Tiga bulan setelah surat kelulusan di bagikan, dan Ijazah sudah di tangan. Rasanya lega sudah menuntaskan pendidikan meski hanya lulusan SMA.
Untuk melanjutkan ke jenjang kuliah rasanya sangat jauh dari harapan. Harus ikut jalur prestasi jika ingin terus melanjutkan kuliah.
Saat itu itu aku mencoba mengajukan beasiswa lewat jalur prestasi seperti yang di anjurkan.
Aku mengajukan beasiswa ke perguruan tinggi di daerahku. Banyak sekolah yang mengajukan siswanya di Blair tersebut. Dan berapa sedihnya aku harus menjadi salah satu siswa yang tidak lulus seleksi untuk ikut program beasiswa.
Keinginan untuk melanjutkan pendidikan harus terkubur dalam saat itu, tapi aku harus berpikir untuk melanjutkan hidup. Bu Rahma, Ibu panti memberiku semangat agar aku melanjutkan hidup.
“Bukan rejeki, kamu harus semangat! Tahun depan bisa ikut mengajukan lagi untuk melanjutkan kuliah,” ucap Bu Rahma memberi semangat kepadaku.
“Terima kasih, Bu. Maaf jika Lura masih belum bisa membantu keuangan panti!” balasku.
Rasanya tidak enak hati kepadanya. Seharusnya aku bisa membantu keuangan panti saat ini.
Mencari pekerjaan di kampung ini terbilang susah. Aku hanya bisa berharap agar kehidupanku lebih baik ke depannya.
Selama belum mendapat pekerjaan, aku membantu mencoba berjualan kue dan makanannya ringan yang kubuat sendiri. Di bantu adik-adik panti yang membantu. Alhamdulillah, hasilnya lumayan untuk kebutuhanku dan sebagian keuntungan aku berikan kepada Bu Rahma.
Bu Rahma terus memberiku semangat agar aku bisa mengembangkan usahaku ini.
Hubunganku dengan Farrel semakin hari semakin menghangat.
Kami bertemu setiap hari karena aku sering berkeliling menjajakan kue dan daganganku.
Terkadang Farrel sering membantuku berjualan di waktu senganggnya sebelum dia berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya.
“Farrel, kamu tidak malu membantuku? Nanti kalau ibumu liat gimana?” tanyaku.
Saat ini kami sedang duduk berdua di taman, barang daganganku habis terjual. Sore ini Farrel membantuku agar hasil daganganku habis lebih cepat. Ada yang ingin ia bicarakan kepadaku.
“Ibuku tidak akan tau, tenang saja!” Farrel tersenyum padaku.
Orang tuanya belum mengetahui hubunganku dengan Farrel. Mereka melarang Farrel untuk berpacaran terlebih dulu.
Farrel selalu ditekankan agar berhasil dulu dalam pendidikan. Kadang aku merasa kasihan melihatnya. Orang tuanya terlalu menekannya untuk berhasil.
Banyak yang kami bicarakan ketika berdua. saling mencurahkan kasih sayang, saling berkeluh kesah bersama.
Sungguh berada di dekatnya membuatku nyaman. Perhatian dan kejutan yang sekali ia berikan padaku selalu berhasil membuat hati ini berbunga. Rasanya diri ini terlindungi oleh kehadirannya.
Meskipun umur kami masih terbilang muda. Tapi Farrel berjanji akan membawa hubungan ini ke arah yang lebih serius. Serius menjalani pendidikan. Kemudian ia akan meneruskan usaha orang tuanya. Setelah itu ia akan mengajakku untuk menikah. Itulah janji nya kepadaku setiap kali kita sedang bersama.
"Aku akan ke Jakarta besok. Maaf jika aku tidak bisa menemanimu lagi di sini. Tapi aku janji selalu mengabarimu. Tunggu aku sampai aku bisa mempersuntingmu, Ra!" ucap Farrel membuat hati ini senang sekaligus sedih.
Aku hanya bisa mengangguk pelan.
kami berdua sama-sama berjanji untuk menjaga cinta ini selama ia berjuang belajar sampai akhirnya Fareel datang untuk menjadikan aku istrinya.
Sore ini adalah hari terakhir untukku dan Farrel bersama.
Hatiku sedih, akan terasa berbeda rasanya jika hubungan jarak jauh kami jalankan. Tapi aku berusaha meyakinkan diri, jika Farrel bisa menepati janjinya.
****
Hari makin berganti menjadi bulan. Tak terasa sudah tiga bulan kami berpisah. Berhubungan jarak jauh tak semudah yang kukira.
Hubunganku dengan Farrel masih berjalan baik. Ia selalu menghubungiku, memberi kabar kepadaku setiap harinya. Hanya selama satu bulan semua itu dilakukan.
Belakangan ini Farrel jarang memberi kabar kepadaku.
Merasa penasaran dengan kabarnya aku mencoba menghubunginya malam ini.
Lama panggilan dariku tak terjawab. Detik berikutnya sambungan telepon terhubung. Tapi hanya senyuman musik disko yang kudengar.
“Hallo, Farrel, kamu di mana? Kok berisik banget, suaramu juga enggak jelas?” tanyaku dari seberang telepon. Aku harus sedikit menjauhkan benda pipih itu dari telingaku karena suara yang tersambung begitu keras memekakkan telinga.
“Hai, beb! Aku kangen sama kamu, muuach.” Ardi berucap tak jelas saat menerima telpon. Terdengar suara parau seperti suara orang mabuk.
“Hallo, Rel. Ini kamu kan?” Lura menegaskan pendengarannya. Aku lihat kembali layar ponselnku, takut salah menghubungi orang.
“Rel. Kamu masih di sana ‘kan? Aku berbicara dengan nada tinggi. Tanpa kusadari telepon itu terputus sepihak.
“Ko dimatikan, sih? Farrel kamu di mana ? Kenapa akhir-akhir ini kamu berbeda. Apa yang terjadi sama kamu?” batinku.
Sedih, sudah pasti. Itu yang aku rasakan saat ini. Orang yang selama ini sangat perhatian dan menyanyiku hilang kabar entah ke mana. Apa Farrel bosan dengan hubungan ini, Ataukah Dia sudah mempunyai penggantiku di sana.
Perasaan gelisah berkecamuk dalam sukma.
Hari terus berlalu rasanya berbeda tak ada semangat lagi kurasakan. Hingga suatu hari aku berkomunikasi dengan teman seangkatan di sekolah. Ternyata dia sudah bekerja di salah satu Mall terbesar di Jakarta.
Dina, dia adalah temanku. Beruntung nasibnya bisa bekerja di Jakarta. Sebab lulusan SMA bisa mendapat pekerjaan di kota besar itu. Dina memberitahuku kalau ada lowongan pekerjaan di tempatnya bekerja. Dia menawarkan pekerjaan itu kepadaku. Sungguh kabar angin yang membuat hati ini lega.
Kapan lagi aku mendapat penawaran bagus seperti ini. Di kampung begitu sulit mendapat pekerjaan. Usaha berjuang kue pun tidak bisa menjanjikan untuk masa depanku. Setidaknya bertekad untuk merantau ke kota besar adalah salah satu pilihan untuk merubah nasib.
Hari ini aku beranikan diri untuk meminta ijin kepada Bu Rahma, ibu panti yang selama ini turut andil membesarkanku. Aku meminta ijin agar bisa pergi ke kota. Rasanya ingin keluar dari Panti ini. Bukan karena tidak betah tinggal di sana, tapi lebih kepada perasaan tidak enak hati, seharusnya aku sudah balik membantu untuk panti.
Aku ingin merasakan hidup di luar sana, mencari keberuntungan hidup. Mencari jati diriku.
Aku mengira diriku adalah anak yatim piatu, tapi ternyata kenyataan yang membuat hati ini semakin terpukul hebat. Tatkala mengetahui bahwa diriku adalah anak terbuang. Bu Rahma tidak tahu siapa orang tuaku. Dan Kenapa mereka begitu tega meninggalkan aku di Panti ini.
Hari meminta ijin itu aku baru mengetahui kebenarannya. Bu Rahma menceritakan kepadaku bahwa dia menemukanku di depan pintu gerbang Panti Asuhan saat aku berumur sekitar 3 bulan. Terlihat surat pernyataan kelahiran dari Bidan yang terselip dalam selimut yang aku gunakan saat itu.
“Kamu tetap anak ibu, meskipun kamu belum tahu siapa orang tuamu! Kita tidak tahu alasan apa yang mendasari mereka membuangmu, Ra?” ucap Bu Rahma saat menceritakan sedikit kisah tentangku.
“Mungkin aku anak haram? Atau anak yang tidak diinginkan, Bu! Tidak masalah bagiku, yang penting saat ini aku ingin menyusun kehidupanku, Bu. Aku ingin bekerja di Kota.” Kusampaikan keinginanku pada Bu Rahma.
“Apa kamu yakin mau keluar dari panti ini, Ra? Kenapa harus jauh dari sini? Apa tak ada perusahaan di daerah sini?” cecar Bu Rahma saat aku beranikan diri meminta ijin darinya untuk merantau ke Jakarta.
“Aku sudah mencoba di daerah sini, Bu. Tapi tak ada yang lowongan pekerjaan di kota ini. Kalau pun aku diterima di sana. Aku akan sering memberi kabar pada Ibu karena hanya Ibu dan adik-adik panti yang aku punya. Kalian yang selalu ada buatku. Aku tidak akan melupakan jasa ibu yang sudah membesarkanku sampai saat ini.” Aku merangkul tangan Bu Rahma lalu menyandarkan kepalaku di pundaknya.
“Huh...,” terdengar helaan napas berat dari Bu Rahma. “Ya sudah! Kalau itu sudah menjadi tekadmu, ibu hanya bisa mendoakanmu. Kamu harus bisa membawa diri di tempat baru, jaga diri, jaga sikapmu terhadap orang lain.” Bu Rahma menasehatiku.
Aku mengangguk dan mendengarkan semua ucapan dari beliau. Memang berat awalnya tapi aku harus bisa. Ini untuk masa depanku.
“Iya, Bu. Lura pasti ingat selalu pesan dari Ibu,” ucapku sendu.
Bu Rahma melepaskan tanganku yang merangkul salah satu tangannya. Ia hendak beranjak dari kursi panjang yang kami duduki.
“Tunggu di sini, Ibu ada sesuatu untukmu, Mungkin ini akan membantumu mencari jati dirimu selama ini!” ucap Bu Rahma pada kau. Sepertinya ada sesuatu yang akan diberikan kepadaku.
Aku menyatukan alis. Tak mengerti apa yang dibicarakan Bu Rahma. Aku akan menunggunya di sini sesuai perintah beliau.
Apa sebenarnya yang akan Bu Rahma berikan padaku.
.
.
.
...Bersambung...
Masih sepi sekali.... bantu like dan Favorit nya say.... agar author makin semangat
buat up bab baru 🥰😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Cerita Aveeii
sepertinya surat atau bendda dr ortu kandung
2023-01-23
1
Shany Poppy Pipopapo
jimat, mungkin😂
2023-01-23
1
Mak Aul
jadi bukan anak kandung, hiks
2023-01-23
1