih indah lagi suatu hari nanti, saat kamu sudah mencintaiku sepenuhnya.”
Kruk…
Sontak perut mereka berbunyi tiba-tiba. Vallerie dan Elliot saling melempar senyuman malu sambil mengelus perut masing-masing.
“Kamu pernah makan tteokbokki pinggir jalan?”
Elliot menggeleng polos. “Aku belum pernah makan makanan pinggir jalan, memangnya kenapa?”
“Aku ingin mengajakmu makan tteokbokki di sana.” Vallerie menunjuk sebuah food truck menjual tteokbokki yang jaraknya tidak jauh.
Tatapan Elliot melotot dan dengan gugup menunjuk food truck itu. “Kamu serius? Kamu mengajakku makan makanan tidak sehat dan kotor.”
Vallerie mengerutkan dahi melipat kedua tangan di dada. “Kamu sungguh sombong dan selalu mengandalkan uang membeli apa pun yang mewah. Kenapa kamu selalu beranggapan makanan di pinggir jalan itu tidak sehat?”
“Kita kan tidak tahu dia memakai bahan apa saja dan apakah bahan yang dipakai itu segar atau tidak. Lalu, kebanyakan minyaknya itu sudah bekas dipakai!”
Vallerie memutar bola mata, tanpa basa-basi langsung menyeret suaminya. “Jangan cerewet! Pokoknya kamu harus coba dulu biar tahu seberapa lezat makanan jalanan seperti apa.”
Dua pesanan tteokbokki sudah matang. Vallerie memberikan tteokbokki untuk Elliot, dengan gugup Elliot menggenggam kotak berisi tteokbokki seolah-olah menatap makanan beracun.
“Apakah ini aman?”
“Kalau kamu tidak percaya, aku coba dulu saja.” Vallerie mencicipi satu sendok tteokbokki menampilkan ekspresi senyuman mengambang.
Melihat istrinya masih terlihat sehat, akhirnya Elliot mencicipi satu sendok tteokbokki. Baru sesuap pertama sudah membuat lidahnya sangat candu ingin menikmatinya.
“Enak ….”
“Jadinya, apakah makanan pinggir jalan itu masih beracun di matamu?” Vallerie menyunggingkan senyuman usil mendongakkan kepala di depan wajah suaminya.
Elliot menggeleng sambil menikmati tteokbokki melahap. “Kamu ada benarnya. Makanan jalanan meski beracun tapi sangat lezat.”
“Kalau begitu, lain kali aku akan mengajakmu–”
Bibir Vallerie langsung dibungkam rapat jari telunjuk Elliot. “Tidak. Kamu masih belum memahami sikapku tidak suka makan makanan sembarangan?”
“Lalu, kenapa tadi kamu mudah memercayaiku saat aku mencicipi tteokbokki duluan?”
“Karena … kamu adalah istriku.” Elliot tersenyum ceria mengelus kepala istrinya gemas.
Vallerie juga turut bahagia melihat senyuman bahagia ditampilkan suaminya. Sebenarnya setiap dirinya bersikap perhatian pada suaminya selama menjalin hubungan dua bulan sebelum menikah, suaminya selalu menyumbangkan senyuman terlangka yang jarang ditampilkan untuk siapa pun.
Sedangkan di kota asal sudah memasuki malam hari, terlihat sosok Erick sedang mengunjungi bar untuk bertemu seseorang. Erick menduduki sebuah bangku kecil bersebelahan dengan sosok misterius berdiskusi persoalan misi besar yang direncanakan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
t@Rie
meleleh gak tuh Bang El akhirnya..wkwk desi desi alias gede gengsi melulu.. eh udah enggak ya🤭
bang Erick mo meet up siapa nih?
2022-11-30
1
🦋𝖀𝖓𝖓𝖎𝖊 𝕰𝖛𝖎🍀
Elliot mulai luluh
2022-11-19
1
Herlina Lina
akhirny udah mulai luluh ya Elliot..gitu donk,jgn ketus muluk.
2022-11-03
1