Kamu si perayu yang mudah membuat perempuan layu.
—
“Kelakuan si kucing garong. Siang-siang udah nongkrong, dapatnya tongkol ....”
Garen terus berdendang di saat semua siswa tengah sibuk di kantin. Matanya menangkap sosok Bimantara yang sedang melancarkan aksi di sudut kantin. Cowok itu tengah duduk dengan sosok Jelita yang akhir-akhir ini menjadi incarannya.
“Nanti pulang bareng, ya.” Bimantara memulai aksinya.
Ya, Bimantara memang selalu memulai permainannya dengan kata ‘pulang bareng’ setelah itu, dia bisa bebas buat anak gadis orang baper dan setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, pasti ditinggal begitu saja. Jelita yang sepertinya sudah kelewat baper hanya bisa mengangguk pasrah.
“Eh, bentar. Minuman aku abis, mau pesan lagi, nih. Nggak apa-apa kalau kita ngobrol lama? Bel juga masih lama,” tambah Bimantara yang beranjak dari tempat duduknya. Jelita lagi-lagi mengangguk dan membiarkan Bimantara bergabung dengan beberapa siswa yang tengah mengantre di kantin.
Bimantara dan tubuh tingginya kini berdiri menunggu antrean di kedai minuman favoritnya. Sembari menunggu, dia mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa pesan masuk dari korban cinta palsunya yang lain. Saat sedang santai membalas chat yang masuk. Tiba-tiba seseorang menabrak bahu Bimantara. Hampir saja ponsel ditangannya terjatuh. Pemuda itu mendelik kesal pada gadis bermanik mata hitam itu.
“Jalan pakai mata, Mbak!”
“Lo ngapain berdiri di jalan?” tanya gadis itu.
“Jalan? Lo buta? Ini tuh orang lagi antre. Makanya punya mata dipakai, dong,” balas Bimantara sembari menatap pada Allegra, cewek yang tadi pagi seenak udel menendang ‘adiknya’.
“Ya, udah.” Allegra hendak menjauh, tetapi Bimantara dengan cepat menarik kerah baju bagian belakang cewek itu. “Mau apa, sih? Nggak usah tarik-tarik!” bentak Allegra.
“Galak banget lo, udah kayak kucing beranak aja.”
Allegra hanya memutar bola mata malas, lalu kembali hendak meninggalkan Bimantara. Lagi-lagi cowok itu menariknya. Kali ini bukan kerah baju, tetapi lengannya. “Nggak usah pegang-pegang, dong!”
“Lo minta maaf sama gue ... sekarang!” titah Bimantara dengan lagak mengangkat dagu.
Allegra tertawa pelan, untuk apa juga dia meminta maaf pada Bimantara? Bukankah seharusnya pemuda itu yang harusnya minta maaf karena tadi pagi sudah tidak sopan padanya?
“Sori, gue kayaknya nggak ada salah sama lo.”
Bimantara mengangguk, diikuti senyum miring.
“Lo udah nendang gue, kalau lo lupa.”
“Itu juga karena lo nggak sopan.”
“Itu salah lo nggak pakai kaos. Udah tahu ini seragam transparan, sengaja mau pamer?” cerocos Bimantara.
Allegra hanya menatap tidak percaya pada omongan cowok itu. Pamer katanya? Yang benar saja. Apa yang mau dipamerkan dari Allegra yang tepos itu.
“Pokoknya gue nggak mau minta maaf. Lo yang salah, lo yang minta maaf.”
“Gue? Lo kali.”
Bimantara dan Allegra terus beradu mulut, membuat seisi kantin kini memperhatikan mereka. Bimantara tak mau kalah, meski bisikan samar mulai terdengar. Bimantara nggak mau kalah sama cewek. Apalagi ini sama adik kelas. Begitulah kira-kira bisikan-bisikan yang didengarnya Bimantara kelewat bersikap tak acuh, cewek di depannya itu memang enak diajak gelut.
“Lo yang salah. Lo yang minta maaf. Cowok, kok, nggak mau minta maaf,” sergah Allegra.
Garen mendekat ke arah mereka bersama dengan Jelita. Mereka berdua berdiri di samping Bimantara yang melipat tangan di depan dada. Sedang Allegra hanya berkacak pinggang sembari menatap kesal ke arah Bimantara.
“Lo udah bikin nyawa gue terancam,” protes Bimantara.
“Nggak usah berlebihan.”
“Ini menyangkut hidup dan mati!”
Garen menghela napas, lalu berujar, “Ayo, adik manis, minta maaf aja. Sekalian sama gue. Tadi udah nginjak kaki gue, sakit tahu.”
“Nggak!” Allegra berbalik mempertahankan rasa tidak bersalahnya. Dia berjalan cepat keluar dari kantin.
Garen menggeleng, tampak kagum pada gadis itu. “Lo tahu, Bim, dia itu ibarat gula batu.”
“Manis? Pahit, yang ada.”
“Bukan. Dia itu kayak gula batu. Gula, karena dia manis. Tapi, dia batu karena keras kepala,” lanjut Garen yang masih memperhatikan punggung Allegra.
-oOo-
Allegra mengomel sepanjang perjalanan menuju kelas. Setengah kesal pada Bimantara yang seakan menyalahkannya atas semua kesialan cowok itu pagi ini. Padahal tadi pagi, sudah jelas-jelas Bimantara yang menertawakan Allegra lebih dulu. Ya, bagaimana Allegra tidak kesal dan sekaligus merasa dilecehkan.
Langkah Allegra memelan saat sosok berwajah tegas berdiri tepat di depannya. Tangannya terkepal kuat begitu melihat senyum yang paling ia benci. Senyum yang selalu membuat Allegra takut setiap kali menatap manik mata abu itu.
“Kenapa buru-buru? Mau ke mana?”
Kaki kecil Allegra berjalan mundur. Tanpa sadar, kaki kecil itu membawanya ke tempat yang paling siswa SMA Sapta hindari. Tempat itu seperti biasa sangat sepi karena agak jauh dari ruang guru. Jadi, banyak siswa menyalah gunakan tempat itu. Contohnya cowok yang kini berdiri di depan Allegra. Dia adalah Levin, cowok yang ditakuti Allegra beberapa bulan terakhir di sekolah ini.
Allegra masih terdiam dengan lutut bergetar. Setiap kali melihat wajah Levin, dia selalu teringat saat cowok itu memperlakukannya dengan kasar. Semua tindak tanduk kasar Levin, lantas kembali terproyeksi dalam otak gadis bersurai hitam pendek itu. Ketakutan selalu memburunya saat berhadapan dengan Levin. Sejak naik kelas sebelas, entah kenapa Levin tak mengganggunya lagi, tidak mungkin cowok itu akan kembali membuat Allegra merasa terintimidasi, ‘kan?
“Le, lo nggak kangen sama gue? Udah lama gue nggak ganggu lo,” ucap Levin masih dengan senyum menjijikkan. Allegra memilih mundur dan siap memasang ancang-ancang untuk kabur.
Sayang, langkahnya kurang cepat dengan Levin yang kini menarik paksa tangannya. Susah payah Allegra memberontak, berusaha agar Levin melepaskan tangannya. Namun, cowok itu justru semakin kasar menariknya ke halaman bangunan terbengkalai SMA Sapta. Letaknya saja sangat jauh dari bangunan baru SMA Sapta. Jadi, murid atau pun guru jarang melintas di tempat itu. Tempat yang berdekatan sekali dengan bangunan lama SMA Sapta yang sudah tidak digunakan lagi.
“Tolong, lepasin gue!” pinta Allegra dengan suara bergetar.
Alih-alih menggubris, Levin justru mengangkat dagu Allegra dengan kasar. Dia menatap lama sorot mata penuh ketakutan itu. Allegra menghindar dari tatapan Levin. Namun, cowok itu lagi-lagi menariknya, hingga jarak mereka begitu dekat. Allegra memberontak, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuat tangan Levin.
“Apa kabar? Lama banget, ya, kita nggak main bareng.” Bisikan menjijikkan dari Levin membuat kadar ketakutan Allegra bertambah. Dia terus menghindar saat cowok itu kembali memangkas jarak. Hidung mereka nyaris bersentuhan, jika Allegra tak cepat mendorong Levin.
“Tolong!”
Levin meludah kasar, tak terima dirinya baru saja didorong. Tamparan keras mendarat di pipi Allegra. Dia meringis menahan rasa sakit dan panas di pipi. Meski sekarang matanya juga ikut memanas, cewek itu tetap tak ingin mengeluarkan cairan bening itu dari sana. Allegra semakin ketakutan saat tangan besar Levin mengelus lembut rambut sebahunya. Cowok itu tersenyum penuh kemenangan. Seakan dia baru saja mendapat mangsa setelah seharian mencari mangsa yang tepat.
“Levin, tolong jangan macam-macam sama gue lagi,” lirih Allegra.
“Oh, jadi lo selama ini bikin masalah di sini? Keren juga persembunyian lo.”
Allegra dan Levin menoleh pada sumber suara. Si pemilik suara berjalan dengan santai sembari menghisap rokok. Setidaknya, Allegra sedikit lega karena ada orang lain yang mengetahui bahwa ia sedang dalam bahaya sekarang. Levin cukup terkejut melihat kedatangan Bimantara. Selama ini, tempat persembunyiannya tidak banyak diketahui orang. Untuk itu, saat melihat Bimantara dia langsung kaget dan menoleh pada Rio yang baru saja datang dengan wajah babak belur. Untunglah setelah bertemu dengan Jelita, Bimantara segera mencari tempat untuk merokok. Paling aman, ya di tempat sekarang kakinya berpijak.
“Lo ngapain ke sini, Bim?”
Bimantara mendekat dan menawarkan satu batang rokok utuh pada Levin. Tak lupa dengan koreknya. Melihat hal itu, kening Levin berkerut. “Wah, ternyata tempat tongkrongan lo asyik juga. Enak, nih, udaranya. Segar,” celoteh Bimantara sembari menghirup udara sekitar.
Melihat tak ada tanda-tanda dari Junior untuk menolongnya, Allegra menatap kesal cowok itu. Ya, memangnya siapa Bimantara, sampai-sampai harus berbesar hati akan menolong seorang gadis yang bahkan menendangnya.
“Omong-omong, lo ada masalah apa sama itu cewek?” tunjuk Bimantara.
“Gue rasa ini bukan urusan lo,” jawab Levin.
Bimantara mengangguk paham. Ia memilih mendekat, membabat jarak antara dirinya dan Allegra. Bimantara tersenyum miring, lebih bengis dari Levin. Tentu saja itu membuat Allegra semakin diburu rasa takut. “Iya, lo benar. Cewek ini memang pantas dikasih pelajaran. Oke, lanjut aja, Vin. Sori, ganggu.” Bimantara berbalik hendak pergi dari tempat itu.
Hilang sudah rasa lega dan kesal yang tertanam dalam diri Allegra. Untuk beberapa detik, kehadiran Bimantara membuatnya berharap, jika cowok itu akan berbaik hati menolongnya. Namun, apa yang baru saja dilakukannya, membuat Allegra bersumpah akan membenci cowok itu seumur hidup. Levin di tempatnya tersenyum penuh kemenangan.
“Tolongin gue! Gue mohon!” teriak Allegra.
Langkah Bimantara terhenti bersamaan dengan senyum yang tercetak jelas di bibirnya.
Rio sudah pasang badan untuk mencegah Bimantara berbalik kalau dia berubah pikiran. Benar saja, Bimantara berbalik dan mendekat ke arah Rio. Dia menatap Rio lama, lalu dengan satu pukulan keras, cowok itu tersungkur ke tanah. Puntung rokok yang tersisa sedikit dibuangnya dengan asal. Sejurus kemudian Bimantara sudah mendekat ke arah Levin.
“Lepasin dia!” titah Bimantara.
“Jangan ikut campur!”
“Kalau lo nggak ikutin ucapan gue, lo bakalan nyesel,” balas Bimantara masih dengan wajah tenangnya.
“Gue masih berbaik hati ngasih lo kesempatan buat pergi dari sini.” Levin tetap tak mau menyerah, jemarinya dengan kuat menggenggam pergelangan tangan Allegra.
Bimantara mengangguk-aguk, senyum tipis terlukis dari bibir penuhnya yang seksi. Sesaat kemudian, Bimantara melayangkan tendangan pada perut Levin. Cowok itu tersungkur. Tangan yang sejak tadi mencengkeram pergelangan Allegra, kini terlepas begitu saja. Allegra hanya mampu menutup mulut, tidak percaya jika ada yang berani melawan Levin.
“Sialan lo, Bim. Lo berani sama .... arghhh!” Kalimat Levin terputus saat Bimantara menginjak kasar kakinya.
Allegra sungguh tidak percaya dengan apa yang disaksikannya sekarang. Bimantara ternyata lebih beringas dari seorang Levian Orlando. Levin tetap mengerang kesakitan saat Bimantara semakin menekan kakinya dengan kuat di tangan Levin. Melihat Levin sudah tak berdaya lagi, Bimantara segera menarik tangan Allegra dan membawanya pergi dari sana.
“Lepasin gue!” Allegra menarik kasar tangannya dari Bimantara. Napasnya turun naik tak beraturan saat menyaksikan kejadian tadi.
Kini keduanya sudah menjauh dari area bangunan tak berpenghuni. Masih berusaha menormalkan napas, Allegra sesekali melirik Bimantara. Tatapan cowok itu seakan miris melihat kondisi Allegra sekarang.
“Ternyata selain nggak bisa minta maaf lo juga nggak bisa berterima kasih,” cibir Bimantara yang kini berjalan meninggalkan Allegra. “Pantas lo bodoh.”
“Siapa yang lo bilang bodoh?!” teriak Allegra membuat langkah Bimantara terhenti. Cowok itu tak berbalik dan merespons dengan senyum penuh keterpaksaan.
Allegra terus mengamati langkah Bimantara yang kini berjalan menuju kelasnya. Sepanjang jalan, banyak siswi yang tampak kagum pada cowok yang kerap mengenakan hoodie abu-abu itu. Sedangkan Allegra tak mengerti dengan pandangan semua orang tentang Bimantara. Selain menyebalkan, cowok itu sombong dan playboy. Bagaimana bisa para betina itu sangat terpesona padanya.
Selesai mengamati Bimantara, Allegra berbalik menatap lorong menuju bangunan tak berpenghuni. Mengingat Levin, ia bergidik ngeri. Semoga saja tak ada korban selain dirinya.
“Lebih baik gue cepat-cepat pergi, deh. Sebelum cowok gila itu nongol lagi.”
—Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments