Bisa saja kamu protes terhadap takdir Tuhan. Namun, takdir Tuhan tidak
pernah salah. Termasuk tentang pertemuan kita. Pasti ada arti di baliknya.
—
“Lo serius, Le?” Allegra sampai mendorong tubuh Tari. Gadis itu berteriak heboh di depannya. Elgi yang ikut menyaksikan aksi Tari, hanya menggeleng heran. “Bentar-bentar. Lo serius Kak Bima nolongin lo?” tanya Tari. Allegra hanya mengangguk. “Wah! Kok bisa sih.”
Allegra mengangkat bahu sembari mengabaikan Tari yang kini menarik lengannya. Tatapan gadis itu seakan meminta banyak penjelasan. Allegra menghela napas. Rasanya percuma bercerita pada Tari. Gadis itu pasti akan terus bertanya sampai ke akar-akarnya.
“Lo kenapa terobsesi banget sama Bimantara?” tanya Elgi yang juga sangat penasaran dengan alasan Tari. Alasan cewek itu sampai rela menjadi stalker seorang Bimantara.
Padahal kalau dilihat lagi, Elgi juga tidak jauh beda. Cuma bedanya cowok itu kelewat asyik dengan dunianya sendiri. Terkadang begitu cuek, hingga tak memperhatikan sekitar.
“Ya, nggak tahu, deh. Namanya juga cinta,” beo Tari, “lo, kan, nggak pernah jatuh cinta. Jadi, percuma aja ngomongin cinta sama lo.”
“Hati-hati bisa masuk perangkapnya. Baru tahu rasa, deh.”
“Bodo amat. Lo nggak usah ikut campur urusan cewek, deh. Lagian, kenapa nggak sopan banget sama senior sendiri. Manggilnya, tuh, Kak Bima,” protes Tari penuh penekanan. Elgi tak mau kalah, dia hanya mencebikkan bibirnya. Lalu melongos berjalan lebih dulu. “Ayolah Allegra, lo cerita ke gue!”
“Tar, apa itu yang penting sekarang? Harusnya lo itu tanya sama gue, apa gue baik-baik aja atau nggak?”
“Lo ada di sini, artinya lo baik. Udah buruan cerita!” pinta Tari sembari memasang wajah kesalnya.
Allegra pun berhenti, dia menatap Tari dengan serius membuat gadis itu juga balik menatapnya dengan serius. Keduanya saling tatap di pinggir trotoar. “Gue nggak tahu. Tiba-tiba aja dia udah di sana,” kata Allegra, lalu berjalan menyusul Elgi yang sudah menjauh.
“Ih, Ale-ale jambu biji!” teriak Tari sembari mengentakkan kaki. Dengan sedikit rasa kesal dia pun berlari menghampiri kedua sahabatnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, ketiganya hanya diam. Sejak tadi Tari sudah sibuk tenggelam di dunia sosial media. Kalau tidak mengecek dagangannya, ya paling stalking Instagram Bimantara. Padahal, yang selalu didapatnya hanya rasa sakit hati setiap melihat postingan Bimantara bersama pacarnya.
“Kapan Kak Bima ada niatan suka sama gue?” gumam Tari. Gumaman yang ternyata di dengar oleh Elgi dan Allegra.
“Nggak usah mimpi. Standar dia di atas lo,” sindir Elgi yang selalu sewot setiap kali Tari membahas Bimantara.
“Lo nggak pernah tahu adanya keajaiban, El.”
“Mimpi aja lo sana!”
“Lo tahu apa soal suka-sukaan? Kalau tiap hari lo cuma berurusan sama karakter fiksi di gim,” pungkas Tari yang tak mau kalah.
“Ketimbang lo? Udah nggak fiksi, tapi cinta sepihak pula. Duh, mirisnya,” tukas Elgi yang kini meringis ke arah Tari. Sengaja untuk mengejek gadis itu. Elgi biasanya tak banyak bicara, tetapi lain lagi jika sudah berhadapan dengan kedua gadis itu.
“Udah! Kenapa jadi kayak anak kecil gini, sih? Berantem mulu. Ini jangan-jangan kalian jodoh,” celetuk Allegra.
“Heh, amit-amit gue sama dia. Entar anak gue jadi apa? Jadi Assassin?” protes Tari tak terima. “Udah ya, gue balik dulu. Dah!” Tari segera berbelok ke salah satu gang. Rumahnya memang berbeda arah dengan Allegra dan Elgi. Melihat punggung Tari, dua anak manusia itu hanya menggeleng.
“Jadi nggak gue bantu angkat jemuran?”
“Astagfirullah! Gue lupa ada jemuran! Ayo, El! Bentar lagi sore, nih!” Allegra menepuk pundak Elgi dengan panik. Lalu, keduanya segera berlari ke arah rumah Allegra.
Rumah minimalis bercat putih itu tampak sepi. Dari arah bawah, jemuran tampak menari-nari sesekali diterpa angin. Rooftop rumah kecil itu memang biasa dijadikan tempat untuk menjemur baju pelanggan. Tepat di samping rumah itu, ada tempat kecil bertuliskan ‘Allegra Laundry’. Tempat yang dijadikan usaha oleh Elis, ibunya Allegra. Sejak suaminya meninggal, hanya dia yang menjadi tulang punggung keluarga, melalui usaha itulah dia dan putrinya bisa bertahan hidup sampai saat ini.
“Buruan angkat!” titah Allegra pada Elgi yang terlihat malas-malasan mengangkat jemuran, tetapi untuk Allegra, Elgi tidak bisa menolak.
Catat! Hanya pada Allegra. Jika cewek lain, pasti dia sudah menolak mentah-mentah. Lebih enak rebahan di kamar sambil main gim.
“Le, gue laper,” keluh Elgi yang berjalan di belakang Allegra. Menyusuri anak tangga menuju lantai bawah.
“Iya nanti gue masakin. Bilang aja lo nggak ikhlas nolongin gue, terus minta imbalan.”
“Jangan suudzon, dong,” protes Elgi yang kemudian berjalan mendahului Allegra.
Cewek itu hanya terkekeh melihat punggung Elgi. Memang dasar Allegra yang hobi membuat Elgi kesal. Elgi menaruh tumpukan cucian di salah satu meja yang biasa dipakai Elis untuk meletakkan baju-baju para pelanggannya.
“Mau makan apa?” tanya Allegra yang berjalan menuju dapur.
“Apa aja yang penting enak.”
“Emang masakan gue pernah nggak enak, El?” Elgi tersenyum nyengir.
Untuk urusan masak-memasak Allegra itu nomor dua setelah Ibunya. Elgi pun berjalan ke arah ruang tamu. Duduk di sana menyandarkan punggung dan menatap seisi ruangan itu.
Rumah itu masih sama seperti dulu. Hanya saja semakin sepi saat sosok Hardin dan Naya sudah pergi. Elgi beralih menatap punggung Allegra yang sedang memotong beberapa sayuran. Dia tersenyum kecil karena sampai detik ini sahabatnya itu masih bisa bertahan dan menjadi sosok yang kuat.
“Omong-omong, emang benar si Bimantara nolongin lo?” tanya Elgi. Allegra mengangguk tanpa berbalik menatap Elgi. “Gue kasih pelajaran aja ke Levin, Le. Lo jangan diam aja kayak dulu. Gue bisa bikin dia nggak berani ganggu lo lagi,” tawar Elgi.
Tawa Allegra lolos begitu saja. Kini ia berbalik menatap Elgi. Cowok itu justru memamerkan wajah kesalnya. “Lo? Ngelawan Levin? Emang lo berani?”
“Yaelah, gini-gini gue jago. Lo nggak tahu gue udah master.”
“Beda konsep, Elgi Rafardhan,” pungkas Allegra gemas.
Elgi terkekeh lalu merebahkan tubuh tingginya di sofa. Mata beriris abu itu tertutup rapat sembari memikirkan banyak hal. Suara Allegra masih terdengar sebelum dia benar-benar terbawa ke dalam alam mimpi.
“Lo tenang aja, El. Tadi gue nggak sengaja lewat kandang mereka.”
“Ya, Le. Gue tidur bentar. Bangunin gue kalau makanan udah siap. Biar gue cepat pulang. Kasihan ibu harus jagain Luna sendirian.”
Allegra tak menjawab. Dia hanya menatap Elgi sejenak lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak dia mengenal Elgi. Pertemuan di panti kala itu membuat Allegra berpikir, bahwa mungkin dia dan Elgi tak bisa bertemu lagi, tetapi memang terkadang ada saja kejutan tak terduga dalam hidup. Elgi kecil diadopsi oleh seorang wanita bernama Gina, janda beranak satu yang kala itu ditinggal mati oleh suaminya. Rumah mereka pun tidak terlalu jauh, hingga Allegra selalu bersyukur, sampai detik ini Tuhan masih membiarkannya berteman dengan orang sebaik Elgi.
-oOo-
Ibu : Alle, tolong jemput Ibu di panti, ya.
Allegra membaca ulang pesan yang lima belas menit lalu dikirim oleh Elis. Gadis itu hanya bisa menghela napas setiap kali Elis meminta dijemput pada jam malam seperti itu. Selain membuka usaha laundry, Elis juga sesekali pergi ke panti untuk sekadar bantu-bantu di sana. Panti yang tak jauh dari rumah mereka, tempat di mana Allegra bertemu Elgi untuk pertama kalinya. Juga ada Naya, yang sekarang sudah pergi menghadap Tuhan.
“Bang, berhenti di depan, ya,” kata Allegra pada sopir angkutan umum. Pria itu mengangguk, lalu berhenti tepat di depan panti.
Allegra memasukkan ponsel dan segera turun dari angkutan umum. Begitu angkutan umum itu menjauh dari hadapannya, dia segera masuk ke tempat itu. Seperti biasa tempat itu ramai dengan anak-anak kecil yang kini lari-larian di sekitar teras. Tinggal lima menit lagi mereka akan menyapa alam mimpi. Sehingga lima menit itu tak ingin disia-siakan begitu saja oleh mereka.
Tak perlu susah payah mencari Elis. Wanita itu tengah duduk di kursi kayu yang tersedia di depan teras, bersama seorang pria yang wajahnya tampak asing bagi Allegra.
“Ibu,” sapa Allegra begitu ia mendekat ke arah Elis. Perempuan berusia akhir tiga puluhan itu segera bangkit dari tempatnya saat melihat sang putri datang.
Pria berdasi yang sejak tadi memperhatikan mereka, lantas tersenyum ramah pada Allegra. Penampilannya rapi, persis seperti direktur-direktur muda di film-film. Usianya pun terlihat tak jauh beda dari Elis.
“Sayang, maaf udah ngerepotin kamu. Oh ya, kenalin ini Pak Rian,” ucap Elis sembari memperkenalkan lelaki di sampingnya.
“Halo, Om. Saya Allegra.”
“Halo, Allegra. Senang bisa bertemu kamu. Kamu cantik sekali, persis seperti yang ibumu jabarkan,” ucap Rian.
First impression yang baik, pikir Allegra. Lelaki itu ramah dan lembut. “Terima kasih, Om.”
“Kalau begitu, kami pulang dulu, Mas Rian,” pamit Elis. Rian mengangguk, membiarkan ibu dan anak itu berjalan menjauh darinya.
“Dia siapa sih, Bu?”
“Donatur baru di panti.”
Allegra hanya mengangguk paham, tanpa ingin mengetahui lebih lagi. Mereka terus berjalan bergandengan. Baginya wanita itu adalah segalanya. Sejak ditinggal kedua orang yang paling mereka sayang, hanya wanita itulah yang menjadi motivasinya untuk terus bersemangat menjadi orang sukses dan bisa membanggakan.
Langkah Allegra memelan begitu melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan panti. Matanya membulat begitu melihat sosok yang baru saja turun dari mobil sedan hitam. Cowok itu membenarkan topinya, lalu berjalan menunduk sembari menatap layar ponsel.
“Alle, kok bengong? Ada apa? Kamu kenal dia?” tanya Elis sembari menarik lengan Allegra.
“Nggak, Bu.” Tentu saja Allegra segera menjawab. Terlalu malas jika harus menjelaskan siapa cowok itu lada ibunya.
Sayang, Bimantara yang baru saja melintas tiba-tiba berbalik arah. Cowok itu mengangkat kepalanya, menatap dua orang yang kini berdiri dengan ekspresi berbeda. Allegra melotot tak percaya, sedangkan Elis tersenyum ramah.
“Ngapain lo di sini, Kucing Garong?” tanya Bimantara.
“Siapa yang kucing garong?” Allegra memprotes tak terima. “Harusnya gue yang tanya begitu, Buaya Darat!”
“Katanya nggak kenal, Le. Bagaimana, sih?” protes Elis.
“Emang nggak kenal, Bu. Ini orang sok kenal aja.”
Bimantara hanya melongos, mengabaikan Allegra yang enggan meliriknya lagi. “Tante, ruangan pemilik panti di mana, ya?”
“Pakai tanya segala lo,” celetuk Allegra.
“Alle, jangan kayak begitu.” Elis menyikut lengan Allegra yang hanya mencebikkan bibir. “Oh, kamu masuk aja, terus lurus nanti belok kanan. Pas di dekat tangga,” jelas Elis kemudian.
Pemuda jangkung itu mengangguk. “Terima kasih, Tante. By the way, ini anaknya, ya?” tunjuk Bimantara pada Allegra.
“Ngapain tanya-tanya?” ketus Allegra. Setiap kali melihat Bimantara, bawaannya pengin marah-marah terus.
Lagi-lagi Elis menyikut lengan Allegra. “Iya. Anak saya, Dek.”
“Kok beda, ya? Ibunya cantik, anaknya kayak kucing garong.”
Allegra melotot saat mendengar ucapan Bimantara. Setelah tersenyum ramah pada Elis, Bimantara berjalan meninggalkan Ibu dan anak itu.
“Dasar Kadal berkedok Buaya!” umpat Allegra sembari menatap punggung Bimantara yang sudah menjauh. Melihat ekspresi kesal putrinya, Elis hanya tertawa pelan.
“Kenapa ketawa, Bu? Nggak ada yang lucu, ya.”
“Lucu, Alle. Masa kamu dikatain kucing garong.” Tawa Elis pecah karena Allegra yang cemberut. “Padahal iya, sih. Soalnya kamu selalu garang sama cowok selain Elgi.”
“Ibu tahu sendiri alasannya.” Allegra memilih berjalan lebih dahulu, hingga tawa Elis reda begitu saja. Elis begitu paham kenapa tiba-tiba canggung menyergap mereka.
“Sudah, jangan dibahas lagi,” kata Elis. Dirangkulnya gadis pemilik gingsul itu. Tak lupa senyum tulus menghiasi wajahnya yang awet muda.
—Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments