Tolong tenang.
Ini hanya sebuah rencana dari sekian banyak rasa tidak seriusnya.
—
Allegra terus memperhatikan Bimantara yang tengah melilit pergelangan tangannya. Aneh saja. Baru tadi pagi cowok ini bersikap seenaknya.
“Jangan lihatin gue. Entar naksir.”
“Nggak usah pede begitu.” Allegra menarik tangannya dari Bimantara. Setelah dipikirnya cowok itu telah selesai membalut tangannya, barulah Allegra mendekat ke arah pintu.
Dia meraih knop pintu. Namun, Bimantara lebih cepat menahannya. Allegra mengerutkan dahi. Nih cowok, kok, jadi aneh gini? Allegra membatin penuh selidik. Takut kalau-kalau Junior ada maunya.
“Ini nggak gratis,” tunjuk Bimantara pada pergelangan tangan Allegra.
“Gue juga nggak pernah minta.”
“Nggak peduli, tolong dibayar!”
“Duit gue nggak cukup.” Cewek bergingsul kembali mengambil langkah untuk segera keluar dari ruangan itu. Namun, Bimantara baru saja menaikkan kaki panjangnya ke daun pintu guna memblokir akses Allegra. Agar cewek itu tak bisa keluar dari sana. “Minggir nggak?”
“Bayar pakai nomor WhatsApp.” Ucapan Bimantara kontan membuat Allegra melongo. Kerasukan apa cowok itu sampai-sampai menjadi aneh seperti saat itu. “Kalau nggak bayar, nggak bisa keluar dari sini.”
“Kaki lo belum jera juga kayaknya.”
Kini Allegra mengangkat kakinya hendak menginjak sebelah kaki Bimantara. Cowok itu tentu tak ingin kakinya menjadi sasaran kemurkaan Allegra lagi, hingga dia berkelit menghindar. Allegra memutar bola mata malas lalu berusaha membuka pintu UKS.
“Kucing beranak banget, sih, lo.” Bimantara memilih mengekor saat Allegra keluar dati UKS. Celotehan itu juga tam direspons olehnya. Terlalu malas bagi Allegra untuk meladeni cowok itu.
Bimantara menghela napas berat, belum apa-apa dia sudah berasumsi jika Allegra bukan cewek yang mudah. Biasanya dia bisa mendapatkan nomor cewek kurang dari sepuluh menit. Namun, untuk gadis bernama Allegra itu sepertinya akan butuh usaha ekstra. Sial beribu sial. Harusnya Bimantara tidak menerima tawaran Garen, Davin, dan Tiar kalau tahu Allegra akan menyebalkan seperti ini.
“Jangan pikir besoknya lo bisa bebas, ya. Besok gue datang lagi dengan permintaan yang sama.” Bimantara berbisik di belakang Allegra. “Oh, iya, jangan galak-galak. Kalau nanti lo sayang, bisa bahaya.”
“Nggak usah mimpi!” Allegra segera melengos, meninggalkan cowok itu.
-oOo-
“Bagaimana sekolahmu, Bim?”
Bimantara yang baru pulang sekolah langsung menjatuhkan tubuh tingginya di sofa. Papanya yang sedang sibuk dengan pekerjaan kantor menoleh pada anak tunggalnya itu.
“Biasa aja, Pa.”
“Bim, kamu sebagai anak muda itu bersemangat dikit. Masa anak muda gini malas-malasan. Setidaknya sifat rajin Papa nular ke kamu juga,” pungkas pria itu. Sesekali ia membenarkan letak kaca mata yang melorot.
Bimantara hanya merotasikan bola mata. Sedang papanya hanya menggeleng melihat putranya itu. Sejak ditinggal mamanya, Bimantara memang tidak semangat seperti dulu. Namun, papanya tidak pernah memprotes. Dia sadar, di umur seperti ini, bukan saatnya meminta Bimantara seperti yang diinginkannya.
“Pacarmu nggak diajak ke rumah lagi, Bim?”
Beberapa kali memang Bimantara mengajak cewek-cewek itu ke rumah. Hanya sekadar untuk diperkenalkan pada papanya. Pria berkumis tipis itu sudah banyak mengenal gadis yang diakui sebagai pacar oleh putranya. Entah apa yang membuat putranya itu gemar gonta-ganti pacar. Sungguh, dia tak mampu menyelami pikiran putranya.
“Papa sendiri bagaimana? Katanya lagi naksir cewek.” Bimantara mengubah arah pembicaraan. Membahas tentang kisah cinta papanya lebih menarik daripada membahas kisah cintanya sendiri.
Bimantara memang mendukung sang papa untuk mencari pengganti mamanya. Walaupun sebenarnya dia tidak ikhlas. Hanya saja Bimantara mulai sadar, papanya pasti sangat membutuhkan sosok itu. Sedangkan Bimantara tidak ingin terlalu memikirkan. Toh, selama ini ada atau tidak adanya mamanya, dia tidak pernah benar-benar merasakan figur seorang ibu ada untuknya.
Mamanya selalu sibuk bekerja. Pulang malam dan pergi subuh lagi. Hampir saat Bimantara masih terlelap tidur. Jadi, dia tidak mau mempermasalahkan jika papanya menikah lagi. Saat papa dan mamanya pisah, Bimantara memilih untuk tetap tinggal dengan sang papa. Pasalnya, jika harus ikut mama, dia takut tidak nyaman karena dari dulu tidak dekat dengan wanita itu.
“Kapan mau dikenalin ke aku?” tambah Bimantara.
“Alon-alon aja, Bim.” Pria berusia awal empat puluhan itu kembali sibuk dengan tumpukan berkas di depannya.
Menyadari papanya selama ini bekerja keras, demi kehidupan mereka, Bimantara tersenyum bangga. Nanti, dia juga pasti akan membuat pria itu bangga. Seolah hanya papalah yang dimilikinya.
“Cantik nggak?” .
“Tentu saja.”
“Jadi nggak sabar pengin ketemu.”
Sang papa terkekeh melihat anaknya yang berusaha tertarik. “Bim, makan di luar, yuk!” ajaknya.
“Ayo. Mumpung aku lagi jomlo, nanti kalau aku ada pacar, Papa bakalan susah ngajak aku nge-date,” kelakar Bimantara.
-oOo-
“Lo ngapain, Le? Ayo ke kelas.” Allegra mendongak saat seseorang menepuk pundaknya. Elgi menyelidik heran saat menemukan Allegra berdiri di balik pilar.
“Duluan aja, El. Tuh, usir juga si Buaya,” tunjuk Allegra pada Bimantara yang sejak tadi bersandar di loker.
Rupanya, cowok itulah alasan Allegra tak langsung bergegas ke kelas. Pagi-pagi dia sudah dihadapkan dengan Bimantara. Entah apa kesalahannya di masa lalu, sampai-sampai harus berurusan dengan si Buaya itu.
Elgi mengangguk patuh, memenuhi titah sang sahabat. Kini pemuda itu semakin mendekat ke arah Bimantara. Allegra hanya mampu memperhatikan keduanya dari kejauhan.
“Cari siapa?” tanya Elgi yang langsung membuat Bimantara menoleh ke arahnya. Bimantara sempat memperhatikan Elgi dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Allegra. Kalau nggak salah itu namanya,” kata Bimantara. Ponsel yang sejak tadi berada di antara jari-jarinya, kini sudah tenggelam di saku celana.
“Ada perlu apa?” Nada Elgi terdengar sedingin mungkin. Apalagi dia tahu betul bagaimana perangai cowok di hadapannya itu.
Alih-alih menjawab, Bimantara menoleh ke dalam kelas itu. Hanya ada sekitar lima siswa di sana. Tak ada tanda-tanda adanya Allegra, artinya cewek itu belum datang. Dia berdeham sembari menatap Elgi sejenak. Setelah itu berbalik untuk meninggalkan kelas Allegra.
“Jangan main-main sama teman gue. Kalau lo cuma mau jadiin dia korban dari permainan lo, gue saranin lebih baik lo jauhin dia.”
Langkah Bimantara terhenti, tetapi dia tidak membalik tubuh tingginya. Ucapan Elgi juga membuat senyum kecilnya tercetak. Setelahnya dia kembali berjalan meninggalkan kelas itu. Dari kejauhan, Allegra yang melihat Bimantara menjauh segera berlari menghampiri Elgi yang masih berdiri di sana menenggelamkan tangan disaku celana.
“Ngapain itu orang?”
“Cari lo.”
Kedua alis Allegra bertaut heran. Dia semakin yakin kalau cowok itu pasti kerasukan makhluk halus. Ah, atau kepalanya terbentur benda keras. Beberapa waktu, dia tampak ogah berurusan dengan Allegra. Lalu, tiba-tiba saja bersikap sebaliknya. Dasar aneh!
“Allegra?” Allegra mendongak begitu Elgi menyebut namanya. Dia menatap Elgi lama membuat pemuda itu menghela napas. “Lo hati-hati sama cowok kayak dia, ya. Gue nggak mau lo masuk perangkap dia.”
“Lo tenang aja, El. Gue udah pasang dinding pertahanan dari cowok Buaya kayak dia,” jelas Allegra sembari tersenyum penuh keyakinan. Elgi hanya tersenyum lebar dan menepuk pundak Allegra.
“Ada apa, nih?” tanya Tari yang tiba-tiba berdiri di antara Elgi dan Allegra. Elgi pun mau tak mau mengambil langkah mundur.
“Pagi-pagi nggak boleh kepo,” beo Elgi.
“Aturan dari mana?”
“Dari gue yang nggak tertulis,” jawab Elgi yang kemudian melongos meninggalkan dua gadis itu ke dalam kelas.
Melihat Elgi yang selalu saja membuatnya kesal, Tari hanya mencebikkan bibi. Kemudian bergerak seakan ingin meninju saja pemuda itu. Allegra terkekeh lalu mendekat ke arah lokernya. Tari mengikuti dengan perasaan kesal.
“Eh? Kok, ada bunga?” Mendengar pertanyaan Allegra, Tari ikut melongok ke arah loker Allegra, menatap bunga mawar berwarna merah yang tergeletak di dalam loker. Bergabung bersama beberapa buku pelajaran. Keduanya saling beradu pandang, menebak siapa pelaku yang menaruh bunga di loker itu.
“Loker lo nggak dikunci?”
“Kuncinya hilang. Makanya gue nggak pernah kunci ini loker lagi. Gue juga nggak taruh benda berharga di sini,” jabar Allegra.
Tari berpikir cukup keras, mengusap dagu dengan tatapan heran. “Siapa ya yang taruh bunga di loker lo?” Ini baru pertama kali ada bunga nyasar di loker Allegra.
Meski beberapa cowok kerap mendekati gadis itu, Tari paham jika tak pernah ada yang sampai menaruh bunga di sana. Apalagi Allegra selalu bersikap cuek ke cowok yang berniat mendekatinya. Allegra mengambil bunga itu, memperhatikannya sejenak. Pikirannya mulai menerka siapa si pelaku yang menaruh bunga mawar tersebut.
“Si Elgi kali,” celetuk Tari yang kini sibuk dengan ponsel.
“Gue, sih, nggak yakin. Lagian, gue nggak pernah lihat dia beli bunga, tuh. Apalagi ngasih bunga ke cewek.” Allegra kembali menimang setangkai bunga mawar di tangannya. “Apa jangan-jangan ....” Allegra menggantung kalimatnya saat wajah cowok itu terlintas di kepala. Dia bergidik ngeri dan menyimpan kembali bunga itu di dalam loker.
“Kenapa? Lo tahu orangnya?” tanya Tari keheranan.
Allegra menggeleng seraya menutup pintu loker sesaat setelah mengambil beberapa buku catatan. Dia tentu tak ingin membenarkan dugaan gila yang hinggap di otaknya. Ditariknya lengan Tari untuk segera memasuki kelas. Setelah duduk manis di kursinya, bayangan cowok itu masih saja menari-nari di otak Allegra. Dia kian yakin, jika si pemilik iris cokelat itu pasti sudah tidak waras.
“Le, itu berarti lo punya secret admirer,” goda Tari yang duduk di sampingnya. “Bagaimana kalau besok kita berangkat lebih awal. Biasanya, pengagum rahasia nggak cuma sekali ngasih kejutan kayak gitu.” Tari menjelaskan seakan sudah paham ***** bengek percintaan.
“Ah, nggak mungkin.” Allegra terlalu takut jika memang orang yang dicurigainya adalah si pengirim bunga.
“Belum juga dicoba. Gue juga penasaran, nih. Udah lama juga nggak ada yang mau dekat-dekat sama lo.” Kalimat itu terdengar seperti sebuah ejekan di telinga Allegra. Dia hanya mencibir, tetapi juga penasaran.
Walaupun agak ragu, Allegra mengangguk mengiyakan. “Oke, tapi kalau dia nggak datang lagi bagaimana? Ini juga baru pertama, Tari.”
“Gue ada feeling, kalau besok lo bakalan dapat bunga lagi.”
Tari menyipit, menatap Allegra dengan penuh keyakinan. Tak ada jalan lain bagi Allegra, selain menyetujui ide gila sahabatnya. Tepat di tengah-tengah pikiran yang sedang menerka, getaran disaku roknya membuat Allegra merogoh benda pipih yang biasa tenggelam di sana. Dia melihat sebuah pesan baru dari nomor tidak dikenal. Sebuah pesan yang membuat matanya sukses membulat.
081122331xxx : Gimana bunganya? Lo suka?
081122331xxx : Lo cantik hari ini. Apalagi lo pakai jepitan itu. Gue makin suka.
Allegra meraba jepitan putih yang bertengger di rambut. Kedua netra teduhnya beralih menatap seisi kelas. Cowok-cowok di kelasnya tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Tatapannya berhenti pada sosok Elgi yang sedang sibuk berkutat dengan ponsel, memperhatikan cowok itu lama. Lalu, perkataan Tari beberapa menit lalu kini memenuhi otak.
Si Elgi kali.
Allegra menggeleng, tentu tak mungkin juga Elgi orangnya. Dia kembali melihat ke sekeliling kelas. Lalu sekelebat bayangan di depan kelas membuatnya berdiri dan berlari cepat menuju pintu. Sesampainya di sana, Allegra tidak menemukan siapa-siapa. Perlahan, ia berjalan lagi ke arah belakang kelas. Tetap saja tidak ada siapa pun. Allegra mematung dan kembali membuka isi pesan itu. Masih dengan pikiran yang terus menerka siapa di balik semua itu.
—Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments