Perjalanan panjang kulalui sendiri sambil berpikir apakah aku harus memberitahu Farrel, soal keberangkatanku ke Jakarta, bisa saja kami bertemu di sana.
Aku tetap berusaha melanjutkan komunikasi dengannya. Meskipun belum terbalaskan, aku tetap mengirimkan pesan singkat yang memberitahu Farrel tentang kedatanganku ke Jakarta. Besar harapanku dapat balasan darinya.
Tak terasa setelah melewati perjalanan panjang. Akhirnya perjalananku berhenti tepat depan pusat perbelanjaan terbesar di Kota Jakarta.
Di terminal itu pak supir menurunkanku. Peregangan otot adalah hal pertama yang kulakukan saat turun dari mobil travel itu. Sebab semua tubuh ini rasanya kaku, duduk beberapa jam di dalam mobil dengan penumpang yang semakin berdesakkan.
Pak supir membantuku menurunkan Tas jinjing berukiran besar dari dalam bagasi mobil serta tas ransel yang langsung kusampirkan ke punggungku.
Ucapan terima kasih kuberikan kepada Pak Supir yang sudah membantuku menurunkan tas dari bagasi mobil travel dan mengantarkanku sampai tujuan.
“Terima kasih ya, Pak?” ucapku sambil membungkuk sopan kepada Pak Supir.
“Sama-sama, Neng. Hati-hati merantau di ibu kota! Kehidupan di sini lebih kejam dari pada ibu tiri,” balas Pak Supir
Aku terkekeh mendengar ucapannya. “Bapak bisa aja!”
“Saya lanjut lagi, Neng. Masih banyak penumpang yang harus di antar sampai tujuan,” pami kepadaku.
“Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih,” Aku sedikit menundukkan kepala sopan kepadanya.
Pak Supir pun bergegas melanjutkan perjalanannya.
“Akhirnya sampai juga di sini! Hai ... Jakarta... Aku datang!” teriakku lantang.
Aku sungguh tidak menyadari kepolosanku membuat orang-orang yang ada di sekitarku memandang aneh padaku.
Malu rasanya, saat aku baru menyadarinya. Sikap kikuk dan canggung kutunjukkan. Lebih baik aku duduk di bangku besi panjang yang ada di halte itu.
Di kota inilah awal kisahku. Di mana sedih, derita entah berakhir bahagia atau suka. Misteri akan jati diriku pun perlahan terkuak. Semua kisah hidup ini akan terangkai oleh sejuta kisah.
Kulihat ponsel milikku, tidak ada notif chat ataupun panggilan dari Dina. Ya, Dina temanku yang menawarkan pekerjaan ini kepadaku. Padahal aku sudah sampai di alamat yang ia berikan.
Kucoba kembali menghubungi Dina. Memberitahukannya kalau aku saat ini sudah berada di halte.
“Lebih baik tunggu di sini aja deh. Daripada harus kemana-mana. Takut nyasar,” gumamku.
Sambil menunggu kedatangan Dina, aku memperhatikan keadaan sekitar. Bangunan megah tinggi nyata jelas di hadapanmu satu ini.
Manik mata kini kembali mengedarkan pandangannya.
Begitu menakjubkan menurutnku. Kendaraan berlalu lalang dengan berbagai macam dan type kendaraan pribadi hingga bis panjang yang biasa ku dengar Mobil Transjakarta. Bangunan perkantoran yang menjulang tinggi dan beberapa restoran yang terlihat ramai pengunjung.
“Wah ... Keren banget tempat ini,” gumamku dalam hati. Aku masih saja cengo memperhatikan sekitarnya.
“Woy ... “ teriakkan dari Dina membuaku tersentak kaget.
“Astaghfirullahaladzim ... Dina! Bikin kaget aja sih lu! Untung jantung gue sehat kalau enggak, mati mendadak gue!” Aku mengusap dada ini saking terkejutnya.
“Lagian gue perhatikan, lu celangak celinguk kaya anak ayam kehilangan induknya sambil mesam-mesem sendiri lagi,” Cemooh Dina.
“Gue takjub sama bangunan di sini, semuanya mewah dan megah. Mana ada kaya gini di kampung kita, Din?” Aku kembali melihat bangunan yang menjulang tinggi di hadapanku tanpa kedip.
“Ih ... Norak banget nih temen gue, kayak enggak pernah lihat di TV aja.” Dina langsung mendudukkan pantatnya di sampingku.
“Makanya gue takjub, Din. Biasanya gue lihat di layar TV doang. Nah sekarang gue lihat aslinya. Lebih bagus ternyata, Din!” ucapku kagum.
Dina terkekeh, “Sudah ah! Di Jakarta ini, jangan terlalu polos, Ra. Kita harus keras. Kehidupan lu di sini nantinya bakal penuh perjuangan. Bersyukur kita yang hanya lulusan SMA bisa bekerja di sini. Banyak yang mempunyai gelar sarjana yang masih menganggur di kota besar ini!” Dina memperingatiku.
“Iya ... Siap bos ... eh ngomong-ngomong, kamu muncul dari mana? Tiba-tiba udah ada di sini aja!” celotehku.
“Dari sana!” Dina menunjuk arah kedatangannya tadi padaku. “Ah... Itu mah, lu aja asik sendiri. . Sampai kedatangan gue aja, lu gak sadar!”
“He ... Sorry ,Di!” cengirku.
“Yuk, ke kontrakan gue,” ajak Dina seraya berdiri dari duduknya.
“Lu enggak kerja?” tanyaku seraya mendongak ke arah Dina.
Dina menggeleng.” Gue cuti hari ini. Kemarin, gue ijin sama pengawas. Mau jemput lu.” Papar Dina.
“Wah ... Baik hati banget temen gue ini... Tengkyu, Dina!” Aku merangkul bahu Dina.
“Ih... Apaan si, Ra. Malu dilihat orang. Nanti dikira kita begini!” Dina mengacungkan jari tengah dan telunjuk lalu menggerakkannya. Isyarat bahwa dua orang perempuan yang mempunyai kelainan suka sesama jenis.
“Dih ... Amit-amit tujuh turunan. Gue masih sehat masih suka sama lawan jenis. Sudah punya pacar juga!” ucapku mengetukkan kepalan tangan ke bangku besi yang ku duduki.
“Ke kontrakan gue, yuk! panas banget nih! Lu mau di sini terus,” ajak Dina seraya berdiri dari duduknya.
“Ayo!” Aku ikut berdiri seraya mengambil tas di dekat kakiku lalu menjinjing nya.
“Mau gue bantu?” tawar Dina.
“Enggak usah. Gue bisa ko! Jauh ya kontrakan nya dari sini.” Tanyaku padanya.
“Deket ko! Jalan kaki aja, nggak pa-pa kan?” ucap Dina.
“Enggak pa-pa, gue biasa jalan kaki di kampung berapa kilo pas jualan!”
“Gak sejauh itu kali, Ra. Gue aja biasa jalan kaki kalau pulang kerja, hemat ongkos. He.. kalau telat ya. Gue ngojek,” imbuh Dina.
Kami berdua jalan beriringan, melangkahkan kaki menapaki jalan trotoar menuju rumah kontrakan yang di sewa Dina.
Sepanjang perjalanan banyak yang aku tanyakan kepada Dina. Kakinya melangkah ke depan tapi mataku masih asik berkeliling memandangi suasana yang baru ku rasakan di kota besar ini.
“Masih jauh, Din?” tanyaku yang masih mengikuti langkah Dina.
“Sebentar lagi sampai, Di sana!” Dina menunjuk jalan menuju kontrakan sewaannya.
“Wah ... di perumahan itu? Aku mengikuti arah yang di tunjuk Dina.
Dina mengangguk.
Aku melongo dibuatnya.
‘Hebat sekali Dina ngontrak di perumahan elite begini’ Batinku.
“Emang ada kontrakan di dalam perumahan mewah?” Tanyaku penasaran.
Dina kembali mengangguk sambil tersenyum jahil.
“Polos banget si lu, Ra.” Dina berucap dalam hati. “Biarin deh gue kerjain dulu. He... he... “
Kami terus melangkah pelan melewati perumahan elite yang di tunjukkan Dina. Tepat di sebelah pintu gerbang perumahan itu terdapat gang menuju sebuah kampung. Di sanalah tempat kontrakan Dina berada.
“Loh ... Ko, malah masuk kesini. Bukannya ke perumahan sana, Din?” aku menunjuk perumahan dengan daguku.
“Ha ... Ha... Mana ada kontakan di dalam perumahan elite, Ra. Kamu tuh lucu banget sih?” Dina menggelengkan kepalanya membuat aku cemberut. Sebal karena dikerjai oleh Dina.
“Gajiku sebulan enggak akan cukup buat sewanya perumahan di sana.” Dina terkekeh geli saat melihatku memanyunkan bibirku.
“lu, jahat banget si jahilin gitu, gue kira lu serius, Din?” omelin.
“He..he.. Sorry!” balas Dina.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Mutia Kim🍑
mudahan si Dina nggak jadi musuh dalam selimut, smg dia bener-bener teman yg baik
2023-01-23
2
Mak Aul
rese bat Dina🤣
2023-01-23
2
vheindie19
hahaa.... biasalah teman mentang2 mereka udah duluan ke ibukota, padahal dina juga kayaknya sama seperti lura norak saat pertama datang 😂
2023-01-23
2